Bismillahir-Rah
maanir-Rahim ... Suatu senja, saat angin sepoi-sepoi menyapa wajah, ada
seorang teman yang menyanyikan gending-gending hatinya. Ia berbicara
dari relung hatinya yang paling dalam. Matanya berkaca-kaca menerawang
jauh membelah zaman. Tetesan bening berjatuhan dari kelopak matanya yang
sayu. Ia mengungkapkan angan-angannya perihal seorang dara manis
tambatan hatinya, yang selalu memenuhi cakrawala pikirannya.
Hasrat dan dorongan alamiah untuk mempunyai teman hidup telah banyak
menyita konsentrasinya. Terlebih usia yang semakin merambat naik. Daya
serap terhadap suatu ilmu pengetahuan tidaklah setajam dulu. Konsentrasi
dalam menjalani hidup seolah-olah hilang seiring dengan perginya musim
dingin.
Shalat yang dilakukannya sangat jauh dari kata khusu’.
Ketika membaca do’a iftitah, “Ya Allah, cucilah kesalahan-kesal ahanku
dengan air, salju dan es,” yang muncul justru bayangan puteri salju
melambai-lambai menarik simpati. Demikianlah semakin lama, bacaan
shalat pun semakin hilang dari nilai penghayatan.
Hidup
menyendiri memang sangat melelahkan. Jiwa lunglai karena didera oleh
perasaannya sendiri. “Kesendirian adalah kumpulan duka nestapa”,
demikian Khalil Gibran menyindir para lajang.
Wajar, jika syekh
Mustafa Siba’i menggambarkan, “Ibadahnya seorang lajang, pikirannya
dipenuhi bayang-bayang setan. Sedangkan ibadah orang yang telah menikah,
pikirannya dipenuhi dengan cinta Ar Rahman.”
Barangkali
sahabat kita tadi hanya salah satu dari sekian banyak orang yang masih
sendiri dalam meretasi perjalanan hidup di dunia ini. Sendiri tanpa
seorang pendamping yang dapat membantunya semakin dekat kepada Allah
Swt. Sendiri mengarungi samudera hari yang sepi sunyi. Tersiksa
membendung gelombang syahwat biologis yang belum tersalurkan dalam ridha
Ilahi Rabbi.
Orang yang masih sendiri (lajang), ia merasakan
sepi dalam kesendiriannya. Dan sunyi dalam keramaian. Kepahitan memantul
dari senyumnya. Berduka di balik canda tawanya.
Saat pulang
kerja, tiada yang dilihatnya melainkan dinding dan tembok rumah yang
mulai retak. Di sana sini terlihat pakaian kotor berserakan. Yang ada di
langit-langit pikirannya hanyalah khayalan-khayal an semu belaka. Tidur
pun bertemankan bantal guling dan lamunan. Terasa sulit mata untuk
dipejamkan. Bertandang ke rumah teman dengan tujuan menghilangkan
kepenatan. Bisikan-bisikan setan membangkitkan nafsu kemaksiatan.
Kondisi semacam ini terus berulang tanpa ada kepastian dan perubahan.
Terkecuali bila telah mengakhiri masa lajang dengan ikatan pernikahan.
Yang akan menghantarkanny a pada kehidupan yang penuh dengan keberkahan.
Apa yang menjadi alasan bagi seseorang yang bertahan hidup membujang?
Sebagian orang terinspirasi lagu Koes Plus tempo dulu, “Memang enak jadi
bujangan. Kesana kemari tiada yang melarang..”. Faktanya, malah banyak
lajang yang kelimpungan menanggung beban. Beban mental dan beban yang di
bawah pusar.
Ada yang beralasan belum mapan secara ekonomi.
Padahal setelah nikah, seorang suami berkewajiban memberi nafkah bagi
pasangannya; sandang, pangan, papan dan yang seirama dengan itu. Jika
ini pemicunya, berarti ia belum membenarkan janji Allah Swt, “Jika
mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” An
Nur: 32.
Dan ada pula yang berargument, belum mendapatkan
gadis pilihan yang cocok dan sreg di hati. Bisa jadi kriteria calon
pendamping hidup yang diminta terlalu tinggi, sehingga sulit ditemukan
di alam realita. Misalnya, mendambakan seorang dokter yang hafal Qur’an
dan berusia 17 tahun dan seterusnya. Atau barangkali menargetkan
pendamping hidup yang sempurna tanpa cela. Sempurna baik dari sisi zahir
dan bathin. Hal ini jelas tak akan dia dapatkan, hingga ajal
menjemputnya.
Menempuh pendidikan tinggi. Mendaki puncak
prestasi dan yang senada dengan itu, juga menjadi alasan seseorang
menikmati masa lajang.
Padahal jika kita belajar dari era
generasi terbaik; zaman sahabat, kita temukan satu fakta bahwa menggapai
prestasi terbaik, mencapai kematangan pribadi dan kedewasan berpikir
serta kelayakan menerima amanah, dimulai pasca pernikahan.
Usamah bin Zaid ra, di usia 18 tahun ia memimpin sebuah pasukan yang di
dalamnya ada beberapa sahabat senior dari kalangan Muhajirin, semisal;
Abu Bakar dan Umar. Saat itu ia sudah menikah dengan Fatimah binti Qais
ra.
Zaid bin Tsabit ra, diberi kepercayaan oleh Nabi saw untuk
menulis wahyu di usia belum mencapai 20 tahun, ia juga bukan berstatus
lajang lagi.
Jabir bin Abdullah ra, di usia sangat muda ia
telah mempersunting seorang janda. Dengan pertimbangan, istrinya bisa
mengayomi adik-adiknya yang semuanya adalah perempuan. Prestasi Jabir
sangat luar biasa di medan perjuangan dan Islam. Ia banyak meriwayatkan
hadits. Demikian pula ia menjamu Rasul saw dan para sahabatnya di perang
Khandaq, yang kurang lebih selama 3 hari mereka tak menemukan makanan
sepotongpun.
Begitulah para sahabat Nabi saw, dengan segudang
prestasi di hadapan Allah Swt dan manusia. Prestasi mengagumkan untuk
dunia dan akherat, mereka raih setelah menggenapkan separuh dien-nya,
yakni pernikahan. Di usia yang terbilang muda, kurang dari 25 tahun.
Kehidupan lajang ibarat seseorang yang hidup tanpa pakaian yang
menutupi tubuhnya. Di musim dingin, bibirnya membiru melawan cuaca
dingin yang menusuk tulang sumsum. Di musim panas, tubuhnya terbakar
hangus lantaran tiada pakaian yang melindungi tubuhnya dari sengatan
matahari. Allah Swt menggambarkan dalam al Qur’an, ”Mereka itu adalah
pakaian bagimu dan kamupun pakaian bagi mereka.” Al Baqarah: 187.
Dunia lajang seperti petani miskin yang tak memiliki lahan, sawah dan
ladang. Hidupnya bergantung kepada orang lain. Menggantungkan nasib pada
si pemilik sawah dan ladang. Sungguh indah Allah Swt menggambarkan,
“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam.” Al
Baqarah: 223.
Oleh karena itu, para lajang hidupnya akrab
dengan negeri rantau. Tidak betah menikmati hidup di kampung halaman
sendiri. Bahkan di rumah sendiri pun, tidak betah berlama-lama tinggal
di sana. Hal itu wajar, karena memang belum ada yang membuatnya betah
tinggal di rumah dan tiada sosok lemah lembut yang mengkhawatirkan nya
masuk angin jika banyak keluar rumah.
Renungkanlah sabda Nabi saw ini, “Seburuk-burukn ya manusia di antara kamu adalah orang yang hidup melajang.” H.R; Ahmad.
Oleh karena itulah generasi terbaik ummat ini sangat berhati-hati dan mewaspadai permasalahan ini.
Ibnu Abbas ra pernah berkata, ”Menikahlah kalian, karena satu hari
bersama seorang istri, lebih baik dari pada shalat yang dikerjakan
(orang yang belum menikah) selama satu tahun.”
Ibnu Mas’ud ra
pernah berkata pada saat ia tertusuk pedang ketika perang sedang
berkecamuk, ”Nikahkanlah aku, sebab aku merasa malu jika menghadap Allah
Swt dalam keadaan membujang.” Ia juga pernah bertutur, “Sekiranya aku
tahu bahwa sisa usiaku tinggal sepuluh hari lagi, maka aku segera akan
menikah, agar aku tidak menghadap Allah dalam keadaan membujang.”
Muadz bin Jabal ra ketika kedua istirinya meninggal dunia karena
menjalarnya wabah kolera, sementara ia mulai terjangkiti, maka ia
berkata, “Nikahkanlah aku, karena aku khawatir akan mati, dan menghadap
Allah dalam keadaan tidak beristri.”
Alangkah indahnya jika kita yang masih hidup menyendiri, merenungi pesan Syekh Mustafa Siba’i rahimahullah:
“Jangan engkau tunda mengakhiri masa lajangmu karena beratnya beban yang ditanggung.
Karena satu hari yang dilalui orang yang melajang, lebih berat daripada memikul bongkahan gunung yang besar.
Jangan engkau menunda pernikahanmu, karena banyaknya nafkah yang harus dikeluarkan.
Ketahuilah bahwa nafkah yang dikeluarkan orang yang menikah ibarat orang yang membiayai taburan benih di pematang sawah.
Sedangkan nafkah yang dikeluarkan oleh orang yang hidup menyendiri laksana menebar benih di lautan biru.”
Bagi anda yang masih hidup menyendiri, jujurlah pada hati nurani.
Jangan biarkan luka di hatimu semakin menganga lebar tanpa ada yang
membantumu membalut luka itu. Jangan biarkan awan mendung menggelapkan
wajahmu. Sudah waktunya keceriaan hidup anda kecap, dalam indahnya
pelangi pernikahan.
Bagi kita yang telah memiliki pendamping
hidup, mari kita rawat dan jaga pakaian milik kita. Kita tanam benih
kebaikan di sawah ladang milik kita. Sehingga kita dapat meraih hasil
panen yang berlimpah ruah. Di dunia kini dan akherat sana. Amien.
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
Salam Terkasih .. Dari Sahabat Untuk Sahabat ...
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ... Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat ....
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda