Nikah Mut'ah = Kawin kontrak |
Ia menceritakan dalam kitab Lillahi Tsumma Lil Tarikh:
Kisah Pertama
Seorang perempuan datang kepada saya menanyakan tentang peristiwa
yang terjadi terhadap dirinya. Dia menceritakan bahwa seorang tokoh,
yaitu Sayyid Husain Shadr pernah nikah mut’ah dengannya dua puluh tahun
yang lalu, lalu dia hamil dari pernikahan tersebut.
“Setelah puas, dia menceraikan saya. Setelah berlalu beberapa waktu
saya dikarunia seorang anak perempuan. Dia bersumpah bahwa dia hamil
dari hasil hubungannya dengan Sayyid Shadr, karena pada saat itu tidak
ada yang nikah mut’ah dengannya kecuali Sayyid Shadr.”
“Setelah anak perempuan saya dewasa, dia menjadi seorang gadis yang cantik dan siap untuk nikah.”
Namun sang ibu mendapati bahwa anaknya itu telah hamil. Ketika
ditanyakan tentang kehamilannya, dia mengabarkan bahwa Sayyid Shadr
telah melakukan mut’ah dengannya dan dia hamil akibat mut’ah tersebut.
Sang ibu tercengang dan hilang kendali dirinya lalu mengabarkan kepada
anaknya bahwa Sayyid Shadr adalah ayahnya. Lalu dia menceritakan
selengkapnya mengenai pernikahannya (ibu si wanita) dengan Sayyid Shadr
dan bagaimana bisa hari ini Sayyid Shadr menikah dengan anaknya dan anak
Sayyid Shadr juga?!
Kemudian dia datang kepadaku menjelaskan tentang sikap tokoh tersebut
terhadap dirinya dan anak yang lahir darinya. Sesungguhnya kejadian
seperti ini sering terjadi. Salah seorang dari mereka melakukan mut’ah
dengan seorang gadis, yang di kemudian hari diketahui bahwa dia itu
adalah saudarinya dari hasil nikah mut’ah. Sebagaimana mereka juga ada
yang melakukan nikah mut’ah dengan istri bapaknya.
Di Iran, kejadian seperti ini tak terhitung jumlahnya. Kami membandingkan kejadian ini dengan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah mampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur:33)
Kalaulah mut’ah dihalalkan, niscaya Allah tidak akan memerintahkan
untuk menjaga kesucian dan menunggu sampai tiba waktu dimudahkan baginya
untuk urusan pernikahan, tetapi Dia akan menganjurkan untuk melakukan
mut’ah demi memenuhi kebutuhan biologisnya daripada terus-menerus
diliputi dan dibakar oleh api syahwat.
Kisah Kedua
Suatu waktu saya duduk bersama Imam Al Khaui
di kantornya. Tiba-tiba masuk dua orang laki-laki menemui kami, mereka
memperdebatkan suatu masalah. Keduanya bersepakat untuk menanyakannya
kepada Imam Al Khaui untuk mendapatkan jawaban darinya.
Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai Sayyid, apa pendapatmu tentang mut’ah, apakah ia halal atau haram?”
Imam Al Khaui melihat lagaknya, ia menangkap sesuatu dari pertanyaannya, kemudian dia berkata kepadanya, “Dimana kamu tinggal?”
Maka dia menjawab, “Saya tinggal di Mosul, kemudian tinggal di Najaf semenjak sebulan yang lalu.”
Imam berkata kepadanya, “Kalau demikian berarti Anda adalah seorang Sunni?”
Pemuda itu menjawab, “Ya!”
Imam berkata, “Mut’ah menurut kami adalah halal, tetapi haram menurut kalian.”
Maka pemuda itu berkata kepadanya, “Saya di sini semenjak dua bulan
yang lalu merasa kesepian, maka nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu
dengan cara mut’ah sebelum saya kembali kepada keluargaku.”
Maka sang imam membelalakkan matanya sejenak, kemudian berkata
kepadanya, “Saya adalah pembesar, dan hal itu haram atas para pembesar,
namun halal bagi kalangan awam dari orang-orang Syiah.”
Si pemuda menatap Al Khaui sambil tersenyum. Pandangannya
mengisyaratkan akan pengetahuannya bahwa Al Khaui sedang mengamalkan
taqiyah (berbohong untuk membela diri).
Kedua pemuda itu pun berdiri dan pergi. Saya meminta izin kepada Imam
Al Khaui untuk keluar. Saya menyusul kedua pemuda tadi. Saya mengetahu
bahwa penanya adalah seorang Sunni dan sahabatnya adalah seorang Syi’i
(pengikut Syiah). Keduanya berselisih pendapat tentang nikah mut’ah,
apakah ia halal atau haram? Keduanya bersepakat untuk menanyakan kepada
rujukan agama, yaitu Imam Al Khaui.
Ketika saya berbicara dengan kedua pemuda tadi, pemuda yang berpaham
Syiah berontak sambil mengatakan, “Wahai orang-orang durhaka, kamu
sekalian membolehkan nikah mut’ah kepada anak-anak perempuan kami, dan
mengabarkan bahwa hal itu halal, dan dengan itu kalian mendekatkan diri
kepada Allah, namun kalian mengharamkan kami untuk nikah mut’ah dengan
anak-anak perempuan kalian?”
Maka dia mulai memaki dan mencaci serta bersumpah untuk pindah kepada
madzhab Ahlus Sunnah, maka saya pun mulai menenangkannya, kemudian saya
bersumpah bahwa nikah mut’ah itu haram, kemudian saya menjelaskan
tentang dalil-dalilnya. Source
Nikah Mut'ah = Kawin Kontrak
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda