Oleh Hartono Ahmad Jaiz
-
UIN Jakarta telah memproduk nabi palsu, dan menamatkan dengan terhormat pembela nabi palsu pula. Selangkah lagi kalau dia masuk dalam tim penafsir Al-Qur’an di Departemen Agama (kini Kementerian Agama) atau tingkat nasional, karena dia doctor di bidang tafsir Al-Qur’an, maka apa yang akan terjadi?
-
Dedengkot Liberal Pembela Nabi Palsu Meraih Doktor dengan Menuduh Al-Qur’an Ada Kontradiksi
-
Itulah keblingernya. Ulama ditlikung, sedang nabi palsu dijunjung.
Abd. Moqsith Ghazali pendukung Nabi
palsu Ahmad Moshaddeq dari kalangan JIL (Jaringan Islam Liberal)
berhasil meraih gelar Doktor Bidang Tafsir dari Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (13/12/2007) malam, dengan
predikat memuaskan (cumlaude). Disertasinya berjudul Pluralitas Umat Beragama dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat Pluralis dan Tidak Pluralis.
Para penguji terdiri dari Prof. Dr.
Azyumardi Azra (Penguji dan Ketua Sidang), Prof. Dr. Salman Harun, Prof.
Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar
Azhari Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara dan DR.
Zainun Kamal.
Di antara para pengujinya ada seorang
penguji, Dr Salman Harun yang termasuk Tim Penafsir Al-Qur’an,
menanggapi keras disertasi Moqsith secara tertulis, dan menilai Moqsith
sebagai salah faham dan tidak utuh dalam mengutip Tafsir Ibnu Katsir dan
Tafsir Al-Munir karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Sehingga disertasi
Moqsith bertentangan dengan tafsir-tafsir yang dikutipnya itu. Menurut
Salman, dua ulama itu (Imam Ibnu Katsir dan Imam Nawawi
Al-Bantani) berkesimpulan hanya Muslim yang masuk surga. Tapi Moqsith
menyimpulkan, non muslim juga bisa. Makanya Dr Salman Harun berkomentar: “Disertasi Begini kok Lulus”.
Di samping itu Moqsith
menganggap, bahwa di dalam al-Qur’an ada kontradiksi (ta’arudl) antara
ayat yang mendukung pluralisme dan yang menolaknya. Dia kemukakan
contoh sekenanya bahwa ada ayat berbunyi la ikraha fi al-din (tidak ada
paksaan dalam beragama), di samping ada juga ayat faqtulu al-musyrikin
(bunuhlah orang-orang musyrik).
Tuduhan itu terlalu berani.
Seandainya Moqsith mau menyimak dua ayat
berikut ini saja, kalau dia konsekuen, maka mungkin dia tidak akan
menyatakan bahwa di dalam al-Qur’an ada kontradiksi (ta’arudl).
{لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ} [المائدة: 82]
“Sesungguhnya kamu dapati
orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang
beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan
Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan
orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya
kami Ini orang Nasrani”. yang demikian itu disebabkan Karena di antara
mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, (juga) Karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.” (QS Al-Maaidah: 82).
{ قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ} [التوبة: 29]
“Perangilah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka
tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang)
yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah: 29).
[638] Jizyah ialah pajak per kepala yang
dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam,
sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka.
Di ayat itu tidak ada pemaksaan pula
untuk masuk agama Islam. Mereka bisa memilih, membayar jizyah sebagai
imbangan keamanan diri mereka atau mau masuk Islam, terserah saja.
Terserah Moqsith mau percaya atau tidak,
tetapi yang jelas, ungkapan Moqsith itu sudah menentang terang-terangan
terhadap ayat dan hadits berikut ini:
{ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا} [النساء: 82]
“Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisaa’: 82).
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amr bin
Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: “Aku pernah duduk
bersama saudaraku dalam sebuah majelis yang lebih aku sukai daripada
memiliki unta-unta yang merah. Ketika aku dan saudaraku berjalan,
tiba-tiba kami temukan orang-orang yang sudah tua dari kalangan sahabat
Nabi berada di depan salah satu pintu dari pintu-pintu (rumah) Nabi.
Kami tidak ingin merusak majelis mereka. Maka kami pun duduk di bagian
belakang. Ternyata mereka sedang membicarakan sebuah ayat dalam
Al-Qur’an. Mereka berselisih pendapat tentangnya, sehingga mengeraslah
suara-suara mereka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallampun keluar dalam keadaan marah, hingga wajahnya memerah. Beliau
melempar mereka dengan tanah, lalu berkata:
مَهْلاً يَا قَوْمِ ، بِهَذَا أُهْلِكَتِ الأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ ، بِاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ ، وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ ، إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا ، بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا ، فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ ، فَاعْمَلُوا بِهِ ، وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ ، فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ.
Tahanlah wahai kaumku! Sesungguhnya
karena hal yang seperti inilah umat-umat sebelum kalian binasa. Mereka
menyelisihi nabi-nabi mereka dan mempertentangkan sebagian (isi) kitab
dengan sebagian yang lainnya. Sesungguhnya Al-Qur’an
diturunkan tidak saling mendustakan sebagian dengan sebagian yang
lainnya. Namun justru saling membenarkan antara sebagiannya dengan
sebagian yang lainnya. Apa yang kalian ketahui darinya,
maka amalkanlah. Dan apa yang tidak kalian ketahui, maka kembalikanlah
kepada orang yang mengetahuinya. (HR Ahmad II/181, shahih: dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth no. 6702).
Jelaslah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya
Al-Qur’an diturunkan tidak saling mendustakan sebagian dengan sebagian
yang lainnya. Namun justru saling membenarkan antara sebagiannya dengan
sebagian yang lainnya.
Dalam disertasi Moqsith, menunjukkan,
bahwa di dalam al-Qur’an ada kontradiksi (ta’arudl) antara ayat yang
mendukung pluralisme dan yang menolaknya.
Kalau para penguji (selain satu orang
yang mengkritik Moqsith tentu saja) masih percaya kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mestinya menolak disertasi Moqsith itu.
Namun anehnya, Azyumardi Azra (penguji, yang dalam kasus nabi palsu, dia
dikenal sebagai salah satu penanda tangan penjelasan pengikut nabi
palsu Mirza Ghulam Ahmad yaitu JAI –Jemaat Ahmadiyah Indonesia) dan juga
Nasaruddin Umar selaku pembimbing (yang juga penandatangan penjelasan
pengikut nabi palsu, JAI), memuji-muji disertasi tokoh liberal yang
jelas-jelas menentang ayat Allah dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini.
Perlu diketahui, menurut situs
wahidinstitut, Moqsith ini disebut pemikir muda Nahdlatul Ulama dan
peneliti the WAHID Institute yang didirikan oleh Gus Dur (Abdurrahman
Wahid) yang dikenal sering melontarkan pemikiran nyeleneh/ aneh.
Kaitan dengan nabi palsu
Dalam kasus munculnya nabi palsu Ahmad
Moshaddeq di Jakarta 2007, Moqsith adalah tokoh pembelanya, bersama
orang liberal lainnya. Nabi palsu itu sendiri difatwakan oleh Majelis
Ulama Indonesia, Ramadhan 1428H/ Oktober 2007M, sebagai kafir, dan agar
ditindak oleh pemerintah dengan sesuai aturan yang ada.
Kenapa ada orang yang berani
terang-terangan mengaku sebagai nabi? Secara kenyataan, bisa disimak
bahwa sebenarnya ada factor penunjang, yaitu maraknya orang liberal
warisan Nurcholish Madjid, Harun Nasution, dan dukungan Abdurrahman
Wahid, Ahmad Syafii Maarif serta Dawam Rahardjo yang diawaki Ulil Abshar
Abdalla, Abd Moqsith Ghazali dan lainnya yang berfaham semua agama sama
(pluralisme agama) di mana-mana, bahkan didukung terang-terangan lewat
media massa.
Meskipun demikian, ada juga factor
penghalangnya, yaitu masih banyaknya ulama, tokoh Islam dan umat Islam
yang peduli pada agamanya. Maka akibatnya, nabi palsu ini ajarannya
dilarang beredar oleh kejaksaan Negeri Jakarta untuk wilayah Jakarta,
sejak 29 Oktober 2007M. Para pentolannya ditangkap polisi untuk
diproses. Kemudian dilarang secara Nasional di seluruh wilayah Indonesia
oleh Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Kejaksaan Agung,
November 2007. Ahmad Moshaddeq sang nabi palsu pun mendekam dalam
tahanan untuk diproses ke pengadilan.
Lantaran dilarang itu maka ada
pihak-pihak yang tidak rela dengan larangan itu, di antaranya Abd
Moqsith Ghazali orang UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta, pentolan
JIL (Jaringan Islam Liberal) lewat Metro TV 29 Oktober 2007 dan
teman-temannya dari kelompok liberal lewat aneka sarana. Kelompok sesat
dan membela kesesatan ini dijuluki dengan sarkasme, sepilis
(sekulerisme, pluralisme agama –menyamakan semua agama— dan
liberalisme).
Pelajaran dari kasus ini
1. MUI kecolongan karena melaksanakan
dialog dengan JIL (Jaringan Islam Liberal, yang diawaki Moqsith Ghazali)
dan pentolan Al-Qiyadah (tidak hadir) di Metro Tivi Senin malam 29
Oktober 2007M. Kehadiran MUI itu sama dengan mendudukkan JIL yang sudah
difatwakan MUI 2005 bahwa faham liberalisme, pluralisme agama dan
sekulerisme itu bertentangan dengan Islam, dan umat Islam haram
mengikutinya; namun justru MUI mau duduk sejajar dengan JIL. Berarti JIL
sejajar dengan MUI. Dan kalau pentolan nabi palsu hadir dalam dialog di
televisi itu justru posisi MUI jadi minoritas, yaitu satu pihak dilawan
oleh 2 pihak yang sesat. Kenyataannya Al-Qur’an pun ditolak hukumnya
secara terang-terangan oleh Moqsith dalam dialog itu. Jadi MUI atau
siapapun yang muslim sebenarnya haram hukumnya duduk bicara dengan orang
model Moqsith dari JIL yang bicara menolak hukum Al-Qur’an
terang-terangan itu.
{وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا} [النساء: 140]
“Dan sungguh Allah telah menurunkan
kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat
Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka
janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki
pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat
demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan
mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam
Jahannam,” (QS An-Nisaa’: 140).
2. Satu sisi JIL sementara menang, bisa
seakan sejajar dengan MUI, padahal JIL jelas telah difatwakan oleh Munas
MUI ketujuh, tahun 2005, bahwa fahamnya bertentangan dengan Islam.
Namun ketika JIL jelas-jelas membela nabi palsu, sedangkan dia sendiri
(Moqsith dari JIL) mengaku bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam itu nabi terakhir, maka masyarakat mendapatkan minimal tiga
pelajaran:
a. Moqsith pentolan
JIL itu cara berfikirnya kurang waras, karena dia sendiri mengaku bahwa
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam nabi terakhir tetapi dia
tetap membela nabi palsu.
b. Makin jelas bahwa
Moqsith bersama JIL dan sepadannya yang berfaham sepilis (sekulerisme,
pluralisme agama, dan liberalisme) itu adalah penentang-penentang Islam
yang terang-terangan, sampai yang sudah jelas musuh Islam berupa nabi
palsu yang hukumannya hukum bunuh saja masih dibela. Berarti JIL
mendudukkan diri sebagai musuh Islam secara nyata dan dipertontonkan
kepada umat Islam secara terbuka.
c. Nabi palsunya
sendiri, Ahmad Moshaddeq mengaku sudah bertaubat, 9 November 2007M.
Tetapi para pendukungnya dari JIL dan liberal-liberal lainnya tetap
“berjuang” mendukung kepalsuannya. Sehingga dalam kasus Ahmadiyah alias
pengikut nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad, ternyata muncul tokoh-tokoh yang
“melegalkan” Ahmadiyah bahkan menandatangani penjelasan JAI (Jemaat
Ahmadiyah Indonesia) yang dikenal dengan 12 butir penjelasan JAI, yang
menurut MUI tetaplah Ahmadiyah itu sesat karena penjelasannya itu tak
menafikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tokoh-tokoh liberal pendukung
Ahmadiyah itu di antaranya Atho Muzhar (Kepala Badan Litbang Departemen
Agama), Nasaruddin Umar Dirjen Bimas Islam Depag, Azyumardi Azra bekas
rector IAIN Jakarta dan lainnya. Dengan kasus ini maka lebih jelas lagi
bagi umat bahwa kelompok liberal (baik yang jualan di luaran atau kaki
lima seperti Ulil Abshar Abdalla, Moqsith Ghazali dkk maupun yang di
dalam lembaga structural – seperti Depag –ketika naskah ini ditulis
masih berfnama Depag, kini Kemenag–, IAIN-IAIN dan lain-lain) di samping
mereka itu sesat memang selaku pembela kesesatan nomor wahid. Allah
Subhanahu wa Ta’alatelah menampakkan cela mereka (mengaku Muslim namun
terang-terangan membela nabi palsu dan pengikut nabi palsu) walau mereka
dalam keadaan mendekam di dalam sarang mereka. Sebagaimana dalam
Al-Qur’an ada pula orang yang sangat memusuhi Islam, Al-Walid bin
Al-Mughirah, yang kemudian terbunuh di Perang Badr dengan hidung
terpotong. Sebelumnya, dia telah ditampakkan celanya oleh Allah swt:
{سَنَسِمُهُ عَلَى الْخُرْطُومِ} [القلم: 16]
“Kelak akan kami beri tanda dia di belalai(nya)” [1491]. (QS Al-Qalam: 16)
[1491] yang dimaksud dengan belalai di sini ialah hidung. dipakai kata belalai di sini sebagai penghinaan.
UIN Jakarta memproduk nabi palsu dan pembelanya
Dari kenyataan ini, sudah jelas
kerusakannya. Bahkan kalau ditengok lebih jauh ternyata lembaga yang
dibincang ini telah memproduk nabi palsu pula, bahkan mengaku sebagai
reinkarnasi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
Abdurrahman, alumni Ushuluddin IAIN Jakarta 1997 yang mengabdi kepada
Lia Aminuddin (belakangan sebutannya Lia Eden) sejak 1996. Kini nabi
palsu itu masuk penjara atas vonis Mahkamah Agung 3 tahun penjara.
Sebaliknya pembela nabi palsu justru meraih gelar doctor, walau
disertasinya menuduh-nuduh Al-Qur’an sebagai ada kontradiksi, ditambah
dengan menggelapkan atau bahasa kasarnya memutar balikkan ulama tafsir
sekaliber Imam Ibnu Katsir.
Dalam buku Bunga Rampai Penyimpangan Agama di Indonesia, Pustaka
Al-Kautsar, Jakarta, 2007, telah saya (Hartono Ahmad Jaiz) kemukakan 4
tafsir (Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Taimiyyah, penafsiran Imam
As-Syathibi, dan Imam As-Sa’di) dalam menafsirkan ayat 62 Surat
Al-Baqarah dan ayat 69 Surat Al-Maidah yang sering diplintir
pengertiannya oleh kaum liberal. Ayat itu sama sekali tidak menegaskan
masuk sorga bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masih dalam agama
mereka ketika sudah mendengar seruan Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. Adapun mereka yang mengikuti nabi mereka masing-masing di
saat agama nabi itu belum diubah dan belum diganti oleh nabi berikutnya,
maka mereka itulah yang dimaksud ayat وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ
يَحْزَنُونَ (٦٢)
yang terjemahnya: mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati (QS Al-Baqarah: 62). Itulah di antara penafsiran dari empat ulama tersebut.
Seandainya para penguji disertasi
Moqsith (selain Dr Salman Harun) masih mau menghargai para ulama tafsir,
maka kemungkinan akan sama pendapatnya dengan Pak Salman Harun. Namun, boro-boro mau
menghargai ulama, kalau sebaliknya, yaitu nabi palsu ya mau lah mereka
untuk menghargainya. Bahkan maqomnya tidak usah sampai sederajat nabi
palsu, cukup pengikut nabi palsu saja sudah menarik hati mereka,
sehingga mereka mau menandatangani bersama pernyataan pengikut nabi
palsu Mirza Ghulam Ahmad, yaitu Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Itulah keblingernya. Ulama ditlikung, sedang nabi palsu dijunjung.
Maka yang dijunjung sekarang pun adalah pembela nabi palsu, yaitu Abd
Moqsith Ghazali. Diluluskan sebagai doctor, masih pula disanjung.
Lembaga ini telah memproduk nabi palsu, dan menamatkan dengan terhormat
pembela nabi palsu pula. Selangkah lagi kalau dia masuk dalam tim
penafsir Al-Qur’an di Departemen Agama atau tingkat nasional, karena dia
doctor di bidang tafsir Al-Qur’an, maka apa yang akan terjadi? Wallahu a’lam. Na’udzubillahi min dzalik.
disampaikan di Masjid Manarul ‘Ilmi ITS Surabaya Februari 2008
Juni 29, 2008bashiroh
http://assunnahsurabaya.wordpress.com/2008/06/29/dedengkot-liberal-pembela-nabi-palsu-meraih-doktor/
Sumber: Buku Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2008, halaman 456-458).
***
“Tragedi Keilmuan di UIN Jakarta”
Tokoh liberal lulus doktor bidang tafsir. ‘Disertasinya banyak “mengakal-akali Al-Quran”, tapi dosen UIN hanya ‘bengong’.
Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-223
Oleh:Adian Husaini
Majalah Gatra edisi 23 Januari 2008 lalu
memuat sebuah berita yang sebenarnya terlalu penting untuk dilewatkan.
Judulnya: “Jembatan Ayat Keras dan Lunak.” Berita itu menceritakan
seputar kontroversi isi disertasi Abd. Moqsith, tokoh Jaringan Islam
Liberal (JIL), di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dengan disertasi yang diuji pada 13 Desember 2007 itu, maka Abd
Moqsith – yang suka menambah namanya menjadi Abd Moqsith Ghazali –
dinyatakan oleh UIN Jakarta telah berhak menyandang gelar Doktor dalam
bidang Ilmu Tafsir Al-Quran.
Disertasi Abd Moqsith yang berjudul,
“Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat Beragama” dibimbing oleh
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A (Dirjen Bimas Islam dan guru besar ilmu
tafsir di UIN Jakarta) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN
Jakarta). Bertindak sebagai penguji adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra
(Ketua Sidang dan juga Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta), Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari
Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Zainun
Kamal dan Prof. Dr. Salman Harun.
Melihat tema yang dibahas dalam
disertasi Abd. Moqsith tersebut, harusnya para ahli tafsir di Indonesia
tertarik untuk menyimaknya. Apalagi kasus ini sudah terangkat di media
massa. Namun, faktanya, respon terhadap disertasi itu sepertinya
dingin-dingin saja. Padahal, ini menyangkut masalah Al-Quran, kalam
Allah, dan penafsirannya.
Menurut Gatra, disertasi ini memadukan
tiga metode; tafsir maudhu’i (tematik),hermeneutika, dan ushul fikih.
Tafsir maudhu’i untuk mengelompokkan kata kunci. Karena tafsir model ini
kerap terjebak mengisolasi teks dan konteks, maka, dilengkapilah dengan
hermeneutika. Motode ini berfungsi menemukan pesan universal ayat
dengan memperhatikan kondisi objektif masyarakat tempat lahirnya ayat.
Karena hermeneutika tak mampu menjangkau analisis dan kalimat dari sudut
gramatika, dilengkapilah dengan ushul fikih. Ushul fikih membantu
mengetahui kedudukan ayat serta bagaimana mesti dipahami
sudut dalalat-nya (penunjukkan makna).
Dalam konklusinya, Moqsith menjembatani
ayat toleran dan intoleran dengan membuat kategori ayat ushul (pokok)
dan fushul (cabang, rinci). Ayat toleran disebut ushul, bersifat dan
berlaku universal. Ayat ushul ini menunjukkan sikap teologis Al Quran.
Sementara itu kelompok ayat intoleran adalah ayat fushul, yang bersifat
situasional. Implementasi ayatfushul, misalnya ayat perang, harus tetap
dengan naungan ayat ushul, misalnya prinsip tiada paksaan beragama. Maka
perang tetap dengan etika, terlarang merusak tempat ibadah, membunuh
kaum perempuan dan memaksa lawan masuk Islam.
“Disertasi ini telah melakukan
terobosan, ” puji Prod Dr. Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN Jakarta yang memimpin sidang ujian terbuka.
“Kekuatan disertasi ini terletak pada
penguasaan yang dalam terhadap khazanah Islam klasik, ” Azyumardi
menambahkan. “Banyak orang bicara toleransi, tapi tak banyak yang punya
sumber bacaan kuat dalam literatur klasik.”
Pembimbing disertasi ini, Prof. Dr.
Nasaruddin Umar, memuji disertasi ini telah mengungkap banyak informasi
baru dalam literatur berbahasa Indonesia, seputar tema relasi
antar-agama. Meski dalam literatur Arab hal itu terhitung barang lama.?
Sementara kritik panjang datang dari Prof. Dr. Salman Harun. Konon baru
kali ini di UIN Jakarta ada penguji yang sampai membuat kritik tertulis
ketika menguji. Salman menyebut Moqsith salah memahami penggalan buku
Nawawi Al-Jawi (1813-1899) tentang bisa tidaknya non-muslim masuk surga.
Moqsith dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir (1300-1373). Menurut
Salman, dua ulama itu berkesimpulan hanya Muslim yang masuk surga. Tapi
Moqsith menyimpulkan, non muslim juga bisa.? Salman khawatir disertasi
ini akan memperkuat tuduhan sebagian kalangan bahwa UIN adalah tempat
kristenisasi.
Demikian petikan berita
Majalah Gatra seputar kontroversi disertasi doktor Abd Moqsith. Di
berbagai media internet, banyak ditemukan puji-pujian terhadap Abd
Moqsith.
Karena ini menyangkut bidang keilmuan
Islam, khususnya bidang Ilmu Tafsir Al-Quran, maka saya pun tertarik
untuk membaca disertasi tersebut. Kita dituntut untuk bersikap adil
dalam menilai segala sesuatu, meskipun dengan orang yang berbeda
pendapat. Jika memang pendapatnya benar, maka harus diterima. Jika
memang keliru, maka perlu diluruskan.
Jika ditelaah, disertasi Abd Moqsith itu
cukup tebal, lebih dari 300 halaman. Referensinya juga cukup kaya.
Bahasanya pun enak di baca, mengalir lancar. Tampak, penulisnya adalah
seorang yang cukup profesional dalam olah kata. Tanpa menafikan sejumlah
kelebihan disertasi ini, jika kita telaah secara mendalam, ditemukan
sejumlah problema yang sangat mendasar, yang seharusnya menjadi
perhatian para pembimbing dan penguji, sebelum disertasi ini diluluskan.
Disebutkan, tujuan penulisan disertasi
ini adalah (1) mengetahui pandangan dan sikap Al-Quran tentang
pluralitas umat beragama, (2) mengetahui tafsir yang diberikan para
ulama terhadap teks-teks yang terkait dengan pluralitas umat beragama,
dan (3) menyusun tafsir ayat-ayat Al-Quran yang lebih relevan dengan
konteks zaman yang semakin plural dari sudut agama, terutama
mengontekstualisasikan ayat-ayat Al-Quran yang secara
literal-skripturalistik berseberangan dengan semangat toleransi dan
penghargaan terhadap umat agama lain.
Dari tujuan ketiga itulah, kita sudah
bisa menangkap maksud penulis disertasi ini. Dalam bahasa mudahnya,
penulis disertasi ini “membuat tafsir baru” atau”merekayasa penafsiran”
ayat-ayat yang dianggapnya “tidak toleran”, “tidak pluralis”, atau
“kurang menghargai agama lain”. Untuk ayat-ayat seperti ini, penulis
berusaha sekuat tenaga, keluar dari makna teksnya, dan mencari-cari
makna lain. Tetapi, untuk ayat-ayat yang dianggapnya pluralis, maka
penulis disertasi ini mati-matian menggunakan metode
tekstual-skripturalistik yang kaku.
Ini bisa dilihat, misalnya, ketika
penulis membahas tentang “Pengakuan dan Keselamatan Umat non-Muslim”,
maka dia sudah membuat asumsi: “Agama yang satu tak membatalkan agama
yang lain, karena setiap agama lahir dalam konteks historis dan
tantangannya sendiri. Walau begitu, semua agama terutama yang berada
dalam rumpun tradisi abrahamik mengarah pada tujuan yang sama, yakni
kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Dengan memperhatikan
kesamaan tujuan ini, perbedaan eksoterik agama-agama mestinya tak perlu
dirisaukan.” (hal. 189).
Penulis liberal ini lalu mengutip
sejumlah ayat Al-Quran yang dikatakannya merupakan bukti pengakuan
Al-Quran terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam,
seperti QS 5:44, 46-47, dan 66. Lalu, dia membuat kesimpulan sendiri:
“Ayat tersebut memberikan pengakuan
terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci
masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan, sekiranya
mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik.
Dengan demikian, jelas bahwa Islam tak memaksa agar mereka menjadikan
Al-Quran sebagai rujukan kaum Yahudi dan Nashrani. Inilah bentuk
pengakuan terbuka dari Islam terhadap agama lain. Bagi umat Islam,
percaya terhadap kitab-kitab Allah menjadi bagian dari enam rukun iman
dalam Islam. Sekurangnya, umat Islam mengimani empat kitab Allah, yaitu
Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Quran.” (hal. 191).
Kita sebenarnya geli membaca kesimpulan
penulis disertasi ini. Terlalu mudah untuk melihat kelemahan kesimpulan
tersebut. Al-Quran memang memerintahkan umat Islam beriman kepada
kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Allah. Tetapi,
Al-Quran juga menjelaskan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah
mengubah-ubah (melakukan tahrif) kitab mereka sendiri.
Misalnya, QS 2:75 menyebutkan: “Apakah
kamu masih mengharapkan mereka beriman kepadamu, padahal segolongan dari
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui.” Juga, disebutkan dalam QS 2:79:
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab
dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah,”
(dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan
perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat yang ditulis
oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat
dari apa yang mereka kerjakan.”
Karena itulah, jelas umat Islam saat ini
tidak diwajibkan untuk beriman kepada Bibel Yahudi, Talmud, atau Bibel
Kristen. Sebab, dalam pandangan Al-Quran, kitab-kitab suci para Nabi itu
sudah diubah-ubah oleh sebagian pengikutnya, sehingga bercampur aduk
antara yang asli dengan yang tambahan. Mestinya, penulis disertasi ini
dengan jujur mengungkap ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dan mestinya pula,
para profesor UIN yang menguji disertasi itu juga melihat kekeliruan
yang sangat mendasar ini.
Tapi, karena sejak awal, disertasi ini
ditulis untuk “mengakal-akali Al-Quran” agar sesuai dengan
asumsi-asumsinya, maka fakta-fakta semacam ini bisa dijumpai di banyak
bagian lainnya. Misalnya, asumsi penulis yang menyatakan: “secara
eksplisit Al-Quran menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani,
Sabi’in, dan lain-lain – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah,
percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah
disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal
atas keimanan dan segala jerih payahnya.” (hal. 192).
Dalam beberapa kali catatan, kita sudah
membahas makna QS 2:62 dan 5:69, dan bagaimana kaum Pluralis berusaha
memanipulasi makna ayat ini. Termasuk bagaimana mereka memanipulasi
pendapat para ulama, terutama Tafsir al-Manar. Dalam disertasinya ini,
penulis lebih vulgar lagi dalam membuat kesimpulan, dengan berpegang
kepada bunyi teks ayat itu dan menafikan penafsiran para ulama. Katanya:
“Jika diperhatikan dengan seksama, maka
jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani,
dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti
bunyi harafiah ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dalam
keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal shaleh – sekalipun tak
beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari
Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah
beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan
ungkapan Al-Quran. Muhammad Rasyid Ridla berkata, tak ada persyaratan
bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi
Muhammad.” (hal. 194-195).
Membaca kesimpulan penulis liberal ini
pun kita dibuat geli dan sekaligus prihatin. Biasanya kaum liberal
selalu menyebut kaum fundamentalis sebagai kaum tekstualis, literalis,
skripturalis, dan sebagainya. Tapi, ketika mereka bertemu dengan ayat
Al-Quran yang mendukung pendapat mereka, ternyata mereka pun berpegang
pada metode literalis. Cara ini mengingatkan kita pada cara
negara-negara tertentu yang rajin meneriakkan demokrasi. Tapi, ketika
demokrasi menghasilkan penguasa yang tidak sejalan dengan politik
mereka, maka mereka pun menolak demokrasi dan mendukung kediktatoran.
Jika ditelaah dengan seksama pendapat
Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, maka akan kita temukan, bahwa QS
2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang risalah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak sampai kepada mereka.
Karena itu, mereka tidak diwajibkan beriman kepada Nabi Muhammad saw.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka,
menurut Rasyid Ridla, maka sesuai QS 3:199, ada lima syarat untuk
keselamatan mereka. Diantaranya, (1) beriman kepada Allah dengan iman
yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan
disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2)
beriman kepada Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.
Sayang sekali, sebagaimana perilaku
sejumlah kaum Pluralis Agama, penulis disertasi ini pun tidak benar dan
tidak fair dalam mengutip pendapat-pendapat Rasyid Ridla. Padahal, dalam
soal ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah menegaskan:
“Demi Allah, yang diriku ada dalam
genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seorangpun dari
ummat sekarang ini, baik Yahud, maupun Nasrani, kemudian mereka tidak
mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.” (HR
Muslim).
Karena itu, sejalan dengan Prof. Salman
Harun, saya juga keheranan, bagaimana mungkin para Profesor pembimbing
dan penguji disertasi ini sampai melewatkan kekeliruan-kekeliruan yang
sangat mendasar semacam ini. Masih banyak sekali data, metodologi, dan
analisa yang perlu dipertanyakan dalam disertasi ini. Ada beberapa
kemungkinan mengapa para penguji meloloskan disertasi ini: mungkin
mereka tidak membaca dengan cermat; mungkin mereka tidak paham; atau
mungkin mereka memang setuju dengan penulisnya. Wallahu A’lam.
Yang jelas, menurut saya, kasus
disertasi ini merupakan suatu “Tragedi Keilmuan” di UIN Jakarta. Apa
yang bathil, sesat, dan keliru, dilegitimasi oleh sejumlah guru besar
bidang agama. Lebih merupakan tragedi dan musibah lagi bagi umat ini,
jika para doktor dan pakar-pakar Al-Quran yang berjubel di UIN Jakarta
hanya berdiam diri dan “bengong saja” menghadapi kasus semacam ini.
Tapi, apa pun, kita patut mengucapkan
selamat dan salut atas usaha Abd Moqsith sampai meraih gelar Doktor
bidang Ilmu Tafsir. Anak yang cerdas ini telah mencapai prestasi yang
tidak kecil. Dia telah bekerja keras menghasilkan sebuah disertasi
doktor, apa pun kondisinya.
Bagi kita, ini adalah pelajaran yang
berharga: bahwa untuk menyesatkan manusia pun perlu kerja keras dan
sungguh-sungguh. Kini, kita menunggu dari kalangan cendekiawan Muslim
untuk membuat karya-karya ilmiah yang benar dan jauh lebih baik dari apa
yang telah dihasilkan Abd Moqsith dan tokoh-tokoh liberal lainnya. Wa
jaadilhum billati hiya ahsan.
Kita wajib melakukan upaya yang
sungguh-sungguh dalam menyikapi setiap penyimpangan dan kemunkaran ilmu.
Tapi, kita tidak perlu risau. Kita sekedar menjalankan kewajiban amar
ma’ruf nahi munkar. Sebab, Al-Quran adalah wahyu Allah SWT. Al-Quran
adalah milik Allah. Dan kita yakin, Allah punya cara sendiri untuk
bertindak menjaga dan membuat perhitungan terhadap orang-orang yang
berusaha merusak Kitab-Nya. [Depok, 1 Februari 2008/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
(nahimunkar.com)
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda