BENGKULU — Maraknya siswi SMA menjual keperawanan demi sebuah BlackBerry baru dianggap sebagai fenomena psikosisial. Hal itu diungkapkan pekeja sosial di Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Direktorat Pemberdayaan Keluarga dan Kelembagaan Kementerian Sosial, Piri Adi.
Psikososial adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kondisi seseorang dan
kesehatan mental/emosionalnya. Psikososial melibatkan aspek psikologis
dan sosial. Contohnya, hubungan antara ketakutan yang dimiliki seseorang
(psikologis) terhadap bagaimana cara ia berinteraksi dengan orang lain
di lingkungan sosialnya. Seseorang yang sehat, kata Piri, mentalnya akan
bereaksi dengan cara yang positif dalam banyak situasi.
Ia
melanjutkan, fenomena ini memang terjadi di beberapa kota di Indonesia,
tidak saja Bengkulu. Hanya modus yang sedikit berbeda. Menurut dia,
menjual keperawanan dengan BlackBerry tentu saja merugikan siswi itu
sendiri.
Piri menjelaskan, ada beberapa faktor pemicu dari
tindakan irasional itu, yang paling dominan adalah alasan ekonomi dan
gaya hidup. Gaya hidup, misalnya, keinginan memiliki sesuatu yang pada
prinsipnya belum menjadi kebutuhan mendesak di usia sekolah.
"BlackBerry
itu bukan menjadi kebutuhan mendesak siswi. Orangtua harusnya cukup
membekali anaknya telepon genggam yang hanya bisa SMS dan telepon saja,"
kata Piri.
Faktor berikutnya adalah rasa ingin tahu yang tinggi
pada usia remaja. Hal ini dipicu tingginya intensitas remaja dalam
menonton film dan melihat gambar yang tak layak. Faktor pemicu lainnya
adalah lingkungan pertemanan.
"Kalau teman-temannya semua sudah
menjadi pekerja seks, tentu itu akan mempengaruhi sikap dan pola siswi
yang belum menjadi pekerja seks," tambahnya.
Peran Orangtua
Ia
menegaskan, langkah pencegahan atas tindakan tersebut adalah peranan
keluarga sangat dominan. Dominan artinya pengawasan dan kontrol tetapi
tidak mengekang anak, terutama masa-masa SMP hingga SMA kelas III.
"Ini
fase yang rentan bagi seorang anak, terutama perempuan, karena masa ini
mereka telah mengenal hubungan dengan lawan jenis, titik kritisnya di
sini (tindakan asusila)," jelasnya.
Ia mencontohkan, lemahnya
kontrol orangtua adalah dengan memberikan kendaraan kepada anak sekolah
yang usianya di bawah 17 tahun dan tidak memiliki surat izin mengemudi
(SIM). Undang-undang tegas mengatur itu dan seharusnya diaplikasikan di
ruang keluarga.
"Jika akses itu diberikan, para siswa menjadi
tidak terkontrol, mereka bergaul dengan komunitas-komunitas yang dalam
tanda petik sudah rusak, atau anak-anak yang tidak dikontrol sama
orangtuanya, hingga muncul istilah salah pergaulan," ungkapnya.
Selanjutnya,
para orangtua harus mengantisipasi anak perempuannya jika sudah mulai
mengalami masa menstruasi karena dari sini akan muncul rasa mulai
menyukai lawan jenis, mulai memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, rasa
ingin mencoba. Ini merupakan gejala ikutan yang harus dicermati oleh
orangtua. "Pada masa ini adalah masa kritis dan harus dicermati,"
tegasnya.
Lebih jauh dikatakan dia, kecenderungan anak usia remaja
yang tak lagi perawan akan mengalami gangguan psikologis dan sosial
ini, berbahaya karena dapat mempengaruhi masa depan siswi itu sendiri.
"Remaja
yang tidak perawan rentan terhadap konflik, frustrasi, dan kadang
sering galau kalau istilah kerennya, tidak harmonis dengan keluarga,
teman, itu akan dialami. Ini sangat mengganggu dalam hal mereka mengejar
cita-cita ke depan," ujar Piri.
Ia menyarankan agar sekolah
memberikan aturan tegas, misalnya, siswa yang belum memiliki SIM tidak
diperkenankan membawa kendaraan mobil dan motor agar kecemburuan sosial
dan ekonomi bagi siswa ekonomi sedang dan lemah, tidak renggang.
"Harus
diakui, ini berpengaruh terhadap beberapa siswa, rasa kalau lihat teman
punya BB (BlackBerry), maka dia ingin pula memiliki dan seterusnya,"
tambahnya.
Pihak sekolah, kepolisian, pemerintah pusat dan daerah,
para orangtua harus serius menyikapi hal ini dan mendudukkan persoalan
tersebut dalam satu meja bahwa ada beberapa catatan yang harus
disepakati bersama.
Masih menurut Piri, ada satu cerita di salah
satu daerah banyak anak yang mabuk dengan menghirup lem Aibon. Lem
tersebut dijual bebas di pasaran, lalu dibuatlah aturan agar penjual
dilarang menjual lem tersebut kepada anak di bawah usia 17 tahun.
Artinya, harus ada aturan yang bertujuan untuk mengontrol penggunaan lem
bagi para remaja agar tidak disalahgunakan untuk mabuk.
"Hal ini
sama dengan larangan anak-anak mengendarai mobil dan motor jika tidak
memiliki SIM sesuai aturan UU. Hal yang sama juga dalam rangka mencegah
tindakan kenakalan remaja yang lain, termasuk hubungan bebas," ujar
Piri. [Tribunnews]
Baca juga :
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda