Breaking News
Loading...
Rabu, 03 September 2014

Info Post

Beredarnya dokumen berupa proposal pembongkaran makam Rasulullah SAW di Madinah, kembali menyentak sisi keagamaan kita. Benarkah rencana itu ada? Akankah Muslim dan ulama Indonesia menegaskan penolakan bersama?
Sebagaimana ditulis hampir seluruh media massa, saat ini beredar proposal setebal 61 halaman tentang pembongkaran makam dan pemindahan sisa jenazah Rasulullah oleh pemerintah Arab Saudi. Sebenarnya isu itu isu lama. Sebelum kembali heboh saat ini, tahun lalu isu itu juga menimbulkan gonjang-ganjing di dunia Islam.

Saat itu, selain menyoal penghilangan satu persatu peninggalan Rasulullah –rumah Nabi, rumah Khadijah, rumah Fatimah dst, bahkan timbul kritik atas penataan Mekkah yang dilakukan pemerintah Saudi.



Irfan al-Alawi, direktur Islamic Heritage Research Foundation, memperingatkan niat pembongkaran makam Rasulullah tersebut. 

Kepada koran The Independent, Al-Alawi menyatakan kekecewaannya. "Orang-orang ingin mengunjungi ruang tempat keluarga Rasulullah pernah tinggal," ujar dia. "Kini semua itu akan dihancurkan karena pemerintah Arab Saudi menganggapnya sirik dan praktik penyembahan berhala."

Surat kabar Timur Tengah, worldbulletin, mengritik pembangunan Mekkah ala Dinasti Saudi. “Atas nama haji,” tulis koran tersebut, “Kota suci itu sekarang sesak dengan gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan dan hotel mewah.” Yang membuat Muslim dunia terperanjat, warisan arkeologi bangsa Arab sendiri diinjak-injak di atas nama konstruksi modern dan ajaran Wahabi yang memandang peninggalan itu membawa sirik.





"Tidak seorang pun punya nyali untuk berdiri dan mengutuk vandalisme budaya ini," kata Al-Alawi. "Kami sudah kehilangan 400-500 situs,” kata dia. Asal tahu saja, hanya untuk membangun Hotel Clock Tower yang sudah berdiri saat ini, pemerintah saudi mendinamit seluruh gunung dan Benteng Ayjad peninggalan era Ottoman yang terletak di atasnya. Di ujung lain Komplek Masjidil Haram, rumah istri pertama Nabi, Khadijah, kini telah berubah menjadi blok toilet.

Wajar bila tahun lalu, dari Indonesia sendiri muncul buku yang mengkritik pembangunan Mekkah yang nyaris tanpa arah. “Ketika Mekkah Menjadi Seperti Las Vegas,” adalah judul buku laris karangan Mirza Tirta Kusuma itu.

Persoalannya, akankah rencana pembongkaran makam Nabi itu menyulut solidaritas dan ghirah (semangat relijius) Muslim Indonesia? Pasalnya, ketika rencana itu pertama kali muncul di awal abad 20 lalu, respons perkara itu di Indonesia adalah terbentuknya Nahdlatul Ulama (NU).

Awalnya, para ulama Indonesia yang keberatan dengan rencana pembongkaran itu membentuk Komite Hijaz. Komite itu mengemban misi penyelamatan makam Rasulullah dari upaya penghancuran oleh pemerintah Arab Saudi. Pemerintah Saudi yang memeluk faham Wahabi terkenal sangat membenci ziarah kubur, bahkan menyamakannya dengan perbuatan khurafat yang mendekati sirik. Rencana itu membuat gelisah para kyai dan ulama Indonesia, Jawa khususnya.

Pada 1924-1925 itu Arab Saudi baru saja berdiri dengan bantuan Inggris. Prosesnya nyaris seperti tergambar dalam film ‘Lawrence of Arabia’ yang dibintangi Peter O’Toole. Negeri itu dipimpin Ibnu Saud, yang sejak zaman kakeknya sudah berhubungan dan beraliansi erat dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri faham Wahabi. Sejak menguasai tanah haram, ruang gerak untuk mengerjakan ajaran faham 4 mazhab yang pernah berjalan damai di masjid Haram dan Masjid Nabawi, terganggu. Semasa itulah terjadi eksodus para ulama dari seluruh dunia keluar Saudi. Mereka kembali ke negara asal masing-masing, termasuk para pelajar Indonesia yang tengah menuntut ilmu di tanah Hijaz.

Komite Hijaz pun mengirimkan utusan untuk menemui Raja Ibnu Saud. Utusan itulah yang kemudian dikenal sebagai Komite Hijaz, dipimpin KH Abdul Wahab Chasbullah.

Persoalannya, karena untuk pengiriman itu dibutuhkan organisasi formal, sementara Indonesia sendiri masih dalam penjajahan Belanda, didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 1926. NU-lah kemudian yang secara formal mengirimkan delegasi menemui Raja Ibnu Saud.




Ada lima permohonan Komite Hijaz, salah satunya untuk pembatalan pembongkaran makam Nabi tersebut. Kita tahu, Komite itu sukses terutama pada tujuan pendiriannya yang utama.

Kini, perlukah umat Muslim Indonesia kembali membentuk ‘Komite Hijaz’ dan mendatangi Raja Arab Saudi? [Inilah]





---
Komentar anda

0 komentar:

Posting Komentar

PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda