Jujur, AS dan sekutu Arab-nya telah sukses mengaborsi kelahiran
lanjutan revolusi di negara-negara Arab dan mengembalikan diktator
dengan wajah baru ke tampuk kekuasaan. Diktatorisme baik yang dilakukan
militer, sipil, rasisme, atau fanatisme kekabilahan. Di Yaman,
laju revolusi terhenti. Yaman menjadi terminal terakhir, karena efek
revolusi ditakutkan merambah semenanjung Arab yang dihuni negara-negara
Saudi-Emirat Arab-Bahrain-Oman-Kuwait-Qatar. Di Jordania benih-benih
revolusi sudah dimatikan sejak dini. Sedangkan di Syiria-Iraq-dan
wilayah Syam, revolusi mati suri. Untuk wilayah Maghribi yang mencakup
Libya-Tunisia-Aljazair-Maroko-Mauritania, revolusi itu dibonsai
sedemikian rupa.
Melihat hasil revolusi negara-negara Arab,
tak ada yang signifikan berpihak kepada rakyat Arab. Malah yang terjadi
adalah sebaliknya;
1. Hancurnya kekuatan militer di Irak-Mesir-Syiria, dan kemungkinan susah dibangkitkan lagi.
2. Terpecah belahnya masyarakat Arab ke dalam kelompok-kelompok
ideologis yang destruktif. Dominasi Syi'ah di Syiria-Irak-Libanon,
menelan korban pembantaian kelompok Sunni.
3. Dikuasainya ladang-ladang minyak oleh Barat.
4. Penempatan tentara AS di Saudi Arabia dan beberapa negara Teluk,
yang menggerus devisa dan sumber dana hingga mengurangi "jatah"
kesejahteraan rakyat.
Apakah Israel Menjadi Dominan?
Namun demikian, carut marut yang terjadi di negara-negara Arab, ternyata
tidak membuat Israel aman dan dominan. Hegemoni AS-Eropa-Israel
"terbentur" soliditas dan kekuatan akidah umat Islam di negara-negara
Arab. Hal yang membuat AS harus berjibaku menggelontorkan dana rampasan,
untuk menjaga "wibawa" dan stabilitas regional.
Benturan
terbesar adalah dari Ikhwanul Muslimin, jamaah Islam modern yang
fikrohnya menjalar luas di wilayah-wilayah Arab. Munculnya gerakan
Al-Qaeda 20 Tahun lalu di Sudan, yang kemudian menjadikan Afghanistan
sebagai medan jihad. Plus gerakan Jihadi di Mesir, membuat
AS-Eropa-Israel ketar-ketir. AS dan sekutunya mulai paham, mengangkangi
militer ternyata sangat mudah. Namun saat itulah, gerakan perlawanan
rakyat bermunculan. Hal yang sangat menyulitkan AS mengontrol keadaan.
Tengoklah kasus Irak. Sukses menginvasi, ternyata tidak diiringi
kesuksesan menghentikan perlawanan generasi kedua dari panji Jihad.
Tentara Iraq memang "tidak melakukan perlawanan" saat diserang. Namun
setelah 10 tahun invasi, Iraq malah di luar kendali dan kontrol AS.
Sudah bermilyar-milyar dollar AS mencoba melunakkan mujahidin, malah
sebaliknya tentara AS yang tewas lebih banyak dibandingkan saat perang
Irak itu sendiri.
Hal yang sama dengan posisi Yaman. Rezim
Abdullah Shalih dipertahankan, kendati dengan menunjuk wakilnya.
Perlawanan Jihadis, malah makin gencar. Sebagaimana di Syiria, Libya,
Al-Jazair, Tunisia, makin hari semakin menjadi area Jihad mujahidin yang
kerap dijuluki Al-Qaeda.
Oleh karena itu, untuk kasus Mesir.
AS yang sedari awal "terkagetkan" dengan sikap Presiden Moursi. Seorang
insinyur, bukan dari latarbelakang pendidikan agama. Sekian lama menimba
ilmu di AS. Moursi "direstui" untuk menggantikan Khairat Syatir,
seorang dokter yang secara resmi menjadi Wakil Mursyid Ikhwanul
Muslimin. Namun sikap Moursi sungguh mencengangkan; melawan AS dengan
langkah kongkrit pemberdayaan SDM muda Mesir, independensi militer,
swasembada pangan, dan koneksitas lintas Blok dengan negara-negara yang
bersaing dengan AS.
Maka AS berpikir untuk "melengserkan"
Moursi. Skenario awal adalah, mengulang pelengseran Mubarak.
Elemen-elemen negara pun dikerahkan;
Kepolisian-Militer-Kehakiman-Kejaksaan-hingga Media dan lembaga
keagamaan. Namun As-Sisi nampaknya terlalu percaya diri. Maka terjadilah
kudeta militer. AS nampak malu-malu. Sikap AS dan kaum sekuler-liberal
menampakkan belangnya. AS dan Eropa baru bisa mengatakan penggulingan
Moursi oleh militer sebagai kudeta, persis 1 bulan setelah kudeta itu
terjadi.
Ternyata, sikap AS itu pun dibenturkan dengan
soliditas proMoursi yang digalang Ikhwanul Muslimin dan partai FJP yang
berafiliasi ke IM. Kekompakan mafia kudeta militer (donatur Teluk-Partai
An-Nur-Kristen Koptik-AlAzhar) seperti jaring laba-laba; rapuh mudah
dipatahkan kepentingan. Perpecahan itu pun terpolarisasi ke dalam empat
perbedaan tajam:
1. Militer, bernafsu menjadi the real ruler
di Mesir yang baru. Maka semua lembaga negara diganti. Baru ada sejarah,
Presiden dan PM dipilih oleh Menhankam/Panglima AB. Konstitusi hasil
amandemen dibekukan dan lembaga-lembaga Negara dibubarkan. Mesir menjadi
negara tak memiliki sistem.
2. Poin pertama, ditentang
ElBaradai yang juga bernafsu menjadi the rising man. Ia sejak awal anti
pemerintahan militer. Baginya militer harus dibawah kendali sipil. Namun
posisinya yang Syi'ah dan track recordnya sebagai "jongos Yahudi",
menjadi penghalang hingga ia pun terpaksa tunduk pada kekuasaan militer
yang tak terbatas.
3. Lembaga Keagamaan, Al-Azhar yang
diwakili Grand Syaikh Prof. Dr. Ahmad Thayyib dan Kristen Koptik
diwakili Theodorus II, pun sama-sama kesulitan menemukan titik temu.
Grand Syaikh Al-Azhar tidak mungkin menyetujui perubahan preambule
konstitusi, dimana Kristen Koptik menuntut perubahan Agama Negara, tidak
lagi Islam. Di sisi lain, UU yang diajukan militer malah lebih
"merugikan" minoritas Koptik dibanding dengan UU yang disahkan oleh
Presiden Moursi yang benar-benar terbuka dan adil, memberi hak
masing-masing secara proporsional.
4. Kelompok Jihadis, yang
tidak berafiliasi kepada IM atau organisasi manapun. Mereka mendukung
Moursi karena visi keislamannya yang visioner, hafal Al-Qur'an, dan
membuka kran kebebasan beragama seluas-luasnya. Kelompok Jihadis ini
memiliki kurang lebih 11-15 ribu mujahidin bersenjata dan siap tempur.
Mereka masih wait and see. Menunggu sikap militer, apakah akan
memberangus dan membantai demonstran proMoursi atau sebaliknya militer
bersikap proaktif dan memilih mengorbankan As-Sisi.
AS-Barat-Israel kini paham. Lebih mudah menjalin komunikasi dengan
Moursi dan IM. Mereka membayangkan, jika AS-Barat-Israel mendukung
As-Sisi secara membabi buta, maka militer Mesir dan kaum sekuler-liberal
tidak akan mampu menjinakkan kelompok Jihadis. Mesir akan menjadi Irak
kedua bagi AS, bahkan Syiria kedua. Otomatis, ancaman Israel bukan lagi
sosok yang siap diajak dialog, tapi siap tempur. Hal mana jika kondisi
chaos terjadi, saya meyakini, Ikhwanul Muslimin pun akan memilih
revolusi Islam total.
Maka di sini AS, terpaksa mengakui
perbuatan As-Sisi sebagai kudeta. Bukan karena ingin membela proMoursi
atau IM. Tapi lebih karena ingin menyelamatkan Israel dari ancaman
Jihadis, sekaligus membatasi IM agar mengurungkan niatnya "terjun" ke
medan Jihad bersenjata.
Sekali lagi, AS-Eropa seperti memakan
buah simalakama. Ibarat melempar bumerang, toch akhirnya menyayat badan
sendiri. Maka media-media AS dan apara analis di Inggris,
merekomendasikan untuk mengembalikan Moursi ke tampuk kekuasaan.
Sayangnya Moursi dan IM sudah memiliki sikap sendiri. Terbukti dari para
qiyadah IM yang menolak bertemu dengan utusan AS dan Eropa. Karena bagi
Moursi dan IM, tak ada kata kalah membela Al-Haq; Mati menemui syahid.
Menang hidup mulia.
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda