Breaking News
Loading...
Jumat, 28 Juni 2013

Info Post
By : Al wibowo

Pada era 80-an Amerika Serikat (AS) berhasil membujuk pemerintah negara-negara Arab dan negara-negara berpenduduk muslim lainnya seperti Indonesia dan Malaysia untuk mendukung perjuangan rakyat Afganistan melawan pasukan pendudukan Uni Soviet (yang merupakan musuh ideologis AS dalam era perang dingin), dengan slogan untuk membentengi agama Islam dan umat Islam dari gempuran komunis.
Selama pendudukan Uni Soviet di Afganistan, mereka dipuji, disanjung, dielu-elukan, lantaran misi mulia dan sakral yang memiliki dasar legitimasi keagamaan sangat kuat berada di pundak mereka. Inilah jihad mengusir pasukan tak bertuhan (komunis) dari negeri Islam. Pemerintah dan umat Islam mendukung secara moral, politik, dan finansial keberangkatan para Mujahidin ke Afganistan. Bahkan sejumlah pemerintah negara Arab terlibat langsung mengatur dan mengoordinir perjalanan mereka ke Afganistan.

Presiden Mesir Anwar Sadat-dengan dorongan Amerika Serikat dan atas restu Presiden Pakistan Zia ul Haq saat itu-tercatat berperan besar bagi pembentangan jalan hijrahnya ribuan aktivis Islam dari Mesir ke Pakistan dan Afganistan. Presiden Zia ul Haq pun bekerja sama dengan CIA membangun kamp-kamp latihan militer bagi Afgan Al Arab di Kota Peshawar (Pakistan) dan sekitarnya, sebelum mereka diterjunkan dalam pertempuran di Afganistan.

Akan tetapi, setelah pasukan Uni Soviet hengkang dari Afganistan tahun 1989, AS ternyata mengkhianati Muahidin dan sama sekali tidak memberi penghargaan atas jasa para Mujahidin mengalahkan musuh ideologis AS. Para Mujahidin juga bak kehilangan induk, setelah tewasnya Presiden Pakistan Zia ul Haq yang dikenal banyak memberi perlindungan terhadap kaum Mujahidin.

Menurut penuturan salah seorang pemimpin Mujahidin, Abdurrasul Sayyaf, CIA mulai berusaha membunuh Presiden Zia ul Haq, Osama bin Laden, dan Sheikh Abdullah Azzam, tatkala ada gejala kekalahan Uni Soviet di Afganistan. Upaya pembunuhan ini dilakukan oleh karena AS/CIA merasa tidak lagi membutuhkan tenaga dari tokoh-tokoh kunci tersebut. Bahkan AS merasa khawatir bila para tokoh mujahidin ini dibiarkan ikut memenangkan perang melawan Soviet sampai akhir, malah akan menambah semangat jihad dan justru membahayakan posisi dan pengaruh AS di wilayah tersebut. Sayyaf lebih jauh mengungkapkan, Zia ul Haq pernah mengatakan bahwa nasib dirinya berada di tangan CIA. Karena itu, lanjutnya, Zia ul Haq ke mana pun pergi selalu meminta ditemani Dubes AS di Islamabad yang akhirnya memang tewas bersamanya dalam satu pesawat yang meledak begitu lepas landas.

Perbedaan pendapat antara Zia ul Haq dan Pemerintah Amerika Serikat (AS), ungkap Sayyaf, menyangkut soal masa depan Afganistan pascahengkangnya Uni Soviet. Zia ul Haq bersikeras Afganistan harus menjadi negara Islam, sedangkan AS menginginkan Pemerintah Afganistan lebih sekuler dan berafiliasi ke Barat. Perbedaan pendapat tersebut ternyata harus dibayar mahal oleh Zia ul Haq yang membawa kematiannya secara tragis.

Setelah itu, tokoh Ikhwanul Muslimin asal Palestina, Sheikh Abdullah Azzam-yang dikenal anti-AS-juga tewas akibat ledakan bom mobil yang dipasang CIA di Kota Peshawar. Hanya Osama bin Laden yang masih selamat dari upaya pembunuhan AS, karena ia cepat pindah ke Sudan saat itu.
Hilangnya tokoh-tokoh sekaliber Zia ul Haq dan Sheikh Abdullah Azzam merupakan pukulan politik yang sangat dahsyat terhadap Mujahidin Afganistan dan kaum Afgan Al Arab.

KEKUASAAN di Islamabad yang jatuh ke Benazir Bhutto yang lebih sekuler setelah tewasnya Zia ul Haq itu, membuat hubungan Pakistan dan kaum Afgan Al Arab tidak seharmonis pada era Zia ul Haq. Pemerintah Pakistan mulai memberi tekanan-tekanan terhadap para Mujahidin di Kota Peshawar. Sebagian dari mereka terpaksa meninggalkan Kota Peshawar pulang ke negara asalnya seperti Mesir, Libya, Aljazair, Tunisia, dan Arab Saudi. Mereka yang takut pulang lantas mengalihkan tujuan ke negara-negara Arab lain seperti Sudan, Yaman, Somalia, dan sejumlah negara Eropa. Sebagian lain kembali lagi ke Afganistan dan terpaksa bergabung dengan faksi-faksi Mujahidin yang saling berperang itu. Osama bin Laden termasuk dari Mujahidin yang memilih meninggalkan Afganistan menuju Sudan.

Bagi Mujahidin yang memilih pulang ke negaranya, ternyata bukan sambutan simpati yang ditemukan, tetapi polisi langsung memborgol tangan mereka dan dibawa ke penjara. Begitulah nasib mereka sepulang dari berjihad di Afganistan. Mereka bak memasuki terowongan gelap yang tak pernah lagi menemukan ujung terangnya. Saat itu mencuat kasus-kasus yang terkenal dengan kasus Afgan Mesir, Afgan Aljazair, Afgan Tunisia, Afgan Libya, dan Afgan-Afgan lain.

Begitu pula para Mujahidin asal Indonesia, mereka dikejar-kejar dan di fitnah oleh rezim orde baru ketika itu sebagai pelaku tindakan subversif. Oleh karenanya, banyak mujahidin yang terpaksa berdiam di Malaysia dan sebagian pulang ke Indonesia dengan diam-diam. Para Mujahidin asal Indonesia inilah yang saat ini banyak di fitnah terlibat dalam jaringan terorisme, dan kemudian dijadikan target untuk ditangkap.

Padahal sejak berkahirnya pendudukan Uni Soviet di Afghanistan dan bersamaan dengan ambruknya proses perdamaian di Timur Tengah pada paruh kedua tahun 1990-an, kaum Mujahidin mulai menyadari adanya keterlibatan CIA langsung dalam memburu mereka di mana pun mereka berada.

Upaya untuk memburu alumni Afghan atau para Muajhidin ini dilakukan oleh AS secara sistematis. Secara konseptual AS mengadopsi gagasan yang dikembangkan oleh Rand Corporation, sebuah lembaga think thank proxy zionis israel. Beberapa dokumen yang diproduksi dan testemony yang dilakukan oleh para peneliti Rand Corp. Di depan kongres AS menunjukkan bahwa sesungguhnya apa yang disebut oleh AS sebagai perang global terhadap terorisme (Global War On Terorism/GWOT) itu adalah perang terhadap umat Islam yang ingin menerapkan Islam secara kaffah.

Beberapa dokumen yang dapat dijadikan bukti bahwa GWOT itu adalah perang terhadap Islam adalah Understanding Terrorist Ideology yang merupakan ceramah KIM CRAGIN didepan komite Intelijen Senat AS pada June 2007. selain itu juga beberapa dokumen lainnya, diantaranya yang berjudul EXPLORING TERRORIST TARGETING PREFERENCES, Unconquerable Nation Knowing Our Enemy Strengthening Ourselves yang kesemua dokumen tersebut adalah produksi Rand Corporation.

Selain itu juga AS memiliki rencana ganda dengan memanfaatkan issue WOT ini. Pada bulan September 2000, PNAC mengeluarkan sebuah Cetak Biru buat masa depan dalam tulisan panjang berjudul “Rebuilding America’s Defenses : Strategy, Forces, and Resources for a New Century.” Tulisan ini bermula dari premis bahwa “Amerika adalah superpower tunggal di dunia, dengan kombinasi kekuatan militer tunggal, keunggulan teknologi, dan kekuatan ekonomi terbesar. Strategi besar Amerika harus bertujuan untuk memeliharai dan memperluas posisi menguntungkan sebesar-besarnya di masa yang akan datang.”

Tulisan strategis itu merekomendasikan misi-misi baru bagi kekuatan militer Amerika, termasuk kapabalitas nuklir yang dominan dengan senjata-senjata nuklir generasi terbaru, kekuatan tempur yang siap tempur yang cukup dan memenangkan berbagai pertempuran besar, dan kekuatan-kekuatan menjalankan “tugas-tugas kepolisian” di seluruh dunia dengan komando Amerika dan bukan Perserikatan Bangsa Bangsa. Hal itu juga menegaskan bahwa “keberadaan kekuatan militer Amerika di wilayah-wilayah kritis di seluruh dunia merupakan bentuk aksi yang paling visible sebagai perwujudan dari status Amerika selaku superpower tunggal.”

Saat peristiwa 11 September 2001 terjadi, bentuk kehancuran yang diharapkan oleh PNAC terjadi guna memuluskan realisasi agenda mereka. Bagi mereka peristiwa itu memang seharusnya terjadi.

Kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh PNAC. Hanya beberapa hari dari 11/9, PNAC mengeluarkan surat bahwa “kalau pun nanti tidak ditemukan bukti keterkaitan Irak dengan penyerangan, strategi apa pun yang bertujuan menghabisi terorisme dan sponsornya harus memuat upaya penggulingan Saddam Husein dari kekuasaan di Irak.” Upaya determinan itu memuncak pada perang di Musim Semi lalu. Akhirnya alasan sebenarnya dari penyerangan Irak bukanlah persoalan Senjata Pemusnah Massal, minyak, pelanggaran HAM, atau apapun alasan lain yang dikemukakan secara publik. Namun sebagaimana yang telah ditulis dua tahun silam adalah keinginan besar untuk merebut peran permanen di wilayah strategis dunia, kawasan Teluk.

Maka dari itu, Presiden Bush dalam pidato kenegaraannya di tahun 2002 mendeklarasikan “Perang kita terhadap teror telah dimulai, tapi ini baru permulaan.” Ia memilih Irak, Iran dan Korea Utara sebagai “Poros Kejahatan, bersenjata untuk mengancam keamanan dunia.” Pada bulan Juni, Bush memberi signal dukungannya untuk strategi pre-emptive war dengan mengatakan bahwa AS “siap untuk aksi pre-emptive bila diperlukan untuk mempertahankan kebebasan kita dan mempertahankan hidup kita.” Pada akhir tahun, hal ini menjadi kebijaksanaan resmi pemerintahan Bush, yang tercantum dalam 2 dokumen perencaan Gedung Putih.

Strategi membesar-besarkan isu terorisme yang diobral sekarang ini dalam rangka menyeret militerisasi dalam politik luar negeri Amerika. Sekarang ini tidak kurang dari 130 negara di dunia yang ditempati oleh pasukan Amerika dengan 40 negara di antaranya menetap secara permanen. Dan banyak lagi negara lain yang menyediakan hak-hak bagi pasukan Amerika untuk berbasis. Dalam tulisan yang dimuat di Wall Street Journal menggambarkan bahwa perubahan besar dalam strategi militer Amerika dalam 50 tahun terakhir ini akan mengarah pada upaya “mendorong kekuatan militer Amerika ke dalam areal yang jauh lebih dalam dan pojokan dunia yang paling berbahaya.” Menteri Pertahanan, Donald Rumsfeld, seorang arsitek strategi ini, “telah mempersiapkan pasukan Amerika untuk masa depan yang dapat melibatkan banyak tempat pertempuran yang kecil, kotor dan paling berbahaya.”

Kalau kita membaca Project of the New American Century (PNAC) yang disusun Dick Cheney, Paul Wolfowitz, Donald Rumsfeld dan Richard Perle, sebelum mereka berkuasa, tujuan yang tidak dikatakan adalah mendirikan supremasi, bukan hanya hegemoni, Amerika di dunia, terutama di seluruh Asia.

Rancangan kelompok neokonservatif itu dipoles dalam sebuah laporan yang disiapkan oleh Project for the New American Century berjudul Rebuilding America’s Defenses: Strategy, Forces and Resources For A New Century bulan September 2000. Adalah wartawan Skotlandia dari harian Sunday Herald, Neil Mackay, yang membocorkan laporan itu dalam artikelnya tanggal 15 September 2000.

Dengan kata kunci "serangan preemptif" dan membasmi terorisme serta memerangi rezim-rezim yang mengembangkan senjata pemusnah massal, Irak merupakan sasaran empuk yang mudah dikalahkan. Maka dicari-carilah pembenaran bahwa Saddam melindungi Al Qaeda, serta mengembangkan senjata pemusnah massal- nuklir, kimia, dan biologis.

Pikiran yang dikembangkan oleh CFR dan RAND Corporation di atas dilanjutkan oleh para pendukung perang dari kelompok The Project for the New American Century (PNAC), yang dimotori oleh Paul Wolfowitz dalam sebuah dokumen berjudul "Rebuilding America's Defenses" yang diterbitkan pada bulan September 2000, setahun sebelum peristiwa 11-9. Ddalam dokumen itu dinyatakan, "AS harus mencegah negara-negara industri maju yang lain jangan sampai bisa menantang kepemimpinan AS, atau bahkan bercita-cita untuk dapat menjalankan peran regional atau global yang lebih besar."

Seperti halnya dokumen CFR dan RAND, dokumen PNAC itu pun secara khusus menyoroti bangkitnya Cina yang perlu dihadapi oleh AS dengan menyatakan, "Kini sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran balatentara AS di Asia Tenggara." (Michael Meacher, "This War on Terrorism is Bogus', the Guardian, London, edisi September 6, 2003. Meacher adalah mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair).

Sebelum 11-9, semua rencana mereka menabrak tembok rintangan yang sama tidak satu pun pemerintahan di Asia Tenggara, bahkan yang konservatif sekalipun seperti Indonesia, yang bersedia memikul risiko menghadapi oposisi anti-Amerika di dalam negeri, atau membuat Cina marah, karena langkah bodoh membangun hubungan dengan militer AS. Dengan kata lain, tanpa adanya bukti adanya ancaman Cina terhadap kawasan Asia Tenggara, para pemimpin ASEAN akan berpikir dua kali untuk memperkenankan kehadiran balatentara AS dalam jarak pukul, bukan hanya terhadap Laut Cina Selatan, terlebih-lebih terhadap daratan Cina. Peristiwa 11-9 membukakan peluang emas untuk mewujudkan usulan dokumen-dokumen tersebut.

Pemerintah Bush dengan sigap memenuhi saran-saran yang diajukan oleh think-tanks seperti RAND, CFR, dan PNAC. "Perang membasmi terorisme global" kemudian oleh pemerintahan Bush ditangkap sebagai dalih par-excellence untuk menghadapi sikap sebagian negara-negara ASEAN yang menolak peningkatan kehadiran balatentara AS di Asia Tenggara. Presiden Bush menyatakan dalam laporannya yang berjudul, The US National Security Strategy (2002) kepada DPR AS menyatakan, "AS akan mengambil langkah-langkah untuk menghalangi Cina meningkatkan pengaruhnya, dan akan bekerja untuk mencegah negara tersebut jangan sampai menyamai atau melampaui kekuatan AS, sehingga dapat mengancam negara-negara di kawasan Asia-Pasifik"(?).

Akhirnya The Heritage Foundation, think-tank dari kelompok ultra-sayap kanan Yahudi yang memiliki hubungan erat dengan Partai Republik, menyatakan dengan tegas, bahwa, "alasan melancarkan perang membasmi terorisme di Asia Tenggara pada akhirnya harus dikerjakan dengan atau tanpa persetujuan pemerintah-pemerintah di kawasan ini." (Peter Symonds, opcit.).

Peristiwa "Bom Bali" 12-10 -- tanpa ada seorang pun warga negara Amerika yang jadi korban -- oleh AS telah ditampilkan sebagai "bukti" adanya jaringan teroris internasional JI di Indonesia. Setelah peristiwa 12-10 itu semuanya berubah sudah, seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, siap berada di bawah komando AS untuk "membasmi terorisme". Dan untuk itu AS menuntut agar balatentaranya di Pasifik meronda Selat Malaka, di kemudian hari diniscayakan akan melebar ke Selat Lombok dan alur-alur laut chocke points penting lainnya, dengan dalih "membasmi pembajakan dan terorisme di laut".

Dan untuk memperlancar agenda AS di Indonesia dalam usaha memburu para mujahidin dengan kedok GWOT maka AS membiayai pembentukan pasukan khusus kepolisian dengan nama Detasemen Khusus 88. pada saat kunjungan ke Jakarta tahun 2002 menlu collin powel mengumumkan program bantuan sebesar 50 juta US dollar untuk membantu aparat keamanan dalam kampanye melawan terorisme. Kongres AS juga menyetujui untuk memberikan bantuan kepada polisi Indonesia sebesar 16 juta US dollar termasuk 12 juta US dollar untuk membentuk DEATSEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR / UNIT KHUSUS ANTI TEROR (lihat laporan lembaga HUMAN RIGHT WATCH 25 maret 2003 berjudul : ATAS NAMA MELAWAN TERORISME : PELANGGARAN HAM DISELURUH DUNIA).

Bahkan dalam anggaran belanja pertahanan AS belanja untuk Global War On Terrorism tahun 2008 yang lalu mencapai 141, 7 milliar US dollar.

Demikian sedikit gambaran yang ada dibalik issue terorisme yang berkembang dan dikembangkan saat ini. Kiranya kita semua tidak terjebak dalam permainan AS yang memiliki maksud jahat untuk menguasai dunia dengan sistem sesatnya.

Wamakaru wa makarallah wallahu khairul makariin. Wassalam
Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda