Yogyakarta Kota Pelajar |
Mengintip Fenomena Seks Bebas Kalangan Mahasiswi Di Yogyakarta - Isu seks pra nikah di Yogyakarta sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, tetapi sudah berulangkali dimunculkan. Jika pada tahun 1994 lalu, survei difokuskan pada masalah di kalangan mahasiswa, di tahun 1999 diperluas di kalangan pelajar.
Hasilnya sangat mengejutkan untuk sebuah daerah yang menjadi salah satu tujuan favorit belajar dan menimba ilmu.
Apakah yang menyebabkan fenomena seks pra nikah semakin meluas di kalangan remaja, khususnya untuk kalangan remaja di Yogyakarta? Penulis akan mengungkapkan beberapa fakta dan kejadian yang menggambarkan sisi lain dari kehidupan remaja di Yogyakarta.
Beberapa Survei Sebelumnya
Pada tahun 1994, sebuah lembaga konseling remaja pernah membuat sebuah survei yang cukup menghebohkan mengenai virginitas di kalangan remaja di Yogyakarta. Hasilnya cukup mengejutkan, serta membuat kalangan orangtua yang menyekolahkan anaknya di Yogyakarta menjadi was-was. Jika digunakan perbandingan, diperoleh sebanyak 8 dari 10 remaja (mahasiswa) di Yogyakarta pernah melakukan hubungan seks pra nikah. Perdebatan dan hujatan pun muncul di mana-mana, bahkan di tingkat nasional yang menyoroti hasil survei tersebut. Tak urung pula pakar statistik mempersoalkan aspek teknis (metodologi) yang dipergunakan dalam survei tersebut yang dianggap sangat bias. Paparannya pun dianggap terlalu menyudutkan dan men-generalisasikan populasi.
Sekalipun mendapatkan kecaman, tetapi survei berikutnya tahun 1999 muncul kembali yang secara khusus mengambil subyek pengamatan mahasiswa di Yogyakarta. Berbeda dengans survei sebelumnya yang tidak mengelompokkan sampel, tetapi pada survei kali ini secara khusus dipilih subyeknya adalah kalangan mahasiswa di Yogyakarta. Hasilnya tidak banyak berbeda. Disebutkan apabila terdapat sebanyak 7 dari 10 mahasiswa yang pernah melakukan hubungan seks pra nikah. Sekali lagi, survei tersebut mendapatkan kecaman dari berbagai kalangan, bahkan di tingkat nasional.
Penulis bisa memahami reaksi penolakan dari kalangan masyarakat. Pertama, si pembuat survei kurang berhati-hati dalam menentukan (memilih) sampel dan obyek yang diamati. kedua, teknik penyamplingannya terlalu sederhana, termasuk metode wawancara yang digunakan. ketiga, tidak disertai penjelasan yang mengukur tingkat reprsentasi sampel terhadap populasi. Kasus seks pra nikah masih merupakan kasus yang cukup sensitif di kalangan masyarakat Yogyakarta dan pada umumnya di Indonesia. Seharusnya si pembuat survei bisa memberikan batasan yang lebih ketat dalam mendefinisikan sampel, terutama pada teknik penyamplingan.
Belum usai pula soal metodologi survei, pada tahun 2002 lalu, masyarakat Yogyakarta dikejutkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan kemanusiaan (LSCK) dengan tema virginitas di kalangan mahasiswa Yogyakarta. Survei dilakukan atas sebanyak 1.660 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Hasilnya, sebanyak 97,5% dari responden mengaku telah kehilangan virginitasnya akibat seks pra nikah. Penelitian yang dilaukan oleh LSCK kali ini mendapatkan dukungan dari banyak pihak, termasuk Badan kependudukan dan keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Uniknya, hasil survei kali ini tidak mendapatkan reaksi keras seperti sebelumnya. Disamping itu, pro dan kontra tidak banyak terlihat dan tenggelam begitu saja dalam kurun waktu yang singkat. Reaksi masyarakat Yogyakarta sendiri terlihat seolah mengamini hasil survei tersebut.
Yogyakarta Under Cover
Seks pra nikah tidak bisa dilepaskan pemahamannya dengan seks bebas atau pergaulan bebas. Fenomena pergaulan bebas di kalangan mahasiswa sesungguhnya telah berlangsung cukup lama, yaitu sekitar awal dekade 1990an. Kota Yogyakarta semakin lama, semakin tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehadiran pendatang dari luar daerah. Sarana hiburan mulai bermunculan dan semakin berkembang menjadi gaya hidup tersendiri. Interaksi sosial pun semakin meluas di kalangan mahasiswa membentuk karakter dan gaya hidup. Penulis ingin menunjukkan beberapa sisi lain dari kehidupan mahasiswa/mahasiswi di Yogyakarta. Bukan bermaksud hendak membentuk opini umum, tetapi sisi lain yang dimaksudkan adalah sesuatu yang tidak biasa pada kalangan tertentu. Beberapa di antaranya berdasarkan pengalaman sendiri dan beberapa di antaranya berdasarkan penuturan pihak lain.
Vibrator Di Kamar Kos Puteri
Cerita ini diperoleh dari salah satu pemilik kos puteri di lokasi yang tidak jauh dari salah satu kampus swasta. Pemilik kos sebenarnya curiga dengan perilaku beberapa penghuninya yang sering pulang larut malam, bahkan baru pulang keesokan harinya. Pernah ditanyakan, tetapi ibu pemilik kos curiga si penghuni mungkin berbohong. Beberapa kali didapati pulang kos di antar oleh pria. ketika liburan panjang, seluruh penghuni kos pulang kampung. ketika itu pula ibu pemilik kos berkesempatan untuk menggeledah isi kamar dari penghuni. Alasannya, si ibu kos tidak ingin kosnya mendapat pandangan buruk dari pihak lain. Cukup mengejutkan, dari 10 kamar yang digeledah, terdapat 6 kamar di antaranya yang menyimpan mainan seks yang disebut vibrator. Awalnya si ibu kos tidak mengetahui kegunaan alat tersebut, sampai kemudian ditanyakan oleh keponakannya. Seluruh kamar ditemukan terdapat VCD porno dan VCD filem semi. Apa tindakan si ibu kos? Pihak ibu kos tidak akan memperpanjang masa sewa kamar kos bagi seluruh penghuninya yang kebetulan jatuh tempo setiap 1 tahun. Tidak sulit untuk mendapatkan mainan seks seperti vibrator di Yogyakarta. Siapun bisa memesannya lewat internet atau bisa memesankan lewat orang lain (jasa kurir). Cerita ini dituturkan pada tahun 2003.
Malam Panjang Dunia Gemerlap (Dugem)
Umumnya, masyarakat Yogyakarta tidak begitu asing dengan tempat yang mendapat sebutan ‘Goedang Café’ dan ‘Hugos’. Dua tempat diskotik ini adalah yang paling banyak dikunjungi oleh kalangan mahasiswa maupun mahasiswi. Alasannya, tempatnya cukup luas, minuman (beralkohol) lebih bervariasi, bartender yang berpengalaman, dan tersedia layanan pengantaran. Lokasi Hugos sendiri berdampingan dengan hotel berbintang 4, sementara Goedang Café terletak di batas kota. Dua tempat ini bersaing untuk mendapatkan pelanggan dengan menggelar even-even khusus, seperti Ladies Night. kemunculan dugem itu sendiri sebenarnya sudah lama ada, sebelum hadirnya Hugos maupun Goedang pada sekitar tahun 2000.
Selain diharuskan membayar tiket masuk, pengunjung diharuskan membawa identitas seperti KTP/SIM/KTM. Pada malam acara tertentu diharuskan untuk menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Menurut penuturan dari pihak resepsionis, sebagian besar pengunjungnya berasal dari PTS, baik pria maupun wanita. Sekalipun diskotik sudah dibuka sejak pukul 17.00 (Hugos) dan 20.00 (Goedang), tetapi umumnya para pengunjung dari kalangan mahasiswa baru tiba pada saat acara puncak pada pukul 23.00. kedua tempat tadi baru tutup sekitar pukul 02.00. Ada pameo di kalangan mereka, apabila siapapun wanita di acara tersebut boleh ditiduri oleh siapa saja. Cukup dengan mentraktir minuman sudah menjadi transaksi seks yang sangat sederhana. Supaya diketahui, harga minuman paling murah di sana bisa mencapai Rp 150.000 per gelas.Tanggung jika mentraktir satu gelas untuk dua orang. Biasanya mereka memesan botol minuman yang harganya paling murah bisa mencapai Rp 400.000 (tahun 2002). Jika pandai bergaul dan berkomunikasi, Anda dapat dengan mudah mendapatkan obat perangsang di tempat ini.
Agen Penjualan Obat Kuat dan Alat Seks
Sebenarnya tidak terlalu sulit mendapati lokasi yang menjual obat-obat kuat atau ramuan seks di Yogyakarta. Terlihat sulit karena tempat-tempat tersebut tidak secara terbuka menjajakan produknya. Ada di antaranya penulis pernah mengetahui obat-obat kuat, termasuk dalam bentuk ramuan atau obat-obatan khusus, obat perangsang, hingga alat mainan seks. Toko-toko ramuan China di Malioboro pun menjualnya, kecuali untuk mainan seks (sex toy). Beberapa toko menjajakan secara terbuka yang biasanya ditempatkan di barisan paling akhir. Tetapi beberapa toko lainnya tidak menjajakan secara terbuka. Si pembeli harus berani untuk menanyakan sendiri. Untuk obat-obat kuat, mereka tidak terlalu mencurigai pembelinya. Tetapi untuk obat-obat perangsang ini memang agak sulit. Anda harus terbiasa membeli di tempat tersebut, baru si penjual mau menawarkan barangnya. Cukup mengejutkan dari cerita si penjual. Obat kuat maupun obat perangsang termasuk cukup laris. Pada akhir bulan seringkali sampai kehabisan stok. Para pembelinya ada yang membeli secara borongan, tetapi ada pula yang membeli eceran. Mereka yang membeli secara eceran berusia di atas 20 tahun atau dianggap mahasiswa. kebetulan kebanyakan pembelinya adalah pria, tetapi ada beberapa pula dari wanita. Remaja puteri biasanya paling sering membeli obat anti hamil dan minyak pelumas khusus. Uniknya, kondom justru kurang diminati oleh pembeli dari kalangan remaja.
Kos Bebas Semakin Menjamur
Kos bebas yang dimaksudkan di sini adalah kos yang tidak diawasi atau ditunggui oleh pemiliknya. Mereka umumnya mempekerjakan orang untuk mengurusi kos, termasuk menjaga keamanan pintu gerbang. Tetapi tidak sedikit di antaranya yang menyerahkan urusannya tersebut kepada penghuni kos. Kos bebas tersebut bukan termasuk kos campur, tetapi kos khusus putera dan kos khusus puteri. Kos bebas tersbut paling banyak ditemukan berupa kos putera, tetapi jumlah kos bebas untuk puteria pun bisa dikatakan tidak sedikit dan semakin bertambah. Hampir di seluruh kawasan pemukiman mahasiswa terdapat kos semacam ini.
Adalagi sebutan kos setengah bebas. Kos semacam ini masih ditunggui oleh pemiliknya, tetapi si pemilik seringkali tidak ambil peduli dengan urusan ataupun aktivitas dari penghuninya, sejauh tidak mengganggu ketertiban. Adapula si pemilik baru terlihat ketika sudah sore atau malam hari menjelang jam tamu berakhir. Interaksi antara si pemilik dan penghuni relatif minim, apalagi jika hunian tersebut ditempati lebih dari 20 orang. Tamu boleh saja masuk kamar, termasuk tamu lawan jenis, tanpa banyak dicurigai atau ditanyai oleh pihak pemilik. Untuk kos puteri misalnya, jika menerima tamu pria seringkali dibolehkan untuk menutup pintu kamar. Kos setengah bebas tersebar di seluruh kawasan pemukiman mahasiswa, tetapi jumlah masih lebih sedikit dibandingkan kos bebas.
Informasi Aborsi
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mencari informasi aborsi di Yogyakarta. Hanya saja, informasi tersebut sangat tertutup, tetapi bukan berarti tidak banyak yang mengetahui. Penulis mengaku cukup kesulitan untuk mengklarifikasi kebenaran fakta tersebut. Dikatakan informasinya bersifat tertutup, karena tidak semua orang akan memiliki akses atas informasi tersebut. Mereka yang mengetahui itu pun tidak akan mudah memberikan jawaban atau petunjuk mengenai lokasi praktik aborsi. Menurut perkiraan penulis, dari 10 orang terdapat setidanya terdapat 2 di antaranya yang mengetahui. Aborsi dianggap sebagai urusan wanita, sehingga mayoritas yang menguasai informasi tersebut adalah wanita. Mereka hanya akan memberikan petunjuk lokasi hanya kepada temannya yang dianggap membutuhkan. Jika tidak, mereka akan berpura-pura tidak tahu. Penulis memperkirakan, praktik aborsi tersebut dilakukan di sebuah klinik yang ditangani sendiri oleh tenaga medis yang lokasinya berada di kawasan pinggiran di Yogyakarta.
Tarif ‘Ayam Kampus’
Ayam kampus adalah julukan yang diberikan kepada kalangan mahasiswi yang menjual jasa seks kepada pihak lain. Tidak bisa dipungkiri suatu fakta apabila setiap kampus di Yogyakarta memiliki ayam kampus. Fenomena ayam kampus di Yogyakarta sesungguhnya sudah cukup lama. kebanyakan di antaranya beroperasi secara terorganisir, yaitu melalui perantara. Tetapi akhir-akhir ini sudah mulai berkembang beroperasi secara individu (tanpa perantara). Mereka adalah kalangan yang sangat tertutup. Penampilan dalam keseharian akan menipu siapapun yang bertemu dengan mereka. Jika melalui perantara biasanya lebih sulit, karena kerjasama mereka cukup kompak. Mereka menggunakan bahasa sandi dalam bentuk telpon maupun SMS. kebanyakan dari mereka memiliki motif yang berlatarbelakang ekonomi. Tetapi akhir-akhir ini motif mereka tidak sekedar faktor ekonomi, melainkan faktor terpenuhinya gaya hidup. Tarif mereka cukup beragam, rata-rata mulai dari Rp 800.000 per malam hingga di atas Rp 1.500.000 per malam, tergantung pelayanan, waktu, dan lokasi. Mereka pun bersedia dipanggil untuk menerima layanan short-time dengan tarif sekitar Rp 200.000 - Rp 400.000. Mereka yang beroperasi individu biasanya lebih murah dan relatif bisa dinegosiasikan.
Kawin Kontrak di Kalangan Mahasiswi
Dari pantauan penulis, keberadaan istri simpanan atau kawin kontrak di kalangan mahasiswi di Yogyakarta sudah ada sebelum tahun 2000. Penulis sendiri pertama kali mendengar kabar tersebut pada tahun 1994, tetapi penulis baru bertemu dengan salah satu pelakunya pada tahun 1999. Pelakunya kebanyakan berasal dari kalangan PTS, tetapi kabarnya pula ada yang berasal dari kalangan PTN. Mereka dijadikan istri simpanan dari kalangan pengusaha luar daerah atau daerah yang tidak berjauhan dari Yogyakarta. Para pengusaha tadi memberikan tempat berupa rumah yang lokasinya berjauhan dari pemukiman mahasiswa untuk ditempati oleh si mahasiswi. Fenomena kawin kontrak di kalangan mahasiswi di Yogyakarta belum banyak mendapatkan sorotan dan perhatian untuk dilakukan pengkajian ataupun reportase khusus, sehingga perkiraan populasinya masih sangat sulit untuk ditentukan.
Jogja Sex Party
Penulis tidak bisa menjamin kebenaran cerita tentang pesta seks di kalangan mahasiswa dan remaja di Yogyakarta. Ada 2 narasumber, tetapi karena begitu rapatnya informasi menyebabkan penulis kesulitan untuk bisa menelusuri kebenarannya. Salah satu narasumber bercerita pada tahun 1995, kemudian narasumber satunya bercerita di tahun 2004. Supaya tidak rancu, ada dua jenis pesta seks, yaitu pesta seks komunitas dan pesta seks non komunitas. kesamaannya hanya terletak pada cara mereka yang memilih pihak lain yang cukup selektif dan memiliki kesamaan kesukaan. keduanya pula sama-sama tertutup rapat. Pesta seks komunitas diikuti oleh pecinta seks, pria, wanita, gay, dan lesbian. Sementara untuk pesta seks non komunitas hanya pria dan wanita. Untuk yang komunitas memiliki tanda keanggotaan berupa tato dan gelang dengan ciri khusus. Mereka tidak hanya dari Yogyakarta, melainkan datang pula dari luar kota. Koordinator untuk yang komunitas biasanya berasal dari Jakarta atau Bandung. Dalam bentuk komunitas maupun non komunitas, keduanya sangat selektif memilih orang dan keanggotaannya sangat tertutup.
Menelusuri Penyebab Munculnya Fenomena Seks Pra Nikah
Penulis agaknya kurang yakin apabila kemunculan fenomena seks pra nikah di kalangan remaja dilatarbelakangi oleh minimnya pengetahuan tentang seks. Jika saja mau jujur mengakui, fenomena tersebut muncul justru dikarenakan oleh masyarakat sendiri. Pada prinsipnya, hubungan seks pra nikah di kalangan mahasiswa terjadi tidak lain karena begitu banyak terdapat kesempatan. Penulis mengumpulkan beberapa catatan hasil studi mengenai kenakalan remaja dan fenomena seks pra nikah di Yogyakarta dari berbagai sumber. Berikut adalah ulasan mengenai penyebab munculnya fenomena seks pra nikah.
Lokasi Favorit Melakukan Hubungan Seks
Hasil studi yang dilakukan LSM Sahara (Bandung) pada tahun 2002 pernah menyebutkan apabila faktor penyebab dimungkinnnya terjadinya hubungan seks pra nikah adalah faktor lokasi. Hubungan intim membutuhkan lokasi yang bagi mereka memenuhi kriteria aman, mudah diakses, dan ongkos yang relatif terjangkau. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh LSCK di Yogyakarta tahun 2002 menyebutkan beberapa tempat favorit untuk melakukan hubungan seks adalah:
1. Kos dan pondokan Lain (termasuk kontrakan)
2. Penginapan, seperti losmen atau hotel
Sejak lama, kamar kos di Yogyakarta masih menjadi lokasi favorit yang dipilih untuk melakukan hubungan seks di kalangan mahasiswa. Sebagian besar pula dilakukan di kamar kos putera, karena pada umumnya kos putera lebih bebas ketimbang kos puteri. Untuk kos puteri biasanya hanya terdapat pada kos yang relatif bebas di mana tamu pria diperbolehkan masuk kamar.
Selain kos, lokasi lain yang seringpula dimanfaatkan untuk hubungan seks seperti kontrakan ataupun semacam asrama. Beberapa mahasiswa biasanya memilih untuk mengontrak rumah, ketimbang mengambil kos. Sekedar catatan, bahwa tidak semua asrama mahasiswa di Yogyakarta memiliki status yang jelas, yaitu status resmi dari pemerintah di daerah asal. Tidak sedikit di antaranya yang cukup bermasalah, seperti minim pengawasan lingkungan di sekitarnya.
Adapun untuk dipilihnya lokasi di penginapan biasanya karena alasan tidak memungkinkan dilakukan di kamar kos masing-masing. Ada pula alasan untuk memilih lokasi di penginapan sebagai variasi lokasi semata. Lokasi penginapan yang termasuk paling banyak dimanfaatkan oleh kalangan mahasiswa terletak di wilayah luar kota yang tidak terlalu jauh dari lokasi mereka tinggal atau menempuh perjalanan sekitar kurang dari 40 menit. Salah satunya adalah lokasi penginapan di Kaliurang yang terletak di dataran tinggi. Tarif sewa kamarnya pun relatif cukup terjangkau untuk kalangan mahasiswa.
Dengan Siapa Mereka Melakukan Hubungan Seks
Ini adalah salah satu dari pertanyaan ini diajukan dalam survei dan penelitian yang dilakukan oleh LSCK kepada respondennya dari kalangan mahasiswi. Sebagian besar respondennya mengaku lebih sering berhubungan intim dengan pacarnya. Begitu pula mereka yang mengaku dengan siapa pertama kali berhubungan intim. Kurang dari 5% di antaranya mengaku berhubungan intim tidak hanya dengan pacarnya atau berhubungan intim dengan siapa saja yang dikenal dan diinginkannya.
Fenomena kemunculan gay dan lesbian di kalangan mahasiswa/mahasiswi di Yogyakarta pun sebenarnya sudah lama ada, bahkan sebelum tahun 2000. Dari pantauan penulis pada pertengahan tahun 2008 lalu, mereka cenderung masih sangat tertutup, sekalipun telah mulai terbentuk komunitas-komunitas kecil. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Fakultas Psikologi UGM pada tahun 2004-2005 pernah menyebutkan apabila mereka adalah para pendatang yang berasal dari luar daerah. Sayangnya hasil penelitian yang sempat diseminarkan pada bulan Desember 2005 tersebut tidak menyebutkan jumlah sampel ataupun perkiraan populasinya. Tetapi hampir bisa dipastikan kelompok gay dan lesbian bisa ditemukan di hampir seluruh perguruan tinggi di Yogyakarta. Sikap mereka yang sangat tertutup tidak lain didorong oleh sikap kebanyakan masyarakat di sekitarnya yang menganggapnya sebagai perilaku menyimpang.
Faktor Teknologi
Kebanyakan mahasiswa yang berasal dari luar daerah akan diberikan fasilitas hiburan, seperti televisi, pemutar VCD/DVD, atau komputer. Melalui perangkat inilah mereka mengenal film porno atau film semi. Rental VCD/DVD pun bermunculan di tengah-tengah kawasan pemukiman mahasiswa. Tidak sedikit di antaranya yang menyediakan film porno/semi, sekalipun tidak dipajang secara terbuka. Di kalangan mahasiswa sendiri, peminatnya tidak hanya berasal dari kalangan pria, tetapi datang pula dari kalangan wanita. Pengelola rental nampaknya cukup paham dengan kebutuhan mereka, sehingga selalu mendatangkan film-film baru setiap bulannya. Menurut pengakuan dari salah satu pengelola rentah (percakapan pada tahun 2000), tingkat permintaan sewa keping VCD/DVD porno/semi sangat tinggi untuk setiap kepingnya. Mereka seringkali harus menggandakan hingga sebanyak 3 keping untuk setiap judul film. Beberapa mahasiswa sering pula menduplikasikan ke komputernya sendiri, agar bisa ditonton lain waktu bersama orang lain.
Fenomena lain yang sempat muncul di sekitar tahun 2000 adalah warnet. kehadiran teknologi informasi turut membuka peluang memicu terjadinya hubungan seks pra nikah di Yogyakarta. Sempat bermunculan warnet dengan lokasi yang sangat tertutup, sehingga cukup sering dimanfaatkan oleh kalangan mahasiswa untuk tempat berhubungan intim. Beberapa warnet di Yogyakarta diketahui pula secara sengaja menyimpan koleksi klip maupun film porno yang bisa diakses oleh para pengunjungnya. Berdasarkan pengakuan dari pengelola warnet, mereka dari kalangan mahasiswa ini yang mengakses film/klip porno ternyata pula berasal dari kalangan wanita (mahasiswi). Hal ini bisa diketahui dengan mudah, karena lokasi film/klip tersebut bukan disimpan di hard disk, melainkan di server warnet, sehingga bisa dipantau siapa saja (nomor meja) yang mengaksesnya.
Minimnya kepedulian Pemda Setempat
Kemunculan hubungan seks pra nikah di kalangan mahasiswa di Yogyakarta tidak terlepas pula dari peran pemda setempat (pemkab/pemkot). kemunculan yang sudah sejak lama terjadi nampaknya tidak menjadi perhatian serius bagi pemkab maupun pemkot di Propinsi Yogyakarta. Mereka seolah terkesan menutup mata atas fenomena tersebut, selama tidak mengganggu sumber penerimaan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Beberapa kali pernah dilakukan operasi sweeping kamar kos, tetapi kegiatan tersebut bukan merupakan kegiatan rutin. Baru diketahui apabila sweeping tersebut hanyalah untuk menyapu aspek perijinan pondokan (kos/kontrakan/asrama). Berulangkali laporan dari warga masuk ke Dinas Trantib Pemkab maupun Pemkot, tetapi sangat jarang untuk ditindaklanjuti. Sampai penulis pernah mendengar suatu pameo, apabila pembiaran tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga Yogyakarta menjadi tujuan kedatangan calon mahasiswa/mahasiswi. Paska diberlakukannnya otonomi daerah, Yogyakarta harus bersaing dengan daerah lain di sekitarnya, seperti Solo, Semarang, atau Purwokerto yang mulai berkembang. Di kota-kota tadi pun kabarnya pemda setempat mengorbakan aspek moral demi menggenjot penerimaan PAD. Salah satu alasan para pendatang untuk memilih Yogyakarta, karena harus diakui berdasarkan pertimbangan kebebasan.
Minimnya kepedulian Warga Setempat
Tidak semua lokasi atau kawasan pemukiman mahasiswa yang minim dengan pengawasan warga setempat, tetapi masih terdapat cukup banyak kawasan pemukiman yang relatif minim perhatian ataupun pengawasannya dari warga setempat. Waktu di siang hari merupakan waktu yang paling memungkinkan untuk dilakukannya hubungan seks di kamar kos. Selain berada di luar jam ketertiban lingkungan, waktu tersebut cukup leluasa di lokasi kos yang bebas ataupun setengah bebas. Warga setempat pun kurang peduli dengan kos-kos yang tidak ditunggu sendiri oleh pemiliknya. Berdasarkan pantauan penulis, cukup banyak lokasi pemukiman mahasiswa yang tidak memiliki portal yang membatasi jam keluar maupun masuk. Jika pun ada pengawasan dari aktivitas siskamling, mahasiswa biasanya membawa tamu wanita setelah bubarnya siskamling (sekitar pukul 02.30-03.00).
Jika ditanya soal peraturan, sesungguhnya peraturan sudah lama ada, tetapi jarang diterapkan dengan konsisten. Misalnya saja, sebelum tahun 2000 masih banyak dijumpai papan yang bertuliskan jam belajar. Tetapi akhir-akhir ini tulisan tersebut semakin jarang ditemui. ketentuan jam tamu itu pun sebenarnya telah diatur di masing-masing kampung dan dilindungi oleh perda setempat. Tetapi masih banyak wilayah pemukiman yang terlihat kurang peduli dengan tata tertib tersebut. Tidak mengherankan apabila penelitian yang dilakukan oleh LSCK di tahun 2002 menyebutkan lokasi paling sering dipilih untuk melakukan hubungan seks adalah kamar kos.
Faktor Lingkungan dan Pergaulan
Tidak bisa dipungkiri lagi apabila faktor lingkungan dan pergaulan turut memicu dan memberikan dampak terhadap terbentuknya perilaku seks pra nikah. Remaja putera/puteri yang terbiasa melihat teman kosnya membawa lawan jenis menginap ke kamar akan memberikan kemungkinan untuk terpengaruh. Misalnya lagi, kawan dari mahasiswi berbagi cerita (curhat) kepada seorang mahasiswi tentang hubungan intim yang dilakukan oleh pacarnya. Mereka yang menjadi tempat bercerita itu pun tidak tertutup kemungkinan akan turut terpengaruh. Seringkali pemicunya justru berasal dari sesuatu kejadian yang sangat sederhana. Komunitas wanita berkumpul, lalu bergosip tentang hubungan seks di antara temannya itu pun turut akan memicu keinginan untuk mencaritahu dan mencoba hubungan seks pra nikah.
Faktor Semakin Banyaknya Waktu Luang
Masalah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan, karena hasil pengamatan tidak bisa begitu saja menjadi suatu kesimpulan umum. Di Jepang saja yang memiliki kultur disiplin yang cukup tinggi pun memiliki remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah sangat tinggi. Tetapi di sini perlu dibatasi untuk ruang lingkupnya hanya pada lingkungan mahasiswa/mahasiswi di Yogyakarta. Faktanya memang demikian, kebanyakan mahasiswa terlihat jauh lebih santai ketimbang siswa-siswa sekolah pada umumnya. Hasil studi yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi UGM pada tahun 2005 itu pula menyebutkan frekuensi paling tinggi mereka yang melakukan hubungan seks pra nikah terjadi di kalangan mahasiswa/mahasiswi yang mengambil kuliah dengan kredit kurang dari 18 SKS per minggunya. Waktu akademik dalam sehari rata-rata hanya kurang 6-8 jam. Artinya, rata-rata di antara mereka memiliki sebanyak lebih dari 12 jam waktu luang, termasuk yang akan digunakan untuk waktu istirahat. Waktu luang yang semakin banyak akan turut mendukung semakin terbukanya kesempatan. Sayangnya agak sulit untuk memperkirakan tingkat peluang dari faktor banyaknya waktu luang memicu terjadinya perilaku seks pra nikah, karena tingkat variasi di antara sampel yang sangat tinggi.
Faktor Ekonomi
Ada dualisme pandangan tentang faktor ekonomi yang menjadi pendorong/pemicu terjadinya perilaku seks pra nikah. Pertama, alasan ekonomi dalam arti karena kesulitan keuangan atau untuk mencukupi kebutuhan pribadi. kedua, faktor ekonomi yang dianggap berlebihan, sehingga memberikan lebih banyak kesempatan/peluang yang mendorong terbentuknya perilaku seks pra nikah. Dalam perkembangannya, alasan ekonomi menjadi semakin terbuka untuk diperdebatkan. Biaya kuliah yang semakin mahal menyebabkan hanya mereka yang berasal dari kalangan ekonomi di atas mampu atau di atas kelas menengah yang mampu mengambil kuliah. Artinya, kecenderungannya lebih banyak bergeser pada pengertian kedua. Sekalipun demikian, alasan pertama ini pun masih tetap terbuka. Misalnya saja, sebuah penelitian (skripsi) jurusan psikologi (UGM) tahun 2006 lalu sempat mengambil tema mengenai motif pelacuran di kalangan remaja di Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut disebutkan tentang masih terdapatnya motif untuk mendapatkan pendapatan di kalangan mahasiswi maupun pelajar. Sayangnya, penulis belum bisa meminta klarifikasi tentang hasil penelitian dari si penulis skripsi.
Taraf Religius
Agak sulit untuk mendefinisikan tingkat religius individu, termasuk agak sulit pula untuk menentukan penilaiannya. Tetapi tidak pula bisa dibantah, apabila faktor kualitas pendidikan agama dari individu akan turut menentukan perilaku individu, termasuk membentengi dirinya dari risiko perilaku seks pra nikah. Dari beberapa penelitian yang bisa dikumpulkan oleh penulis sama sekali tidak meletakkan variabel tingkat religius individu. Alasannya, variabel keimanan atau kadar keagamaan seseorang adalah sesuatu yang abstrak. Jika hendak dibuatkan pengukuran harus dengan didukung oleh konsensus yang kuat, sehingga tidak akan menjadi perdebatan yang panjang. Hal ini dikarenakan pula apabila beberapa temuan di lapangan mendapati perilaku seks pra nikah ternyata berasal dari beragam latar belakang.
Minimnya Perhatian Dari Orangtua/Keluarga
Penulis cukup kesulitan untuk menuliskan penjelasan ini, tetapi pada prinsipnya, orangtua terkadang memberikan terlalu banyak pilihan dan kebebasan kepada putera maupun puterinya. kebanyakan dari para orangtua akan beranggapan apabila putera dan puterinya yang sudah dewasa tidak perlu untuk banyak diatur atau diawasi. Mereka harus diberikan kesempatan untuk mengatur dan mengawasi dirinya sendiri. Rasanya terlalu naif apabila mengamini sebagian anggapan para orangtua tersebut.
Menurut laporan dari LSCK disebutkan apabila pelaku dari seks pra nikah bisa terjadi di kalangan mahasiswa dengan berbagai latar belakang keluarga dan segala pendidikannya. Begitu pula dengan kasus-kasus kehamilan di luar nikah pada kalangan mahasiswi di Yogyakarta. Mereka yang mengalaminya itu pun, bahkan didapati terdapat dari kalangan mahasiswa atau mahasiswa yang berdomisili (warga) Yogyakarta. Tetapi perlu digarisbawahi apabila faktor hidup jauh dari orangtua menjadi salah satu faktor kunci. Sebelum tahun 2000, ketika masih menjamurnya warung telepon (wartel), tidak sedikit dari kalangan mahasiswa yang rutin seminggu sekali menghubungi orangtuanya. Tetapi setelah era teknologi telekomunikasi yang sudah maju saat ini, frekuensi komunikasi justru ditemukan semakin berkurang. Tinggal jauh dari orangtua membuat mereka membutuhkan sosok yang bisa menjadi tempat untuk berkomunikasi dekat dan berbagi rasa.
Tentunya akan menjadi semakin rumit apabila si anak berasal dari keluarga yang bermasalah, kemudian mereka tinggal jauh dari orangtua. Tidak sedikit kalangan mahasiswa (pelaku seks pra nikah) yang melakukan konseling dengan LSCK kemudian mengaku berasal dari keluarga yang bermasalah, seperti keluarga yang kurang harmonis, perceraian, atau yatim/piatu sejak usia dini. Jika dicermati, mereka membutuhkan perhatian dan komunikasi. Sayagnya, kehadiran lembaga-lembaga konseling kurang mendapatkan perhatian dari kalangan pendidikan dan terutama dari pihak Pemda Yogyakarta.
Penutup
Kekhawatiran akan fenomena seks pra nikah di kalangan remaja sebenarnya dialami oleh setiap pemeluk agama. Pemerintah China akhir-akhir mulai mengkhawatirkan munculnya fenomena seks pra nikah di kalangan generasi mudanya. Padahal mereka termasuk sangat selektif untuk menyaring setiap konten pornografi yang berasal dari luar. Pertanyaannya kemudian dikembalikan kepada publiks sendiri, apakah fenomena seks pra nikah dianggap lazim ataukah merupakan fenomena kerusakan moral. Memang benar, pendidikan agama perlu untuk dikedepankan, tetapi belumlah cukup untuk membendung risiko terjadinya seks pra nikah. Kita tidak boleh sesekali menutup mata atas fakta-fakta yang sudah terungkap di lapangan. Berbagai kalangan mengakui apabila kunci untuk mencegah terjadinya perilaku seks pra nikah yang paling utama justru terdapat pada peran keluarga.
Penulis pernah membaca suatu artikel menarik dari majalah Men’s World tahun 2006. Rupanya fenomena seks pra nikah ini pun sempat menjadi kekhawatiran di kalangan keluarga di Amerika Serikat. Disebutkan bahwa terjadinya hubungan seks terletak pada prinsip TAKE & GIVE di mana pria akan mengambil (taking), sedangkan wanita berada pada posisi memberi (giving). Jadi kunci untuk membendung perilaku seks pra nikah terletak pada si pria. Banyak kalangan yang menafsirkan wanita sebagai faktor pemicu, tetapi mengabaikan pria sebagai pihak yang mengambil kesempatan.
Catatan pula ditujukan ke pihak pemda di tingkat kabupaten dan kota di Yogyakarta. Pihak pemda seharusnya tidak begitu saja hanya menikmati sumber pendapatannya untuk PAD, tetapi punya kewajiban moral pula kepada para pendatang. Yogyakarta sudah sejak lama pula tidak lagi melekat predikat ‘Kota Pelajar’, melainkan lebih melekat sebagai ‘Kota Cinta’. Paradigma tentang kekhawatiran akan kehilangan sumber pendapatan dari eksternalitas pendidikan seharusnya tidak menjadi pertimbangan. Mungkin saja paradigma tersebut hanya digunakan untuk mengelabuhi keengganan dan ketidakpedulian pemda terhadap fenomena kerusakan moral pada kalangan generasi muda.
Pada akhirnya, untuk menyikapi fenomena seks pra nikah dikembalikan kepada kita semua para pembaca dan masyarakat. Apakah fenomena seks pra nikah dianggap sebagai fenomena yang mengkhawatirkan dan tidak normal ataukah hanya menjadi sebuah fenomena sosial semata. Bagi kebanyakan dari kita mungkin akan berusaha untuk menutup mata, sekalipun masih tersirat sedikit keprihatinan. Masyarakat Indonesia sebenarnya sejak kasus heboh seks pra nikah pada pertengahan dekade 1990an di Bandung dan Yogyakarta sebenarnya belum memiliki kesamaan pandangan dan terutama sikap yang jelas. Tulisan ini pun mungkin adalah untuk yang kesekian kalinya diperlihatkan dan mungkin akan menjadi kesekian kalinya berlalu begitu saja.Tetapi yang lebih utama, penulis sudah melakukan kewajiban pokok sebagai warga negara dan umat untuk mencari dan menyampaikan beberapa fakta. | Sumber lucgen.com
Selain kos, lokasi lain yang seringpula dimanfaatkan untuk hubungan seks seperti kontrakan ataupun semacam asrama. Beberapa mahasiswa biasanya memilih untuk mengontrak rumah, ketimbang mengambil kos. Sekedar catatan, bahwa tidak semua asrama mahasiswa di Yogyakarta memiliki status yang jelas, yaitu status resmi dari pemerintah di daerah asal. Tidak sedikit di antaranya yang cukup bermasalah, seperti minim pengawasan lingkungan di sekitarnya.
Adapun untuk dipilihnya lokasi di penginapan biasanya karena alasan tidak memungkinkan dilakukan di kamar kos masing-masing. Ada pula alasan untuk memilih lokasi di penginapan sebagai variasi lokasi semata. Lokasi penginapan yang termasuk paling banyak dimanfaatkan oleh kalangan mahasiswa terletak di wilayah luar kota yang tidak terlalu jauh dari lokasi mereka tinggal atau menempuh perjalanan sekitar kurang dari 40 menit. Salah satunya adalah lokasi penginapan di Kaliurang yang terletak di dataran tinggi. Tarif sewa kamarnya pun relatif cukup terjangkau untuk kalangan mahasiswa.
Dengan Siapa Mereka Melakukan Hubungan Seks
Ini adalah salah satu dari pertanyaan ini diajukan dalam survei dan penelitian yang dilakukan oleh LSCK kepada respondennya dari kalangan mahasiswi. Sebagian besar respondennya mengaku lebih sering berhubungan intim dengan pacarnya. Begitu pula mereka yang mengaku dengan siapa pertama kali berhubungan intim. Kurang dari 5% di antaranya mengaku berhubungan intim tidak hanya dengan pacarnya atau berhubungan intim dengan siapa saja yang dikenal dan diinginkannya.
Fenomena kemunculan gay dan lesbian di kalangan mahasiswa/mahasiswi di Yogyakarta pun sebenarnya sudah lama ada, bahkan sebelum tahun 2000. Dari pantauan penulis pada pertengahan tahun 2008 lalu, mereka cenderung masih sangat tertutup, sekalipun telah mulai terbentuk komunitas-komunitas kecil. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Fakultas Psikologi UGM pada tahun 2004-2005 pernah menyebutkan apabila mereka adalah para pendatang yang berasal dari luar daerah. Sayangnya hasil penelitian yang sempat diseminarkan pada bulan Desember 2005 tersebut tidak menyebutkan jumlah sampel ataupun perkiraan populasinya. Tetapi hampir bisa dipastikan kelompok gay dan lesbian bisa ditemukan di hampir seluruh perguruan tinggi di Yogyakarta. Sikap mereka yang sangat tertutup tidak lain didorong oleh sikap kebanyakan masyarakat di sekitarnya yang menganggapnya sebagai perilaku menyimpang.
Faktor Teknologi
Kebanyakan mahasiswa yang berasal dari luar daerah akan diberikan fasilitas hiburan, seperti televisi, pemutar VCD/DVD, atau komputer. Melalui perangkat inilah mereka mengenal film porno atau film semi. Rental VCD/DVD pun bermunculan di tengah-tengah kawasan pemukiman mahasiswa. Tidak sedikit di antaranya yang menyediakan film porno/semi, sekalipun tidak dipajang secara terbuka. Di kalangan mahasiswa sendiri, peminatnya tidak hanya berasal dari kalangan pria, tetapi datang pula dari kalangan wanita. Pengelola rental nampaknya cukup paham dengan kebutuhan mereka, sehingga selalu mendatangkan film-film baru setiap bulannya. Menurut pengakuan dari salah satu pengelola rentah (percakapan pada tahun 2000), tingkat permintaan sewa keping VCD/DVD porno/semi sangat tinggi untuk setiap kepingnya. Mereka seringkali harus menggandakan hingga sebanyak 3 keping untuk setiap judul film. Beberapa mahasiswa sering pula menduplikasikan ke komputernya sendiri, agar bisa ditonton lain waktu bersama orang lain.
Fenomena lain yang sempat muncul di sekitar tahun 2000 adalah warnet. kehadiran teknologi informasi turut membuka peluang memicu terjadinya hubungan seks pra nikah di Yogyakarta. Sempat bermunculan warnet dengan lokasi yang sangat tertutup, sehingga cukup sering dimanfaatkan oleh kalangan mahasiswa untuk tempat berhubungan intim. Beberapa warnet di Yogyakarta diketahui pula secara sengaja menyimpan koleksi klip maupun film porno yang bisa diakses oleh para pengunjungnya. Berdasarkan pengakuan dari pengelola warnet, mereka dari kalangan mahasiswa ini yang mengakses film/klip porno ternyata pula berasal dari kalangan wanita (mahasiswi). Hal ini bisa diketahui dengan mudah, karena lokasi film/klip tersebut bukan disimpan di hard disk, melainkan di server warnet, sehingga bisa dipantau siapa saja (nomor meja) yang mengaksesnya.
Minimnya kepedulian Pemda Setempat
Kemunculan hubungan seks pra nikah di kalangan mahasiswa di Yogyakarta tidak terlepas pula dari peran pemda setempat (pemkab/pemkot). kemunculan yang sudah sejak lama terjadi nampaknya tidak menjadi perhatian serius bagi pemkab maupun pemkot di Propinsi Yogyakarta. Mereka seolah terkesan menutup mata atas fenomena tersebut, selama tidak mengganggu sumber penerimaan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Beberapa kali pernah dilakukan operasi sweeping kamar kos, tetapi kegiatan tersebut bukan merupakan kegiatan rutin. Baru diketahui apabila sweeping tersebut hanyalah untuk menyapu aspek perijinan pondokan (kos/kontrakan/asrama). Berulangkali laporan dari warga masuk ke Dinas Trantib Pemkab maupun Pemkot, tetapi sangat jarang untuk ditindaklanjuti. Sampai penulis pernah mendengar suatu pameo, apabila pembiaran tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga Yogyakarta menjadi tujuan kedatangan calon mahasiswa/mahasiswi. Paska diberlakukannnya otonomi daerah, Yogyakarta harus bersaing dengan daerah lain di sekitarnya, seperti Solo, Semarang, atau Purwokerto yang mulai berkembang. Di kota-kota tadi pun kabarnya pemda setempat mengorbakan aspek moral demi menggenjot penerimaan PAD. Salah satu alasan para pendatang untuk memilih Yogyakarta, karena harus diakui berdasarkan pertimbangan kebebasan.
Minimnya kepedulian Warga Setempat
Tidak semua lokasi atau kawasan pemukiman mahasiswa yang minim dengan pengawasan warga setempat, tetapi masih terdapat cukup banyak kawasan pemukiman yang relatif minim perhatian ataupun pengawasannya dari warga setempat. Waktu di siang hari merupakan waktu yang paling memungkinkan untuk dilakukannya hubungan seks di kamar kos. Selain berada di luar jam ketertiban lingkungan, waktu tersebut cukup leluasa di lokasi kos yang bebas ataupun setengah bebas. Warga setempat pun kurang peduli dengan kos-kos yang tidak ditunggu sendiri oleh pemiliknya. Berdasarkan pantauan penulis, cukup banyak lokasi pemukiman mahasiswa yang tidak memiliki portal yang membatasi jam keluar maupun masuk. Jika pun ada pengawasan dari aktivitas siskamling, mahasiswa biasanya membawa tamu wanita setelah bubarnya siskamling (sekitar pukul 02.30-03.00).
Jika ditanya soal peraturan, sesungguhnya peraturan sudah lama ada, tetapi jarang diterapkan dengan konsisten. Misalnya saja, sebelum tahun 2000 masih banyak dijumpai papan yang bertuliskan jam belajar. Tetapi akhir-akhir ini tulisan tersebut semakin jarang ditemui. ketentuan jam tamu itu pun sebenarnya telah diatur di masing-masing kampung dan dilindungi oleh perda setempat. Tetapi masih banyak wilayah pemukiman yang terlihat kurang peduli dengan tata tertib tersebut. Tidak mengherankan apabila penelitian yang dilakukan oleh LSCK di tahun 2002 menyebutkan lokasi paling sering dipilih untuk melakukan hubungan seks adalah kamar kos.
Faktor Lingkungan dan Pergaulan
Tidak bisa dipungkiri lagi apabila faktor lingkungan dan pergaulan turut memicu dan memberikan dampak terhadap terbentuknya perilaku seks pra nikah. Remaja putera/puteri yang terbiasa melihat teman kosnya membawa lawan jenis menginap ke kamar akan memberikan kemungkinan untuk terpengaruh. Misalnya lagi, kawan dari mahasiswi berbagi cerita (curhat) kepada seorang mahasiswi tentang hubungan intim yang dilakukan oleh pacarnya. Mereka yang menjadi tempat bercerita itu pun tidak tertutup kemungkinan akan turut terpengaruh. Seringkali pemicunya justru berasal dari sesuatu kejadian yang sangat sederhana. Komunitas wanita berkumpul, lalu bergosip tentang hubungan seks di antara temannya itu pun turut akan memicu keinginan untuk mencaritahu dan mencoba hubungan seks pra nikah.
Faktor Semakin Banyaknya Waktu Luang
Masalah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan, karena hasil pengamatan tidak bisa begitu saja menjadi suatu kesimpulan umum. Di Jepang saja yang memiliki kultur disiplin yang cukup tinggi pun memiliki remaja yang melakukan hubungan seks pra nikah sangat tinggi. Tetapi di sini perlu dibatasi untuk ruang lingkupnya hanya pada lingkungan mahasiswa/mahasiswi di Yogyakarta. Faktanya memang demikian, kebanyakan mahasiswa terlihat jauh lebih santai ketimbang siswa-siswa sekolah pada umumnya. Hasil studi yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi UGM pada tahun 2005 itu pula menyebutkan frekuensi paling tinggi mereka yang melakukan hubungan seks pra nikah terjadi di kalangan mahasiswa/mahasiswi yang mengambil kuliah dengan kredit kurang dari 18 SKS per minggunya. Waktu akademik dalam sehari rata-rata hanya kurang 6-8 jam. Artinya, rata-rata di antara mereka memiliki sebanyak lebih dari 12 jam waktu luang, termasuk yang akan digunakan untuk waktu istirahat. Waktu luang yang semakin banyak akan turut mendukung semakin terbukanya kesempatan. Sayangnya agak sulit untuk memperkirakan tingkat peluang dari faktor banyaknya waktu luang memicu terjadinya perilaku seks pra nikah, karena tingkat variasi di antara sampel yang sangat tinggi.
Faktor Ekonomi
Ada dualisme pandangan tentang faktor ekonomi yang menjadi pendorong/pemicu terjadinya perilaku seks pra nikah. Pertama, alasan ekonomi dalam arti karena kesulitan keuangan atau untuk mencukupi kebutuhan pribadi. kedua, faktor ekonomi yang dianggap berlebihan, sehingga memberikan lebih banyak kesempatan/peluang yang mendorong terbentuknya perilaku seks pra nikah. Dalam perkembangannya, alasan ekonomi menjadi semakin terbuka untuk diperdebatkan. Biaya kuliah yang semakin mahal menyebabkan hanya mereka yang berasal dari kalangan ekonomi di atas mampu atau di atas kelas menengah yang mampu mengambil kuliah. Artinya, kecenderungannya lebih banyak bergeser pada pengertian kedua. Sekalipun demikian, alasan pertama ini pun masih tetap terbuka. Misalnya saja, sebuah penelitian (skripsi) jurusan psikologi (UGM) tahun 2006 lalu sempat mengambil tema mengenai motif pelacuran di kalangan remaja di Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut disebutkan tentang masih terdapatnya motif untuk mendapatkan pendapatan di kalangan mahasiswi maupun pelajar. Sayangnya, penulis belum bisa meminta klarifikasi tentang hasil penelitian dari si penulis skripsi.
Taraf Religius
Agak sulit untuk mendefinisikan tingkat religius individu, termasuk agak sulit pula untuk menentukan penilaiannya. Tetapi tidak pula bisa dibantah, apabila faktor kualitas pendidikan agama dari individu akan turut menentukan perilaku individu, termasuk membentengi dirinya dari risiko perilaku seks pra nikah. Dari beberapa penelitian yang bisa dikumpulkan oleh penulis sama sekali tidak meletakkan variabel tingkat religius individu. Alasannya, variabel keimanan atau kadar keagamaan seseorang adalah sesuatu yang abstrak. Jika hendak dibuatkan pengukuran harus dengan didukung oleh konsensus yang kuat, sehingga tidak akan menjadi perdebatan yang panjang. Hal ini dikarenakan pula apabila beberapa temuan di lapangan mendapati perilaku seks pra nikah ternyata berasal dari beragam latar belakang.
Minimnya Perhatian Dari Orangtua/Keluarga
Penulis cukup kesulitan untuk menuliskan penjelasan ini, tetapi pada prinsipnya, orangtua terkadang memberikan terlalu banyak pilihan dan kebebasan kepada putera maupun puterinya. kebanyakan dari para orangtua akan beranggapan apabila putera dan puterinya yang sudah dewasa tidak perlu untuk banyak diatur atau diawasi. Mereka harus diberikan kesempatan untuk mengatur dan mengawasi dirinya sendiri. Rasanya terlalu naif apabila mengamini sebagian anggapan para orangtua tersebut.
Menurut laporan dari LSCK disebutkan apabila pelaku dari seks pra nikah bisa terjadi di kalangan mahasiswa dengan berbagai latar belakang keluarga dan segala pendidikannya. Begitu pula dengan kasus-kasus kehamilan di luar nikah pada kalangan mahasiswi di Yogyakarta. Mereka yang mengalaminya itu pun, bahkan didapati terdapat dari kalangan mahasiswa atau mahasiswa yang berdomisili (warga) Yogyakarta. Tetapi perlu digarisbawahi apabila faktor hidup jauh dari orangtua menjadi salah satu faktor kunci. Sebelum tahun 2000, ketika masih menjamurnya warung telepon (wartel), tidak sedikit dari kalangan mahasiswa yang rutin seminggu sekali menghubungi orangtuanya. Tetapi setelah era teknologi telekomunikasi yang sudah maju saat ini, frekuensi komunikasi justru ditemukan semakin berkurang. Tinggal jauh dari orangtua membuat mereka membutuhkan sosok yang bisa menjadi tempat untuk berkomunikasi dekat dan berbagi rasa.
Tentunya akan menjadi semakin rumit apabila si anak berasal dari keluarga yang bermasalah, kemudian mereka tinggal jauh dari orangtua. Tidak sedikit kalangan mahasiswa (pelaku seks pra nikah) yang melakukan konseling dengan LSCK kemudian mengaku berasal dari keluarga yang bermasalah, seperti keluarga yang kurang harmonis, perceraian, atau yatim/piatu sejak usia dini. Jika dicermati, mereka membutuhkan perhatian dan komunikasi. Sayagnya, kehadiran lembaga-lembaga konseling kurang mendapatkan perhatian dari kalangan pendidikan dan terutama dari pihak Pemda Yogyakarta.
Penutup
Kekhawatiran akan fenomena seks pra nikah di kalangan remaja sebenarnya dialami oleh setiap pemeluk agama. Pemerintah China akhir-akhir mulai mengkhawatirkan munculnya fenomena seks pra nikah di kalangan generasi mudanya. Padahal mereka termasuk sangat selektif untuk menyaring setiap konten pornografi yang berasal dari luar. Pertanyaannya kemudian dikembalikan kepada publiks sendiri, apakah fenomena seks pra nikah dianggap lazim ataukah merupakan fenomena kerusakan moral. Memang benar, pendidikan agama perlu untuk dikedepankan, tetapi belumlah cukup untuk membendung risiko terjadinya seks pra nikah. Kita tidak boleh sesekali menutup mata atas fakta-fakta yang sudah terungkap di lapangan. Berbagai kalangan mengakui apabila kunci untuk mencegah terjadinya perilaku seks pra nikah yang paling utama justru terdapat pada peran keluarga.
Penulis pernah membaca suatu artikel menarik dari majalah Men’s World tahun 2006. Rupanya fenomena seks pra nikah ini pun sempat menjadi kekhawatiran di kalangan keluarga di Amerika Serikat. Disebutkan bahwa terjadinya hubungan seks terletak pada prinsip TAKE & GIVE di mana pria akan mengambil (taking), sedangkan wanita berada pada posisi memberi (giving). Jadi kunci untuk membendung perilaku seks pra nikah terletak pada si pria. Banyak kalangan yang menafsirkan wanita sebagai faktor pemicu, tetapi mengabaikan pria sebagai pihak yang mengambil kesempatan.
Catatan pula ditujukan ke pihak pemda di tingkat kabupaten dan kota di Yogyakarta. Pihak pemda seharusnya tidak begitu saja hanya menikmati sumber pendapatannya untuk PAD, tetapi punya kewajiban moral pula kepada para pendatang. Yogyakarta sudah sejak lama pula tidak lagi melekat predikat ‘Kota Pelajar’, melainkan lebih melekat sebagai ‘Kota Cinta’. Paradigma tentang kekhawatiran akan kehilangan sumber pendapatan dari eksternalitas pendidikan seharusnya tidak menjadi pertimbangan. Mungkin saja paradigma tersebut hanya digunakan untuk mengelabuhi keengganan dan ketidakpedulian pemda terhadap fenomena kerusakan moral pada kalangan generasi muda.
Pada akhirnya, untuk menyikapi fenomena seks pra nikah dikembalikan kepada kita semua para pembaca dan masyarakat. Apakah fenomena seks pra nikah dianggap sebagai fenomena yang mengkhawatirkan dan tidak normal ataukah hanya menjadi sebuah fenomena sosial semata. Bagi kebanyakan dari kita mungkin akan berusaha untuk menutup mata, sekalipun masih tersirat sedikit keprihatinan. Masyarakat Indonesia sebenarnya sejak kasus heboh seks pra nikah pada pertengahan dekade 1990an di Bandung dan Yogyakarta sebenarnya belum memiliki kesamaan pandangan dan terutama sikap yang jelas. Tulisan ini pun mungkin adalah untuk yang kesekian kalinya diperlihatkan dan mungkin akan menjadi kesekian kalinya berlalu begitu saja.Tetapi yang lebih utama, penulis sudah melakukan kewajiban pokok sebagai warga negara dan umat untuk mencari dan menyampaikan beberapa fakta. | Sumber lucgen.com
---
Komentar anda
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus