Breaking News
Loading...
Rabu, 11 Desember 2013

Info Post

BENGKULU — Maraknya siswi SMA menjual keperawanan demi sebuah BlackBerry baru dianggap sebagai fenomena psikosisial. Hal itu diungkapkan pekeja sosial di Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Direktorat Pemberdayaan Keluarga dan Kelembagaan Kementerian Sosial, Piri Adi.

Psikososial adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kondisi seseorang dan kesehatan mental/emosionalnya. Psikososial melibatkan aspek psikologis dan sosial. Contohnya, hubungan antara ketakutan yang dimiliki seseorang (psikologis) terhadap bagaimana cara ia berinteraksi dengan orang lain di lingkungan sosialnya. Seseorang yang sehat, kata Piri, mentalnya akan bereaksi dengan cara yang positif dalam banyak situasi.

Ia melanjutkan, fenomena ini memang terjadi di beberapa kota di Indonesia, tidak saja Bengkulu. Hanya modus yang sedikit berbeda. Menurut dia, menjual keperawanan dengan BlackBerry tentu saja merugikan siswi itu sendiri.

Piri menjelaskan, ada beberapa faktor pemicu dari tindakan irasional itu, yang paling dominan adalah alasan ekonomi dan gaya hidup. Gaya hidup, misalnya, keinginan memiliki sesuatu yang pada prinsipnya belum menjadi kebutuhan mendesak di usia sekolah.

"BlackBerry itu bukan menjadi kebutuhan mendesak siswi. Orangtua harusnya cukup membekali anaknya telepon genggam yang hanya bisa SMS dan telepon saja," kata Piri.

Faktor berikutnya adalah rasa ingin tahu yang tinggi pada usia remaja. Hal ini dipicu tingginya intensitas remaja dalam menonton film dan melihat gambar yang tak layak. Faktor pemicu lainnya adalah lingkungan pertemanan.

"Kalau teman-temannya semua sudah menjadi pekerja seks, tentu itu akan mempengaruhi sikap dan pola siswi yang belum menjadi pekerja seks," tambahnya.

Peran Orangtua

Ia menegaskan, langkah pencegahan atas tindakan tersebut adalah peranan keluarga sangat dominan. Dominan artinya pengawasan dan kontrol tetapi tidak mengekang anak, terutama masa-masa SMP hingga SMA kelas III.

"Ini fase yang rentan bagi seorang anak, terutama perempuan, karena masa ini mereka telah mengenal hubungan dengan lawan jenis, titik kritisnya di sini (tindakan asusila)," jelasnya.

Ia mencontohkan, lemahnya kontrol orangtua adalah dengan memberikan kendaraan kepada anak sekolah yang usianya di bawah 17 tahun dan tidak memiliki surat izin mengemudi (SIM). Undang-undang tegas mengatur itu dan seharusnya diaplikasikan di ruang keluarga.

"Jika akses itu diberikan, para siswa menjadi tidak terkontrol, mereka bergaul dengan komunitas-komunitas yang dalam tanda petik sudah rusak, atau anak-anak yang tidak dikontrol sama orangtuanya, hingga muncul istilah salah pergaulan," ungkapnya.

Selanjutnya, para orangtua harus mengantisipasi anak perempuannya jika sudah mulai mengalami masa menstruasi karena dari sini akan muncul rasa mulai menyukai lawan jenis, mulai memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, rasa ingin mencoba. Ini merupakan gejala ikutan yang harus dicermati oleh orangtua. "Pada masa ini adalah masa kritis dan harus dicermati," tegasnya.

Lebih jauh dikatakan dia, kecenderungan anak usia remaja yang tak lagi perawan akan mengalami gangguan psikologis dan sosial ini, berbahaya karena dapat mempengaruhi masa depan siswi itu sendiri.

"Remaja yang tidak perawan rentan terhadap konflik, frustrasi, dan kadang sering galau kalau istilah kerennya, tidak harmonis dengan keluarga, teman, itu akan dialami. Ini sangat mengganggu dalam hal mereka mengejar cita-cita ke depan," ujar Piri.

Ia menyarankan agar sekolah memberikan aturan tegas, misalnya, siswa yang belum memiliki SIM tidak diperkenankan membawa kendaraan mobil dan motor agar kecemburuan sosial dan ekonomi bagi siswa ekonomi sedang dan lemah, tidak renggang.

"Harus diakui, ini berpengaruh terhadap beberapa siswa, rasa kalau lihat teman punya BB (BlackBerry), maka dia ingin pula memiliki dan seterusnya," tambahnya.

Pihak sekolah, kepolisian, pemerintah pusat dan daerah, para orangtua harus serius menyikapi hal ini dan mendudukkan persoalan tersebut dalam satu meja bahwa ada beberapa catatan yang harus disepakati bersama.

Masih menurut Piri, ada satu cerita di salah satu daerah banyak anak yang mabuk dengan menghirup lem Aibon. Lem tersebut dijual bebas di pasaran, lalu dibuatlah aturan agar penjual dilarang menjual lem tersebut kepada anak di bawah usia 17 tahun. Artinya, harus ada aturan yang bertujuan untuk mengontrol penggunaan lem bagi para remaja agar tidak disalahgunakan untuk mabuk.

"Hal ini sama dengan larangan anak-anak mengendarai mobil dan motor jika tidak memiliki SIM sesuai aturan UU. Hal yang sama juga dalam rangka mencegah tindakan kenakalan remaja yang lain, termasuk hubungan bebas," ujar Piri. [Tribunnews]

Baca juga :

---
Komentar anda

0 komentar:

Posting Komentar

PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda