Breaking News
Loading...
Kamis, 17 April 2014

Info Post


Jakarta - Sejumlah lembaga survei telah merilis hasil hitung cepat (quick count) untuk Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif yang berlangsung pada 9 April. PDI-Perjuangan meraih suara terbanyak dan diperkirakan menjadi “penguasa” di Senayan. Ini tentu mengubah posisi mereka yang sudah menjadi oposisi selama satu dekade.

Ahmad Erani Yustika, guru besar ekonomi Universitas Brawijaya, menilai PDI-P akan menghadapi perubahan besar di periode mendatang. Selama 10 tahun terakhir, PDI-P terbiasa menjadi oposisi dan itu kemungkinan besar akan berbalik.

Selama ini, PDI-P tidak jarang menentang kebijakan ekonomi yang dirilis pemerintah. Namun nantinya bisa jadi posisi ini akan berubah 180 derajat.

“Atmosfernya akan berbeda, ada situasi yang harus dihadapi ketika mereka menjadi partai pendukung pemerintah. Mungkin tidak bisa lagi berpikir ideal, harus ada kebijakan yang diambil meski tidak menyenangkan semua pihak. Pasti ada trade off,” papar Erani.

Erani mencontohkan, selama ini PDI-P menjadi partai di DPR yang bersuara paling vokal menolak kenaikan harga BBM. Jika menjadi partai pendukung pemerintah, mungkin hal seperti itu sudah tidak bisa dilakukan.

“Pada saatnya akan ada hal yang membuat ekonomi kita tertekan, misalnya kenaikan harga minyak. Kalau sudah ada di lingkaran kekuasaan, PDI-P sudah tidak bisa teriak seperti dulu ketika pemerintah ingin menaikkan harga BBM. Harus ada kebijakan yang diambil, dan butuh dukungan dari DPR,” jelas Erani.

PDI-P sendiri harus membangun koalisi, karena perolehan suara Partai Moncong Putih tidak memadai untuk mengajukan calon presiden-wakil presiden sendiri. Fauzi Ichsan, Ekonom Standard Chartered Bank, menilai koalisi yang nantinya dibangun harus lebih efektif daripada yang ada sekarang.



"Koalisi ini yang dikhawatirkan. Bisa-bisa pemerintahan yang akan datang pergerakannya lamban seperti saat ini. Kalau banyak koalisi akan banyak kebijakan, ini tidak efektif," tegas Fauzi.

Oleh karena itu, lanjut Fauzi, semestinya PDI-P lebih selektif dalam memilih mitra koalisi. Harus ada kesamaan platform sehingga koalisi tidak kemudian ribut sendiri di internal.

“Kemungkinan bisa dengan partai sekuler seperti Gerindra, Golkar, Hanura, dan PKB. Kalau dengan Demokrat sepertinya agak sulit," kata Fauzi.

Marurar Sirait, salah satu Ketua DPP PDI-P, menyadari posisi partainya ke depan di mana bisa menjadi partai pendukung pemerintah. Namun menurutnya, kebijakan PDI-P tidak akan berubah jauh. Dia mencontohkan soal kenaikan harga BBM, bisa saja PDI-P tetap dalam posisinya seperti selama ini.

“Masih ada berbagai cara untuk menghindari kenaikan harga BBM, salah satunya dengan meningkatkan penerimaan negara. Seperti meningkatkan tax ratio, menambah barang kena cukai, atau mengoptimalkan royalti pertambangan,” kata Maruarar.

Sementara mengenai koalisi, Marurarar menilai koalisi di DPR ke depan harus sehat. Koalisi yang ada selama periode 2004-2009 dan 2009-2014 menurutnya kurang efektif karena nyatanya beberapa kali ada friksi di antara mereka sendiri. Contohnya adalah dalam kasus Bank Century, mafia pajak, dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

“Sekarang ada enam anggota koalisi, itu tidak efektif. Nantinya kalau mau koalisi, platform-nya harus cocok. Jangan sampai sibuk sendiri di antara kader,” ujar Maruarar.[detik.finance]

---
Komentar anda

0 komentar:

Posting Komentar

PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda