Breaking News
Loading...
Rabu, 11 September 2013

Info Post
Mobil Lancer B 80 SAL yang dikemudikan putra bungsu Ahmad Dhani dan Maia Estianty, berinisial AQJ (kanan) dan Daihatsu Gran Max B 1349 TFM dalam kondisi ringsek akibat kecelakaan di Tol Jakarta-Bogor, diamankan di Satlantas Wilayah Jakarta Timur, Minggu (8/9/2013). | KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO

Kasus kecelakaan yang menimpa anak artis kawakan Ahmad Dhani yaitu si Dul yang sudah mengendarai mobil walau baru berusia 13 tahun. Dan juga kasus kecelakaan anak Menteri Hatta Rajasa yang juga menewaskan nyawa orang lain. Mendapat perlakuan yang istimewa dalam perkara ini.


Timbulnya kasus kecelakaan maut ini adalah bentuk kelalaian bukan saja kelalaian seorang anak, juga orang tua dan juga penegak hukum dan peraturan di negeri ini. inilah akibatnya jika hukum itu sudah pandang bhulu. Kalau anak menteri atau anak artis kaya raya seenaknya saja menggunakan kendaraan tanpa SIM, atau bisa memiliki SIM dengan menyediakan uang tertentu.

Saya pernah mendengar banyak anak-anak orang kaya yang belum cukup umur sudah bisa mempunyai SIM. Agar bebas mengendarai kendaraan di jalan raya. Istilah SIM “tembak” tak asing di daerah saya. Siapa mau cepat dan punya uang banyak bisa mendapatkan SIM “tembak” ini.

Peraturan dibuat untuk dilanggar meruakan semboyan satire negeri ini yang memang diamalkan oleh sebagian orang yang merasa kebal dengan hukum. Merasa anak pejabat, merasa anak artis dan orang kaya-raya bisa seenaknya saja melanggar hukum.

Inilah fenomena negeri yang hukumnya bisa dibeli. Jika telah terjadi kasus dan tercoreng nama baik hukum baru penegak hukum merasa ditampar dan kecolongan. Padahal mereka sendiri yang menjadikan hukum bisa dibeli.

Maraknya makelar kasus dan mafia hukum di negeri ini. Menambah daftar bobroknya hukum dan proses penegakan hukum. Jika sudah begini maka rakyat hanya bisa melihat dan dikelabui. Sebenarnya akhir kisahnya hanya pada duit. Maka ada anekdot bahwa UUD itu artinya ujung-ujungnya Duit.

Tanpa duit jangan coba-coba melawan hukum dan membuat kesalahan di negeri ini. Memang kalau duit itu masuk ke kas negara tak mengapa. Negara akan jadi kaya raya seperti di negara Singapura yang menerapkan denda yang tinggi bagi pelanggar hukumnya dan jelas masuk ke kas negara. Sedangkan di negara kita uang yang kita keluarkan jika terkena kasus hukum akan masuk ke kantung pribadi para “oknum” petinggi penegak hukum. Mereka lah yang semakin “buncit” saja perutnya.

Pada sisi yang lain, penegak hukum juga dalam dilema. Jika akan menilang anak menteri atau anak jenderal maka jangan harap bisa menilang. Sang anak akan menyebutkan nama bapaknya atau kartu anama bapaknya maka akan lewat dengan pongahnya. Demikian juga dengan orang kaya. Jika melanggar peraturan di jalan. Dengan mengibas-ngibaskan berlembar warna merah bertulis Soekarno-Hatta. maka lewatlah si anak orang kaya itu.

Inilah hukum di negeri ini. Tapi kalau naas sudah terjadi. Sampai merenggut nyawa orang lain. Semua terpaku. Semua saling menyalakan. Padahal sistem kita yang sudah bobrok. Moral bangsa ini dalam menegakkan peraturan sudah diambang batas titik “nadir”. Hukum bisa dibeli dan pandang bulu menjadikan hukum mati suri dan hanya menjerat orang-orang yang tak bisa membayar. Itupun kalau naas tertangkap dan ketahuan kalau tidak mereka tetap leluasa melanggar hukum.[kompasiana]
---
Komentar anda

0 komentar:

Posting Komentar

PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda