JAKARTA – Banyak kejanggalan dan dusta polisi dalam operasi Densus 88 anti teror Mabes Polri di Ciputat Tangerang Selatan pada malam pergantian tahun 2014. Hal ini dikemukakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), yang melihat kejanggalan terutama pada soal tembak mati buruan pasukan burung hantu itu.
Klaim bahwa terjadi baku tembak selama 10 jam patut dipertanyakan. ”KontraS menduga rumah terduga teroris dikepung dan diberondong peluru serta bom dalam tempo yang cepat. Setelah itu, suara letusan senjata api hanya akal-akalan untuk menciptakan suasana mencekam,” rilis KontraSKontraS juga menerima informasi warga bahwa intel sering berkeliaran di sekitar lokasi para terduga “teroris”. Intetitas intel semakin meningkat sekitar 1 pekan sebelum penggerebakan.
“Pada malam satu hari sebelum terjadi penggerebekan, dua orang yang diduga intel juga sempat mendatangi rumah terduga teroris,” tulis koordinator Badan Pekerja Kontras Haris Azhar.
Informasi lainnya, pada hari Senin (30 /12/2013) terlihat beberapa mobil mondar-mandir di sekitar lokasi rumah terduga teroris. Sehingga upaya penangkapan para terduga “teroris” dalam keadaan hidup sangat mungkin dilakukan.
“Dari informasi tersebut, disimpulkan bahwa aparat kepolisian memungkinkan melakukan penangkapan dalam keadaan hidup karena sudah memiliki informasi yang cukup, tanpa harus jatuh korban jiwa, kerugian materil dan trauma masyarakat. Tetapi tindakan tersebut tidak dilakukan,” tambah Haris.
Selanjutnya, KontraS juga tidak menemukan bukti terjadinya tembak-menembak di tempat kejadian perkara.
“Jika benar terjadi kontak senjata sebagaimana disampaikan oleh Polisi, berarti ada bangunan-bangunan di depan rumah yang terkena tembakan peluru milik terduga teroris. Namun sejauh ini tidak ada bekas peluru di bangunan Mushala atau rumah warga yang berada didepan rumah terduga.”
Yang tidak kalah penting adalah kejanggalan dalam penembakan terhadap Hidayat yang diduga sebagai pimpinan terduga “teroris” Ciputat. Hidayat merupakan terduga pertama yang ditembak dibagian kepala hingga tewas di Gang Hasan, sekitar 200 meter dari rumahnya. Saat terjadi penembakan, Hidayat sedang mengendarai motor memboceng Irwan (warga) untuk membeli makanan (nasi goreng). Hidayat ditembak tanpa ada perlawanan yang membahayakan aparat. Namun menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Boy Rafli Amar bahwa terjadi baku tembak antara anggota Densus 88 AT dengan Hidayat.
Berikut ini isi selengkapnya rilis KontraS perihal kejanggalan operasi Densus 88 di Ciputat seperti dilansir situs kontras.org, Ahad (5/1/2014),
Penanganan Teroris di Ciputat Penuh Tanda Tanya
KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menilai ada sejumlah kejanggalan dalam tindakan Tim Densus 88 AT saat penggerebekan terduga teroris di Jalan KH Dewantara, Gang Haji Hasan, Kampung Sawah Dalam, Ciputat, Tanggerang Selatan, pada malam 31 Desember 2013 dan berakhir pada dini hari 1 Januari 2014. Tindakan Densus 88 AT yang mengeksekusi mati terduga teroris di lokasi kejadian sudah menjadi pola yang lazim digunakan dalam setiap operasi.
Berangkat dari temuan awal dan informasi media massa, KontraS menganggap kematian enam terduga teroris; Hidayat, Nurul Haq, Fauzi, Rizal, Hendi, dan Edo- tidak wajar dan mengandung unsur-unsur pelanggaran prosedur hukum serta hak asasi manusia, termasuk hak asasi warga yang terkena dampak.
Berikut ini adalah beberapa temuan awal KontraS dilapangan dan perbandingan dengan pemberitaan media massa, termasuk keterangan dari pihak Polri;
Pertama menurut informasi dari seorang warga sekitar(nama tidak mau disebutkan) bahwa sejak tiga bulan lalu orang-orang yang diduga intel sering berkeliaran disekitar lokasi. Intensitas mereka meningkat sekitar satu minggu sebelum terjadi penggerebekan. Pada malam satu hari sebelum terjadi penggerebekan, dua orang yang diduga intel juga sempat mendatangi rumah terduga teroris. Informasi lain sebagaimana disampaikan warga lainnya, bahwa pada hari Senin 30 Desember 2013 sudah ada beberapa mobil mondar-mandir di perkampungannya. Mobil diparkir dilapangan bola yang berjarak sekitar 200 meter dari lokasi penggerebekan. Dari informasi tersebut, disimpulkan bahwa aparat kepolisian memungkinkan melakukan penangkapan dalam keadaan hidup karena sudah memiliki informasi yang cukup, tanpa harus jatuh korban jiwa, kerugian materil dan trauma masyarakat. Tetapi tindakan tersebut tidak dilakukan.
Kedua pada 31 Desember 2014, siang hari, sebelum terjadi penggerebekan, aparat kepolisian menyuruh warga menjauh dari lokasi. Sebagian warga meninggalkan lokasi pergi ke rumah-rumah saudaranya, kecuali beberapa orang yang tidak bersedia menghindar lantaran menjaga keluarganya yang sedang sakit. Penggusiran warga dari lokasi disinyalir sebagai upaya Densus 88 AT untuk meminimalisir korban dipohak penduduk sekitar dan hal ini patut diduga sebagai bagian dari mobilisasi terencana untuk penindakan terhadap terduga teroris, yang kemudian berakhir dengan korban jiwa.
Ketiga penembakan terhadap Hidayat yang diduga sebagai pimpinan teroris Ciputat. Hidayat merupakan terduga pertama yang ditembak dibagian kepala hingga tewas di Gang Hasan, sekitar 200 meter dari rumahnya. Saat terjadi penembakan, Hidayat sedang mengendarai motor memboceng Irwan (warga) untuk membeli makanan (nasi goreng). Hidayat ditembak tanpa ada perlawanan yang membahayakan aparat. Namun menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Boy Rafli Amar bahwa terjadi baku tembak antara anggota Densus 88 AT dengan Hidayat. Anggota Densus 88 AT yang sudah menguntit dari belakang dan menyergapnya ditembak oleh Dayat dengan pen gun dalam jarak dekat sehingga anggota Densus tertembak dibagian kaki kiri tepat dibawah lutut tembus ke paha kanan. Anggota Polisi yang lain yang sudah siap mengarahkan tembakan ke Dayat yang mengakibatkan Dayat meninggal. Boy Rafli Amar juga memberikan keterangan yang berbeda bahwa dua orang dilumpuhkan karena berusaha melarikan diri menggunakan motor Honda Supra B 6516 PGE.
Keempat beberapa saat setelah penembakan Hidayat, warga berkerumun dilokasi kejadian yang terletak sekitar 200 meter dari rumah yang digerebek. Saat bersamaan, Tim Densus menggerebek rumah yang dihuni oleh terduga teroris lainnya. Rumah terduga berada didepan sebuah Mushala, hanya berjarak tiga meter. Didepan rumah terdapat tanah lapang ukuran tiga meter. Rumah tersebut terletak diantara rumah penduduk yang lain, hanya dipisahkan oleh gang kecil. Dibelakang rumah, dan samping kiri terdapat sedikit semak-semak, sementara sebelah kanan tanah kosong. Dilihat dari posisi rumah, kontak tembak kemungkinan besar terjadi dalam jarak dekat, antara lima atau 10 meter. Jika benar terjadi kontak senjata sebagaimana disampaikan oleh Polisi, berarti ada bangunan-bangunan didepan rumah yang terkena tembakan peluru milik terduga teroris. Namun sejauh ini tidak ada bekas peluru di bangunan Mushala atau rumah warga yang berada didepan rumah terduga.
Selain itu, hanya rumah terduga yang ditutup dengan terpal dan police line, sementara lokasi sekitar Mushala dan rumah warga tidak diberi police line. Warga juga dapat mondar-mandir di Gang yang berjarak dua atau tiga meter dari rumah terduga. Klaim bahwa terjadi baku tembak selama 10 jam patut dipertanyakan? KontraS menduga rumah terduga teroris dikepung dan diberondong peluru serta bom dalam tempo yang cepat. Setelah itu, suara letusan senjata api hanya akal-akalan untuk menciptakan suasana mencekam.
Kelima keterangan Komisioner Kompolnas Syafriadi Cut Ali yang mengatakan bahwa terduga melempar dua bom keluar, satu meledak satu tidak. Dan keterangan Boy Rafli Amar yang mengatakan menemukan enam bom rakitan didalam rumah dan satu ditemukan sudah meledak. Pernyataan tersebut kontradiksi. Jika mengaju ke pernyataan Syafriadi, artinya ada bekas ledakan bom diluar rumah, ada bangunan yang rusak, dan tentunya ada aparat yang terkena serpihan bom. Namun sebagaimana telah kami uraikan pada point empat tidak ada lokasi diluar rumah yang rusak dan di police line. Sementara pernyataan Boy Rafli yang menyatakan ada bom meledak didalam rumah makin memperdalam kebingungan publik. Sebab, jika satu bom meledak didalam rumah, pasti rumah tersebut rata dengan tanah dan orang-orang didalamnya hancur. Sejauh ini, rumah terduga teroris hanya terlihat bolong diatap dan beberapa bekas peluru didinding.
Kelima keterangan Komisioner Kompolnas Syafriadi Cut Ali yang mengatakan bahwa terduga melempar dua bom keluar, satu meledak satu tidak. Dan keterangan Boy Rafli Amar yang mengatakan menemukan enam bom rakitan didalam rumah dan satu ditemukan sudah meledak. Pernyataan tersebut kontradiksi. Jika mengaju ke pernyataan Syafriadi, artinya ada bekas ledakan bom diluar rumah, ada bangunan yang rusak, dan tentunya ada aparat yang terkena serpihan bom. Namun sebagaimana telah kami uraikan pada point empat tidak ada lokasi diluar rumah yang rusak dan di police line. Sementara pernyataan Boy Rafli yang menyatakan ada bom meledak didalam rumah makin memperdalam kebingungan publik. Sebab, jika satu bom meledak didalam rumah, pasti rumah tersebut rata dengan tanah dan orang-orang didalamnya hancur. Sejauh ini, rumah terduga teroris hanya terlihat bolong diatap dan beberapa bekas peluru didinding.
Atas sejumlah fakta diatas, kami menyimpulkan:
Pertama, terdapat sejumlah keterangan dari pihak polri yang tidak sesuai dengan gambaran dilapangan. Oleh karenanya, kedua, patut diduga terdapat pelanggaran prosedur penindakan terhadap terduga teroris. Pelanggaran ini berimplikasi pada dugaan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang dijamin oleh Konstitusi, aturan perundang-undangan sampai aturan internal Polri–ketentuan perlindungan HAM dalam tugas pemolisian, tata cara penindakan dalam operasi melawan teroris, maupun dalam tata cara penggunaan senjata. Secara umum, peristiwa diatas dapat dilihat sebagai bagian dari tren umum operasi melawan teroris yang penuh ketidak akuntabilitasan dan tidak profesional, sebagaimana terjadi pada beberapa kasus lainnya.
Oleh karenanya kami merekomendasikan, pertama, harus ada upaya serius evaluasi atas peristiwa diatas, termasuk upaya pemulihan yang tepat sesuai aturan hukum. Lembaga-lembaga seperti LPSK dan komnas HAM serta ombudsmen harusnya bisa berperan, meskipun sejauh ini lembaga-lembaga ini tidak berfungsi dengan baik. Kedua, Pemerintah Indonesia harus segera mengundang pelaporan khusus PBB untuk isu penghormatan HAM dalam melawan terorisme dengan harapan bisa mendapatkan masukan yang konstruktif memperbaiki tindakan-tindakan penegakan hukum untuk isu ini.
Kalau polri bisa membuka diri dari negara-negara donor maka tidak ada alasan untuk tidak mengudang pelapor khusus ini. Ketiga, Polri harus membuka siapa otak dibalik jejaring panjang kelompok teroris ini, suplai senjata, alat peledak dan perekrutannya. Kami yakin melihat pola yang berulang bahwa para teroris bukanlah berdiri sendiri melainkan mendapatkan bantuan dari tangan-tangan kotor yang ingin mengambil keuntungan dari kekacauan di Indonesia. Terakhir, kami meminta komnas HAM dan lembaga-lembaga serupa seperti kompolnas agar memperbaiki diri untuk bisa menangani kasus-kasus Pemberantasan terorisme.
Jakarta, 5 Januari 2014
Hormat kami
Badan Pekerja KontraS
(azm/arrahmah)
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda