TRIBUNNEWS.COM - Kabar yang dihembuskan langsung oleh Menteri Perdagangan Gita Wirjawan
bahwa dirinya sudah mengajukan pengunduran diri dari posisinya di
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II membuktikan bahwa pencitraan politik
ternyata lebih penting dibandingkan pertanggungjawaban seorang pejabat
negara kepada rakyat dan bangsanya.
Pasalnya alasan yang diajukan bahwa dirinya siap mengundurkan diri
dari jabatan menteri, jika ada benturan persepsi dan kepentingan terkait
keikutsetraan dia dalam Konvensi Partai Demokrat dan bukan karena
berbagai kebijakan pro impor dan pro asing yang dijalankannya justru
menunjukkan bahwa politik pencitraan yang dijalaninya di Partai Demokrat
itu lebih penting dari tanggungjawabnya sebagai pejabat publik.
Bagaimana tidak, segala sorotan dan kritik yang selama ini di
lontarkan oleh banyak kalangan, termasuk dari kami di Indonesia Economic
Development Studies (IEDS) mengenai kebijakan impor yang dijalankannya
secara "jor-joran" dan memicu kelangkaan dan mahalnya sejumlah komoditas
pangan, mulai dari cabai, bawang putih, daging, kedelai, hingga gula
rafinasi ternyata tidak masuk dalam persolan penting serta prinsipil
yang menjadi tanggung jawabnya dan patut dijadikan alasan kemunduran
dirinya dari posisi menteri.
Namun justru karier politik yang dikejarnya dalam konvensi Partai
Demokrat lah yang dianggapnya sebagai poin penting pengunduran dirinya
dari posisi menteri. Nampaknya politik etis dan kepatutan bagi Menteri
Gita hanya berlaku jika terkait dengan pencitraan Partai Demokrat saja
namun tidak berlaku jika berhubungan dengan kesulitan ekonomi rakyat
kecil dan hancurnya kemandirian ekonomi bangsa ini !
Buktinya, Menteri Gita bahkan menjawab berbagai kritik yang
dilontarkan terkait mahalnya harga kedelai justru dengan membebaskan Bea
Masuk Impor Kedelai yang nyata-nyata membuka jalan tol bagi para
pencari rente dan kartel-kartel yang menguasai jalur perdagangan kedelai
untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya atas nama penderitaan para
petani kedelai di negeri ini dan para pengusaha serta konsumen kedelai
di republik ini.
Jika Menteri Gita adalah seorang negarawan yang memikirkan nasib
rakyat kecil, maka semestinya sejak duduk di kursi menteri yang
difikirkannya adalah meningkatkan produksi dan swasembada di berbagai
sektor agar indonesia memiliki komoditi untuk diperdagangkan, dan bukan
menjadi broker alias pedagang baru yang mencari keuntungan dari rakyat
dan bangsanya sendiri!.
Lihat saja, meski Indonesia adalah negara kepulauan, yang memiliki
laut luas dan pantai di seantero negeri, namun garam saja yang menjadi
kebutuhan utama bagi seluruh ibu rumah tangga di negeri ini ternyata
harus impor dari luar negeri. Bahkan menurut catatan BPS, negara sekecil
Singapura saja yang tidak memliki lahan luas untuk lahan produksi garam
ternyata mampu menjadi negara ke empat terbesar penyuplai garam bagi
republik ini. Sungguh menyakitkan!
Sungguh ironis jika kenyataan demi kenyataan tersebut dipaparkan
kepada rakyat secara terbuka. Jika di negara lain ada Presiden yang
mundur karena gagal mensejahterakan rakyat, ada Menteri yang mundur
bahkan bunuh diri karena terbukti korup dan salah dalam menerapkan
sebuah kebijakan maka di negeri ini hal itu masih merupakan peristiwa yang
langka. Tanggungjawab atas kebijakan publik dan tanggung jawab kepada
rakyat selamanya masih menjadi prioritas ke sekian setelah tanggung
jawab kepada partai dan pencitraan politik yang jelas menjadi alasan
utama kenapa para pejabat ini bisa menduduki posisinya sekarang.
Ini juga menjadi jawaban atas pertanyaan kenapa republik ini tidak
juga mampu berubah meski banyak orang-orang berpendidikan yang menduduki
posisi-posisi strategis di pemerintahan. Karena mereka duduk bukan
disebabkan kompetensi dan kemampuannya mensejahterakan rakyat namun
lebih karena pertimbangan politik belaka dan sekali lagi pencitraan
saja.
*Penulis adalah Peneliti IEDS
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda