Pohon GHORQOD |
“Tidak
akan terjadi kiamat sehingga muslimin memerangi yahudi. Mereka
diperangi oleh muslimin sehingga orang yahudi bersembunyi dibalik batu
dan pohon. Batu dan pohon itu berkata: Wahai muslim, wahai hamba Allah,
Ini dia yahudi berada dibelakangku, kemarilah dan bunuhlah dia.
Melainkan pohon Ghorqod. Sesungguhnya ia adalah daripada pohon Yahudi”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Angin senja Tel Aviv tercampur debu. Kencang melintas di
sela-sela empat orang yang sedang berdiri di halaman sebuah rumah di
suatu sudut kota itu. Dua pasang suami istri -sepasang tua dan sepasang
muda - beberapa saat saling bertukar pelukan penuh haru.
Seorang wanita muda kedua tangannya menggenggam lengan wanita tua.
“Pergilah Ma! Ikut bersama kami. Di New Jersey kalian akan hidup bahagia
dengan cucu kalian dan terhindar dari peperangan yang melelahkan ini.”
Ujar wanita muda kepada wanita tua yang ia memanggilnya mama.
Wanita tua itu berlinangan air mata. Mengalihkan pandangan pada laki-laki tua yang ada di sampingnya.
“Papa dan Mama sudah bertekad untuk menghabiskan hidup di sini. Di
tanah yang telah dijanjikan tuhan pada kita.” Ujar lelaki tua.
“Setidaknya untuk menghindari perang yang semakin buruk ini, Pa. Ikutlah
bersama kami. Setelah perang ini selesai, kalian bisa kembali ke sini.”
Kali ini laki-laki muda yang angkat bicara.
Lelaki tua menggeleng.
Dan angin senja yang tercampur debu itu mengirimkan suara dentuman pada
mereka. Tertangkap di sudut mata mereka kilasan api yang meluncur ke
bumi menghantam sebuah gedung tinggi sekitar 500 meter jauhnya dari
tempat mereka berdiri. Ledakan besar dan bunga api bertaburan laksana
dedaunan Pohon Ghorqod yang dilempar kesana kemari oleh angin musim
dingin.
Suara sirine meraung-raung sejak semenit lalu. Banyak
orang berlarian menuju bunker menyelamatkan diri. Dan ada juga yang
memacu kendaraannya keluar kota. Namun di luar pagar rumah itu, sebuah
mobil terparkir menanti ke-empat insan selesai melepas haru.
“Kalian pergilah! Taksi sudah menunggu. Lalu lintas sedang kacau dan
macet sekarang. Ada begitu banyak orang yang eksodus meninggalkan kota
ini melalui bandara dan pelabuhan. Jangan sampai kalian terlambat dan
ditinggal pesawat.” Ujar pria tua.
“Ayolah Ma, tinggalkan Tel Aviv hingga perang selesai.” Wanita muda mengangkat kedua tangan mamanya kedadanya. Memelas.
“Tidak. Pergilah sekarang!” Tegas pria tua.
Dan suara klakson taksi berbunyi memanggil mereka. Hampir tak terdengar
akibat tersisipi suara dentuman lain dari suatu tempat. Sang supir pun
sudah bergidik ngeri ingin segera meninggalkan tempat itu.
Lelaki muda kemudian mengangkat dua koper besar di tangan kanan dan
kirinya. Ia memasukkan barang bawaannya ke bagasi, lalu kembali
menghampiri istrinya untuk mengajaknya pergi.
Pasutri muda itu
menyempatkan diri melambaikan tangan sembari masuk ke dalam mobil.
Hingga setelah semuanya siap, sang supir menginjak gas dengan kecepatan
tinggi menuju bandara.
Gilad, seorang lelaki Yahudi tua, orang
yang dipanggil Papa oleh pasutri muda tadi memandang ke sekelilingnya
dengan mata berkaca. Hasrat ingin menyelamatkan diri memang ada, tapi
kecintaannya pada tanah Israel lebih utama. Ia lebih ingin bertahan di
tanah yang ia tempati sejak lama.
Menjadi yatim piatu setelah
menyelesaikan studinya di University of Nevada 40 tahun lalu, Gilad yang
hampir sebatang kara berjuang hidup untuk dirinya dan adik
perempuannya. Dan Gilad masih bujangan saat beberapa lama kemudian
adiknya dinikahi oleh seorang lelaki Yahudi asal Inggris yang
mengajaknya tinggal di Israel, tanah yang diidam-idamkan oleh umat
Yahudi.
Gilad adalah seorang insinyur mesin, bekerja di sebuah
perusahaan otomotif. Adiknya telah tinggal dua tahun di Yerussalem saat
mengirimkan surat pada Gilad untuk mengajaknya membangun negara
kebanggaan umat Yahudi. “Pemerintah telah memperluas tanah pendudukan
dan membangun pemukiman-pemukiman baru di Tepi Barat,” dalam surat itu.
“Dan bangsa kita sekarang sedang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk
membangun negara. Hiduplah di sini, hingga akhir hayatmu!”
Diyakinkan oleh surat itu, Gilad hijrah ke Yerussalem menempati sebuah
rumah di kota Be’er Sheva. Kota yang indah yang menempanya menjadi
pekerja keras dengan penuh kecintaan pada Negara Yahudi.
Karir
Gilad cukup mentereng. Kerja kerasnya berbuah rezeki yang melimpah
sampai ia dibutuhkan untuk bekerja di ibu kota Israel, Tel Aviv. Di sana
lah ia bertemu jodohnya, Golda, seorang wanita Yahudi asal Inggris.
Mereka berdua hidup dengan mapan dan memiliki dua orang anak.
Anak kedua mereka, seorang putri bernama Hagar, adalah orang yang tadi
mengajak mereka tinggal di New Jersey bersama suaminya. Sedangkan putra
pertamanya tinggal di kota Haifa, sebelah utara kota Tel Aviv.
*****
Suara baku tembak terdengar sangat dekat saat pasangan suami istri
Yahudi tua sedang menyantap makan malam mereka, mengalahkan suara sirine
yang meraung di penjuru kota. Golda, sang istri, berbicara pada
suaminya, “tunggu apa lagi? Ayo, sembunyi di bunker!”
“Tidak. Aku tidak mau kesana lagi. Terlalu kotor. Bahkan kotoran manusia bisa berserakan di sana.” Jawab Gilad, suaminya.
“Kita kemana?”
Gilad menunjuk ke arah sebuah pohon yang rindang yang telah ditanam di
pekarangannya sejak 20 tahun lalu. “Kesana! Ghorqod akan melindungi
kita.”
Mereka berdua menyudahi makan malam mereka dengan segera
dan terburu-buru menyelinap ke dalam Pohon Ghorqod. Tapi begitu sampai
di Pohon itu, mereka terkejut melihat seseorang bersembunyi di dalamnya.
“Noam, sedang apa kamu di sini?” Tanya Gilad kepada tetangganya.
“Izinkan aku bersembunyi di sini. Di sini masih lapang untuk kalian berdua.” Pinta Noam.
“Tidak. Kami tidak mau berbagi dengan orang lain. Pergi!”
“Aku tidak mau pergi dari sini.”
Mendengar sikap keras kepala Noam, Gilad mengeluarkan sepucuk pistol dari saku bajunya. “Pergi!” ujarnya.
Melihat sepucuk pistol itu, Noam terburu-buru keluar dari
persembunyian. “Aku harus sembunyi di mana? Aku tak mau mati!” Teriaknya
sembari menangis.
“Mengapa kamu tidak sembunyi di bunker?
Terserah kamu sembunyi di mana. Di sana ada puing reruntuhan rumah.
Batu-batu itu akan menyembunyikanmu dengan aman. Segera pergi!” Gilad
menunjuk ke suatu tempat.
Berlari Noam menuju arah yang ditunjuk Gilad. Dan masing-masing orang sudah berada di tempat persembunyiannya.
Sementara itu suara baku tembak terdengar lebih dekat. Pasukan
Palestina berhasil memasuki kota Tel Aviv. Bahkan mereka sudah
mengirimkan pesan kepada setiap penduduk Tel Aviv melalui SMS untuk
segera meninggalkan kota karena mereka akan merebutnya melalui
pertempuran bersenjata.
Dari balik Pohon Ghorqod, Gilad melihat tank Merkava di persimpangan jalan tak jauh dari rumahnya.
“Kita akan aman. IDF akan menghabisi tentara Palestina.” Bisiknya pada Golda yang wajahnya terlihat pucat. Mencoba menenangkan.
Tapi baru selesai Gilad mengucap kata-kata itu, sebuah tembakan
terlihat menuju sebuah reruntuhan puing, tempat bersembunyi Noam,
disusul dengan suara jeritan.
Mulut Golda menganga. “Bagaimana
bisa? Bagaimana bisa Noam tertembak padahal ia sudah bersembunyi di
tempat yang tak terlihat?” Tanya Golda pada suaminya.
“Diamlah.
Saat ini tak ada tempat yang lebih aman selain pohon ini. Batu dan
pohon lain tidak bisa dipercaya saat ini. Mereka akan memberitahu
pasukan Palestina bahwa ada yang bersembunyi di balik mereka.” Ujar
Gilad penuh kepanikan.
Suasana sangat mencekam. Di depan mata
mereka kemudian terlihat Merkava berhasil diledakkan oleh sebuah Rocket
Propelled Grenade (RPG) anti tank. Dan tak lama kemudian rumah mereka
pun terkena ledakan. Runtuh di salah satu sisinya meski tak mengenai
pasangan suami istri Yahudi tua itu yang sedang bersembunyi di balik
Pohon Ghorqod.
Gilad dan Golda bergetar menyaksikan pemandangan
itu. Berpelukan, mereka berdua menangis sejadi-jadinya. Rumah yang
mereka bangun dan tempati bertahun-tahun lamanya hancur sudah. Dan
pasangan suami istri Yahudi tua itu hanya bisa pasrah melihat api
melalap rumah dan isinya. Sementara suasana di luar semakin tak menentu.
Api menyala di mana-mana. Dentuman di mana-mana. Pesawat F-16 dan
Helikopter Apache milik Israel berjatuhan. Malam itu, saat awan mendung
menelan bulan, begitu terang oleh api yang dilentikkan oleh mesiu.
“Kita tak akan selamat. Sampai kapan kita bersembunyi di pohon ini?”
teriak Golda yang menangis meratap. “Orang-orang Palestina itu akan
merebut kembali tanah yang sudah kita rebut dari mereka.”
Gilad melihat ke atas pada sebuah batang. Telah tergantung dua utas tali di sana.
“Istriku, kita telah berjanji untuk mati di tanah ini. Kita berjanji
untuk tidak akan pernah pergi dari tanah ini walaupun harus mati. Tapi
bukan mati dengan cara dibunuh oleh muslim,” ujar Gilad.
Golda
mengerti maksud suaminya. Berdua mereka menggapai tali yang menjuntai
yang membentuk simpul dengan sebuah lubang sebesar kepala manusia.
Mereka memasukkan kepalanya ke dalam tali itu, dan memenuhi janjinya:
mati di tanah harapan.
******
Keterangan:
*
Ghorqod adalah pohon milik umat Yahudi, sebagaimana yang Rasulullah
sabdakan: “Tidak akan terjadi kiamat sehingga muslimin memerangi yahudi.
Mereka diperangi oleh muslimin sehingga orang yahudi bersembunyi
dibalik batu dan pohon. Batu dan pohon itu berkata: Wahai muslim, wahai
hamba Allah, Ini dia yahudi berada dibelakangku, kemarilah dan bunuhlah
dia. Melainkan pohon Ghorqod. Sesungguhnya ia adalah daripada pohon
Yahudi”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah meramalkan
tentang peperangan antara Umat Muslim melawan Yahudi di penghujung
zaman, sampai-sampai Yahudi bersembunyi di pohon dan batu atas serangan
Umat Muslim. Namun hanya Pohon Ghorqod yang sedikit aman buat mereka.
Saat ini pemerintah Israel tengah menggalakkan penanaman Pohon Ghorqod di negara mereka dengan berkedok reboisasi.
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda