BUKAN mustahil pelaku aksi teror terhadap polisi belakangan ini
justru dilakukan aparat antiteror sendiri. Aparat antiteror itu tidak
lain Detasemen Khusus 88. Demikian dikatakan Direktur The Community of
Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya kepada Islampos.com, Senin (16/9).
Masyarakat, kata Harits, bisa belajar dari kasus teror penembakan di
salah satu Mapolsek Sulteng pada bulan Juli 2013 yang peristiwanya tidak
begitu terekspos media.
Dari penelusuran CIIA, Harits mengungkapkan polisi sebenarnya telah
menemukan pelaku peristiwa teror penembakan di Mapolsek Palu Selatan 17
juli 2013 silam. Pelaku itu adalah adalah oknum Densus 88 yang
berinisial YW. Di kemudian hari Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah
mengaku bila peristiwa penembakan tersebut sebagai bentuk uji kesiagaan
Mapolsek setempat terhadap ancaman aksi terorisme.
Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah AKBP Soemarno menyebutkan peristiwa
itu sesungguhnya bukan aksi terorisme seperti yang di duga selama ini,
“Itu bukan aksi terorisme, namun memang hanya sebagai bentuk uji
kesiagaan,” tutur Soemarno di depan awak media.
Berdasarkan penelusuran informasi yang diperoleh CIIA dari lapangan,
kasus itu sebenarnya telah terungkap oleh Polisi pada 18 Juli 2013.
“Pelaku yang berinisial YW telah berhasil ditangkap oleh personel Brimob yang berinisial R di arena STQ Palu,” imbuh Harits.
Namun, agenda mengumumkan keberhasilan penangkapan pelaku diurungkan
setelah diketahui Pelaku adalah oknum anggota Densus 88 yang bertugas di
Poso.
“Bahkan sebaliknya anggota Brimob yang berinisial R di ciduk dan dibawa ke Mabes Polri untuk sebuah kepentingan,” katanya.
Dari fakta ini, lanjut Harits, masyarakat harus sadar bahwa teror dan
terorisme sudah mengalami pergeseran sedemikian rupa. Dan betapa
bahayanya jika “teror” dilakukan oleh aparat dengan memuntahkan peluru
hanya untuk kepentingan memberantas terorisme. Dan alasan “teror” dibuat
hanya untuk menjadi triger kesiapan aparat menjadi sangat klise sekali.
“Ini menjadi sampel penting,bukan tidak mungkin teror-teror yang
menjamur di Indonesia adalah produk dari sebuah ‘rekayasa’ untuk
mencapai target-target tertentu,” paparnya.
Dengan kejadian, kata Harits, seharusnya menjadi pelajaran penting bagi masyarakat, dan menjadi ‘amunisi’ masyarakat terutama stackholder untuk
memberi masukan. Selain itu, kejadian ini harus menjadi kontrol bagi
semua institusi negeri ini yang hendak menegakkan keadilan.
“Keadilan tidak bisa tegak dengan cara-cara yang justru mencederai rasa keadilan,” tutupnya. [Pz/Islampos]
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda