Catatan Kaki Jodhi Yudono
Jakarta — Pernahkah membayangkan, betapa repot
dan stresnya Presiden kita? Bayangkanlah, sehabis gelombang kebencian dari para
pendukung Prabowo mereda—meski belum sempurna sirna—kini menyusul tekanan dari
berbagai penjuru yang datangnya justru dari para pendukung utamanya yang minta
ini dan itu.
Seorang kawan saya yang bekerja di sebuah
kementerian bercerita, betapa ribetnya hari-hari belakangan setelah kabinet
Jokowi-JK mengubah nama kementerian tempat kawan saya bekerja. Kawan saya dan
kawan-kawannya yang memiliki jabatan di kementerian itu bukan hanya sibuk
mempersiapkan perubahan profil kementerian, melainkan juga harus legawa dan
sabar menerima tamu-tamu terhormat yang mengaku sebagai tim sukses Jokowi yang
datang dengan proposal atas profil kementerian yang berubah nama itu.
Begitulah, sebagian dari mereka yang
merasa telah berjasa mengantar Jokowi menjadi orang nomor satu di republik ini
merasa punya hak untuk menikmati "kue" kekuasaan dengan menancapkan
pengaruhnya di kantor-kantor pemerintahan. Sudah barang tentu kawan saya dan
juga kawan-kawan lainnya di kantor itu kikuk dibuatnya lantaran ada nama
Presiden di dalam proposal dan prolog mereka.
Fakta di atas kian mempertegas ujar-ujar
betapa tak ada "makan siang gratis" di muka bumi ini. Dari fakta itu
pula, kita jadi kian mafhum betapa tak berdayanya Presiden kita ketika
"tagihan-tagihan" jasa dari para pendukungnya datang dan minta
dilunasi. Sampai pada titik ini, sang Presiden pun seperti menghadapi buah
simalakama. Tak dibayar jadi seperti manusia tak tahu balas budi, sebaliknya
jika dibayar, dia terpaksa harus "menjilat ludahnya sendiri" saat
kampanye yang tak akan membagi-bagi kekuasaan kepada mitra koalisinya.
Rupanya, Jokowi memilih jalan yang
terakhir, jalan menjilat ludahnya sendiri, yang membuat dirinya menjadi
"bulan-bulanan" cemoohan lawan-lawan politiknya. Sekarang lihatlah
jajaran Kabinet Kerja yang berisi orang partai pendukungnya. Lihatlah juga
jabatan-jabatan strategis semacam jaksa agung, komandan Paspampres, calon
kapolri, dan terakhir para anggota Wantimpres. Siapa bisa menyangkal jika figur
yang menempati jabatan-jabatan tersebut tak memiliki kaitan politis dengan
Jokowi?
Belum lagi ketika menghadapi tim relawan
yang tidak terima dengan kebijakan-kebijakan Jokowi yang dipandang tak berpihak
kepada rakyat, seperti kenaikan tarif dasar listrik dan harga BBM, serta
kebijakan yang dinilai mengingkari komitmen menciptakan pemerintahan yang
bersih dengan mengajukan Komjen Budi Gunawan menjadi calon kapolri, padahal
yang bersangkutan memiliki "rapor merah" versi KPK. Untuk soal yang
terakhir itu, jika sampai Jokowi mengangkat Budi Gunawan menjadi Kapolri, para
relawan Salam Dua Jari bahkan sempat mengancam hendak demo besar-besaran.
Seperti berbalas pantun, PDI-P sebagai partai utama pendukung Jokowi juga
mendesak Jokowi untuk segera mengangkat BG sebagai Kapolri dan menafikan para
relawan.
Belum selesai dengan urusan Komisaris
Jenderal Budi Gunawan, persoalan muncul lagi sehabis Pak Presiden
memberhentikan Jenderal (Pol) Sutarman dan Kabareskrim Komjen Suhardi Alius
dari jabatannya. Pertanyaan pun diarahkan kepada Jokowi dengan tudingan bahwa
Presiden Joko Widodo sedang "bersih-bersih" para loyalis mantan
Presiden SBY.
Hingga SBY mengaku kaget dibuatnya dengan
kabar "bersih-bersih" itu dan lantas menulis di akun resmi Facebook-nya
bertajuk "Polri kita". Dalam tulisan tersebut, SBY kaget ada upaya
"pembersihan orang-orang SBY" dalam pemerintahan Joko Widodo.
"Di tengah-tengah situasi politik
yang menghangat saat ini, saya juga mendengar sejumlah isu, mungkin juga
'provokasi', yang bisa memecah belah di antara kita semua. Termasuk antara
Presiden Jokowi dengan saya. Diisukan bahwa yang tengah dilakukan sekarang ini
adalah 'pembersihan orang-orang SBY', baik di jajaran TNI, Polri, maupun
aparatur pemerintahan. Saya terhenyak. Karena kalau yang dianggap orang-orang
SBY itu adalah yang ada dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu, yang
sesungguhnya adalah posisi politik (political appointee), hal itu masih masuk
akal. Tetapi, kalau para perwira TNI dan Polri profesional, atau para eselon
satu jajaran pemerintahan yang statusnya adalah abdi negara itu diistilahkan
sebagai 'orang-orang SBY' menjadi tidak masuk akal," tulis SBY, Senin
(19/1/2015).
Rupanya, masalah yang dihadapi Presiden
kita belum hendak surut. Persoalan pun bertambah sehabis pelaksanaan hukuman
mati pada Minggu (18/1/2015) dini hari terhadap lima orang warga negara asing
dan satu WNI. Pemerintah Belanda dan Brasil tak terima warganya dihukum mati.
Buntutnya, dua negara sahabat itu menarik duta besarnya "balik kandang".
Tekanan ini tak cuma datang dari luar. Beberapa aktivis kemanusiaan dalam
negeri juga mengecap Jokowi telah "mengotori tangannya dengan darah"
dalam memerintah republik ini.
Namun, rasanya Pak Presiden kita memang
sudah siap menghadapi kerepotan demi kerepotan ini. Sebab, sejak mula dia
memang pernah mengatakan, jika diperlukan, beliau akan menempuh kebijakan yang
tidak populis. Pada 20 Agustus 2014, setelah terpilih sebagai Presiden, Joko
Widodo mengaku tak akan gentar bila dinilai tak populis atau tak berpihak
kepada rakyat kecil saat akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar
minyak.
Karena itu, dia menaikkan harga BBM
bersubsidi pada pertengahan November 2014. Alhasil, unjuk rasa menentang
kebijakan tersebut datang dari "delapan penjuru mata angin". Bahkan,
mereka yang semula mendukung Jokowi dalam pemilihan presiden mulai melontarkan
kritiknya. Jokowi dituding mengkhianati janjinya yang akan berpihak kepada wong
cilik. Mereka yang sedari awal memang telah berseberangan dengan Pak Presiden,
oleh kenaikan BBM itu, mereka pun kian garang menghujani Jokowi dengan
kritikan.
Moga-moga, Pak Presiden masih luas hatinya
dan masih ingat dengan jargon "Aku Rapopo". Sebuah jargon pelipur
lara khas orang Jawa untuk menyikapi tekanan dengan mencoba ikhlas dan berlapang
dada. Sebab, cuma dengan sikap "Aku Rapopo" itulah Pak Presiden akan
tetap kuat dan tabah dalam menghadapi gempuran persoalan.
Moga-moga juga, seraya berucap "Aku
Rapopo", kenangkan pula perjalanan Pak Presiden semasa jadi wali kota dan
gubernur, sebuah masa gemilang di mana manusia bernama Jokowi disayangi oleh
sebagian besar rakyat Indonesia yang memilihnya jadi Presiden. Ya, ya... sebuah
masa di mana Joko Widodo menjadi ikon pejabat yang merakyat, pejabat yang
menghampiri persoalan rakyatnya dengan blusukan, pejabat yang hanya tahu hidup
dan kehidupannya sebagian besar memang hanya untuk rakyat.
Namun, kini mengapa Presiden Joko Widodo
lebih memilih untuk mengambil jalan berliku, jalan yang sedemikian
merepotkannya? Bukankah seharusnya tak ada koalisi transaksional seperti yang
diucapkannya berkali-kali saat kampanye? Sampai-sampai beliau terkesan abai
terhadap suara rakyat ketika menetapkan kebijakan dan lebih memilih desakan dan
permintaan para mitra koalisinya?
Wah... jangan-jangan, kerepotan yang
menghampiri Presiden kita sekarang ini karena telah terpecah konsentrasinya.
Beliau bukan hanya memikirkan rakyat—seperti ketika jadi wali kota dan
gubernur—melainkan juga memikirkan "tagihan-tagihan" yang harus
dibayar, yang datang dari para pendukungnya.
@JodhiY
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda