Kasus kecelakaan yang menimpa anak artis
kawakan Ahmad Dhani yaitu si Dul yang sudah mengendarai mobil walau
baru berusia 13 tahun. Dan juga kasus kecelakaan anak Menteri Hatta
Rajasa yang juga menewaskan nyawa orang lain. Mendapat perlakuan yang
istimewa dalam perkara ini.
Timbulnya kasus kecelakaan maut ini
adalah bentuk kelalaian bukan saja kelalaian seorang anak, juga orang
tua dan juga penegak hukum dan peraturan di negeri ini. inilah akibatnya
jika hukum itu sudah pandang bhulu. Kalau anak menteri atau anak artis
kaya raya seenaknya saja menggunakan kendaraan tanpa SIM, atau bisa
memiliki SIM dengan menyediakan uang tertentu.
Saya pernah mendengar banyak anak-anak
orang kaya yang belum cukup umur sudah bisa mempunyai SIM. Agar bebas
mengendarai kendaraan di jalan raya. Istilah SIM “tembak” tak asing di
daerah saya. Siapa mau cepat dan punya uang banyak bisa mendapatkan SIM
“tembak” ini.
Peraturan dibuat untuk dilanggar
meruakan semboyan satire negeri ini yang memang diamalkan oleh sebagian
orang yang merasa kebal dengan hukum. Merasa anak pejabat, merasa anak
artis dan orang kaya-raya bisa seenaknya saja melanggar hukum.
Inilah fenomena negeri yang hukumnya
bisa dibeli. Jika telah terjadi kasus dan tercoreng nama baik hukum baru
penegak hukum merasa ditampar dan kecolongan. Padahal mereka sendiri
yang menjadikan hukum bisa dibeli.
Maraknya makelar kasus dan mafia hukum
di negeri ini. Menambah daftar bobroknya hukum dan proses penegakan
hukum. Jika sudah begini maka rakyat hanya bisa melihat dan dikelabui.
Sebenarnya akhir kisahnya hanya pada duit. Maka ada anekdot bahwa UUD
itu artinya ujung-ujungnya Duit.
Tanpa duit jangan coba-coba melawan
hukum dan membuat kesalahan di negeri ini. Memang kalau duit itu masuk
ke kas negara tak mengapa. Negara akan jadi kaya raya seperti di negara
Singapura yang menerapkan denda yang tinggi bagi pelanggar hukumnya dan
jelas masuk ke kas negara. Sedangkan di negara kita uang yang kita
keluarkan jika terkena kasus hukum akan masuk ke kantung pribadi para
“oknum” petinggi penegak hukum. Mereka lah yang semakin “buncit” saja
perutnya.
Pada sisi yang lain, penegak hukum juga
dalam dilema. Jika akan menilang anak menteri atau anak jenderal maka
jangan harap bisa menilang. Sang anak akan menyebutkan nama bapaknya
atau kartu anama bapaknya maka akan lewat dengan pongahnya. Demikian
juga dengan orang kaya. Jika melanggar peraturan di jalan. Dengan
mengibas-ngibaskan berlembar warna merah bertulis Soekarno-Hatta. maka
lewatlah si anak orang kaya itu.
Inilah hukum di negeri ini. Tapi kalau
naas sudah terjadi. Sampai merenggut nyawa orang lain. Semua terpaku.
Semua saling menyalakan. Padahal sistem kita yang sudah bobrok. Moral
bangsa ini dalam menegakkan peraturan sudah diambang batas titik
“nadir”. Hukum bisa dibeli dan pandang bulu menjadikan hukum mati suri
dan hanya menjerat orang-orang yang tak bisa membayar. Itupun kalau naas
tertangkap dan ketahuan kalau tidak mereka tetap leluasa melanggar
hukum.[kompasiana]
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda