BANDUNG - Kriminolog dari Universitas
Padjadjaran, Yesmil Anwar, mengatakan, kasus pembunuhan Sisca Yofie di
Cipedes, Bandung, beberapa waktu lalu, mirip dengan kasus-kasus
pelenyapan nyawa yang terjadi pada rezim orde baru.
Yesmil pun menyandingkan kasus pembunuhan yang terbilang sadis ini
dengan pembunuhan peragawati berparas cantik pada era 80-an, yaitu
Dietje Budimulyono.
"Ada zaman orde baru dulu. Banyak yang mirip-mirip, seperti
pembunuhan peragawati yang dikaitkan dengan... (menyebut nama keluarga
pejabat di era itu-red)," kata Yesmil di Bandung, Kamis (22/8/2013).
Dietje, yang merupakan peragawati berparas elok pada zamannya, tewas
setelah ditembak di bagian kepala saat mengendarai mobilnya. Mayatnya
pun dibuang di sebuah kebun di suatu tempat di Kota Jakarta.
Diduga, pembunuhan tersebut dilakukan karena faktor cemburu dari salah satu anggota keluarga penguasa saat itu.
Sementara itu, salah seorang guru spiritual Dietje bernama Pakde,
atau dikenal juga sebagai Muhammad Siradjudin, dikambinghitamkan. Ia
diputuskan bersalah meski telah menghadirkan saksi yang meringankan di
pengadilan.
Pak De kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Hingga saat
ini, belum terungkap siapa aktor intelektual dari pembunuhan itu.
Keganjilan serupa pada kasus Sisca dari kacamata Yesmil timbul ketika
publik tidak percaya jika kasus tersebut dinyatakan murni sebagai tindak
pidana penjambretan.
Pasalnya, beberapa keanehan, baik dari pengakuan pelaku pembunuhan,
kronologi kematian Sisca, pengakuan saksi mata dari polisi maupun media
massa, hingga keterlibatan Komisaris Albertus Eko, seolah tidak sinkron.
"Hukum pidana itu mengatakan siapa yang melakukan sebenarnya. Kalau
tersangka menyerahkan diri dan segala macam keterangannya, apakah bisa
diterima begitu saja? Polisi perlu mencari hubungan antara pengakuan,
kesaksian forensik, dan olah TKP," bebernya.
Dalam kasus ini, Yesmil menaruh kemungkinan adanya faktor kecemburuan
dari Komisaris Albertus sehingga kasus Sisca menjadi mirip dengan kasus
pembunuhan peragawati Dietje. "Motif kejahatan ada tiga yang paling
utama melatar belakanginya yaitu, hubungan sosial seperti percintaan,
kecemburuan, kesenjangan sosial, dan lain-lain. Kemudian, ada faktor
kehormatan dan kekuasan dan yang ketiga adalah faktor harta benda," kata
Yesmil.
"Nah, dalam kasus Sisca ini apakah menyangkut ketiganya atau sebagian
seperti harta benda saja. Tapi, kalau penjambretan, kenapa handphone-nya dibuang?" sambung Yesmil.
Sementara itu, yang berbeda antara kedua kasus tersebut adalah
pengakuan tersangka, di mana pada kasus pembunuhan Sisca ternyata pelaku
memang mengakui perbuatannya menjambret yang berujung pembunuhan.
Hal tersebut bertolak belakang dengan kasus pembunuhan peragawati
Dietje. Pak De sendiri menyangkal perbuatannya membunuh Dietje meski
akhirnya tetap dijebloskan ke dalam bui.
"Tapi, jangan langsung didorong pada suatu kesimpulan. Kalau di
kedokteran ada metode diferensial diagnosis. Kalau mendiagnosis gejala
seperti batuk penyakitnya bisa macam-macam dan obatnya pun bisa
macam-macam. Polisi sama seperti dokter, harus melakukan diferensial
diagnosis," tuturnya.
Seyogianya, kata Yesmil, pihak kepolisian tetap membuka pintu untuk
kemungkinan-kemungkinan adanya motif pembunuhan berencana tanpa
mengesampingkan asas "equality before the law" atau semua orang sama di
hadapan hukum tanpa membedakan status dan jabatan.
"Kalau berencana apakah berencana dengan oknum polisi atau sendiri?
Ini harus ditegaskan betul-betul. Jangan secepat kilat diadakan sidang
kode etik. Kalaupun ada (sidang kode etik) tidak perlu diumumkan karena
itu urusan internal," jelasnya.
"Sidang kode etik itu kesannya ingin mereduksi keterlibatan polisi atau sekadar menyelamatkan muka lembaga," tegasnya lagi.
sumber: Kompas.com/tribun
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda