Breaking News
Loading...
Kamis, 14 November 2013

Info Post
Oleh Hartono Ahmad Jaiz
  • UIN Jakarta telah memproduk nabi palsu, dan menamatkan dengan terhormat pembela nabi palsu pula. Selangkah lagi kalau dia masuk dalam tim penafsir Al-Qur’an di Departemen Agama (kini Kementerian Agama) atau tingkat nasional, karena dia doctor di bidang tafsir Al-Qur’an, maka apa yang akan terjadi?

  • Dedengkot Liberal Pembela Nabi Palsu Meraih Doktor dengan Menuduh Al-Qur’an Ada Kontradiksi

  • Itulah keblingernya. Ulama ditlikung, sedang nabi palsu dijunjung.

Abd. Moqsith Ghazali pendukung Nabi palsu Ahmad Moshaddeq dari kalangan JIL (Jaringan Islam Liberal) berhasil meraih gelar Doktor Bidang Tafsir dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (13/12/2007) malam, dengan predikat memuaskan (cumlaude). Disertasinya berjudul Pluralitas Umat Beragama dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat Pluralis dan Tidak Pluralis.

Para penguji terdiri dari Prof. Dr. Azyumardi Azra (Penguji dan Ketua Sidang), Prof. Dr. Salman Harun, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara dan DR. Zainun Kamal.

Di antara para pengujinya ada seorang penguji, Dr Salman Harun yang termasuk Tim Penafsir Al-Qur’an, menanggapi keras disertasi Moqsith secara tertulis, dan menilai Moqsith sebagai salah faham dan tidak utuh dalam mengutip Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Munir karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Sehingga disertasi Moqsith bertentangan dengan tafsir-tafsir yang dikutipnya itu. Menurut Salman, dua ulama itu (Imam Ibnu Katsir dan Imam Nawawi Al-Bantani) berkesimpulan hanya Muslim yang masuk surga. Tapi Moqsith menyimpulkan, non muslim juga bisa. Makanya Dr Salman Harun berkomentar: Disertasi Begini kok Lulus”.

Di samping itu Moqsith menganggap, bahwa di dalam al-Qur’an ada kontradiksi (ta’arudl) antara ayat yang mendukung pluralisme dan yang menolaknya. Dia kemukakan contoh sekenanya bahwa ada ayat berbunyi la ikraha fi al-din (tidak ada paksaan dalam beragama), di samping ada juga ayat faqtulu al-musyrikin (bunuhlah orang-orang musyrik).


Tuduhan itu terlalu berani.

Seandainya Moqsith mau menyimak dua ayat berikut ini saja, kalau dia konsekuen, maka mungkin dia tidak akan menyatakan bahwa di dalam al-Qur’an ada kontradiksi (ta’arudl).

{لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَوَدَّةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ} [المائدة: 82]

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami Ini orang Nasrani”. yang demikian itu disebabkan Karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) Karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.” (QS Al-Maaidah: 82).

{ قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ} [التوبة: 29]

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah: 29).

[638] Jizyah ialah pajak per kepala yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang yang bukan Islam, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka.
Di ayat itu tidak ada pemaksaan pula untuk masuk agama Islam. Mereka bisa memilih, membayar jizyah sebagai imbangan keamanan diri mereka atau mau masuk Islam, terserah saja.

Terserah Moqsith mau percaya atau tidak, tetapi yang jelas, ungkapan Moqsith itu sudah menentang terang-terangan terhadap ayat dan hadits berikut ini:

{ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا} [النساء: 82]

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisaa’: 82).


Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: “Aku pernah duduk bersama saudaraku dalam sebuah majelis yang lebih aku sukai daripada memiliki unta-unta yang merah. Ketika aku dan saudaraku berjalan, tiba-tiba kami temukan orang-orang yang sudah tua dari kalangan sahabat Nabi berada di depan salah satu pintu dari pintu-pintu (rumah) Nabi. Kami tidak ingin merusak majelis mereka. Maka kami pun duduk di bagian belakang. Ternyata mereka sedang membicarakan sebuah ayat dalam Al-Qur’an. Mereka berselisih pendapat tentangnya, sehingga mengeraslah suara-suara mereka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampun keluar dalam keadaan marah, hingga wajahnya memerah. Beliau melempar mereka dengan tanah, lalu berkata:

مَهْلاً يَا قَوْمِ ، بِهَذَا أُهْلِكَتِ الأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ ، بِاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ ، وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ ، إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضًا ، بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا ، فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ ، فَاعْمَلُوا بِهِ ، وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ ، فَرُدُّوهُ إِلَى عَالِمِهِ.

 Tahanlah wahai kaumku! Sesungguhnya karena hal yang seperti inilah umat-umat sebelum kalian binasa. Mereka menyelisihi nabi-nabi mereka dan mempertentangkan sebagian (isi) kitab dengan sebagian yang lainnya. Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan tidak saling mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya. Namun justru saling membenarkan antara sebagiannya dengan sebagian yang lainnya. Apa yang kalian ketahui darinya, maka amalkanlah. Dan apa yang tidak kalian ketahui, maka kembalikanlah kepada orang yang mengetahuinya. (HR Ahmad II/181, shahih: dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth no. 6702).

Jelaslah. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan tidak saling mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya. Namun justru saling membenarkan antara sebagiannya dengan sebagian yang lainnya.
Dalam disertasi Moqsith, menunjukkan, bahwa di dalam al-Qur’an ada kontradiksi (ta’arudl) antara ayat yang mendukung pluralisme dan yang menolaknya.

Kalau para penguji (selain satu orang yang mengkritik Moqsith tentu saja) masih percaya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mestinya menolak disertasi Moqsith itu. Namun anehnya, Azyumardi Azra (penguji, yang dalam kasus nabi palsu, dia dikenal sebagai salah satu penanda tangan penjelasan pengikut nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad yaitu JAI –Jemaat Ahmadiyah Indonesia) dan juga Nasaruddin Umar selaku pembimbing (yang juga penandatangan penjelasan pengikut nabi palsu, JAI), memuji-muji disertasi tokoh liberal yang jelas-jelas menentang ayat Allah dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.

Perlu diketahui, menurut situs wahidinstitut, Moqsith ini disebut pemikir muda Nahdlatul Ulama dan peneliti the WAHID Institute yang didirikan oleh Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang dikenal sering melontarkan pemikiran nyeleneh/ aneh.
Kaitan dengan nabi palsu
Dalam kasus munculnya nabi palsu Ahmad Moshaddeq di Jakarta 2007, Moqsith adalah tokoh pembelanya, bersama orang liberal lainnya. Nabi palsu itu sendiri difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia, Ramadhan 1428H/ Oktober 2007M, sebagai kafir, dan agar ditindak oleh pemerintah dengan sesuai aturan yang ada.

Kenapa ada orang yang berani terang-terangan mengaku sebagai nabi? Secara kenyataan, bisa disimak bahwa sebenarnya ada factor penunjang, yaitu maraknya orang liberal warisan Nurcholish Madjid, Harun Nasution, dan dukungan Abdurrahman Wahid, Ahmad Syafii Maarif serta Dawam Rahardjo yang diawaki Ulil Abshar Abdalla, Abd Moqsith Ghazali dan lainnya yang berfaham semua agama sama (pluralisme agama) di mana-mana, bahkan didukung terang-terangan lewat media massa.

Meskipun demikian, ada juga factor penghalangnya, yaitu masih banyaknya ulama, tokoh Islam dan umat Islam yang peduli pada agamanya. Maka akibatnya, nabi palsu ini ajarannya dilarang beredar oleh kejaksaan Negeri Jakarta untuk wilayah Jakarta, sejak 29 Oktober 2007M. Para pentolannya ditangkap polisi untuk diproses. Kemudian dilarang secara Nasional di seluruh wilayah Indonesia oleh Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Kejaksaan Agung, November 2007. Ahmad Moshaddeq sang nabi palsu pun mendekam dalam tahanan untuk diproses ke pengadilan.

Lantaran dilarang itu maka ada pihak-pihak yang tidak rela dengan larangan itu, di antaranya Abd Moqsith Ghazali orang UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta, pentolan JIL (Jaringan Islam Liberal) lewat Metro TV 29 Oktober 2007 dan teman-temannya dari kelompok liberal lewat aneka sarana. Kelompok sesat dan membela kesesatan ini dijuluki dengan sarkasme, sepilis (sekulerisme, pluralisme agama –menyamakan semua agama— dan liberalisme).


Pelajaran dari kasus ini

1. MUI kecolongan karena melaksanakan dialog dengan JIL (Jaringan Islam Liberal, yang diawaki Moqsith Ghazali) dan pentolan Al-Qiyadah (tidak hadir) di Metro Tivi Senin malam 29 Oktober 2007M. Kehadiran MUI itu sama dengan mendudukkan JIL yang sudah difatwakan MUI 2005 bahwa faham liberalisme, pluralisme agama dan sekulerisme itu bertentangan dengan Islam, dan umat Islam haram mengikutinya; namun justru MUI mau duduk sejajar dengan JIL. Berarti JIL sejajar dengan MUI. Dan kalau pentolan nabi palsu hadir dalam dialog di televisi itu justru posisi MUI jadi minoritas, yaitu satu pihak dilawan oleh 2 pihak yang sesat. Kenyataannya Al-Qur’an pun ditolak hukumnya secara terang-terangan oleh Moqsith dalam dialog itu. Jadi MUI atau siapapun yang muslim sebenarnya haram hukumnya duduk bicara dengan orang model Moqsith dari JIL yang bicara menolak hukum Al-Qur’an terang-terangan itu.

{وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا} [النساء: 140]

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,” (QS An-Nisaa’: 140).

2. Satu sisi JIL sementara menang, bisa seakan sejajar dengan MUI, padahal JIL jelas telah difatwakan oleh Munas MUI ketujuh, tahun 2005, bahwa fahamnya bertentangan dengan Islam. Namun ketika JIL jelas-jelas membela nabi palsu, sedangkan dia sendiri (Moqsith dari JIL) mengaku bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu nabi terakhir, maka masyarakat mendapatkan minimal tiga pelajaran:

a. Moqsith pentolan JIL itu cara berfikirnya kurang waras, karena dia sendiri mengaku bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam nabi terakhir tetapi dia tetap membela nabi palsu.

b. Makin jelas bahwa Moqsith bersama JIL dan sepadannya yang berfaham sepilis (sekulerisme, pluralisme agama, dan liberalisme) itu adalah penentang-penentang Islam yang terang-terangan, sampai yang sudah jelas musuh Islam berupa nabi palsu yang hukumannya hukum bunuh saja masih dibela. Berarti JIL mendudukkan diri sebagai musuh Islam secara nyata dan dipertontonkan kepada umat Islam secara terbuka.

c. Nabi palsunya sendiri, Ahmad Moshaddeq mengaku sudah bertaubat, 9 November 2007M. Tetapi para pendukungnya dari JIL dan liberal-liberal lainnya tetap “berjuang” mendukung kepalsuannya. Sehingga dalam kasus Ahmadiyah alias pengikut nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad, ternyata muncul tokoh-tokoh yang “melegalkan” Ahmadiyah bahkan menandatangani penjelasan JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) yang dikenal dengan 12 butir penjelasan JAI, yang menurut MUI tetaplah Ahmadiyah itu sesat karena penjelasannya itu tak menafikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tokoh-tokoh liberal pendukung Ahmadiyah itu di antaranya Atho Muzhar (Kepala Badan Litbang Departemen Agama), Nasaruddin Umar Dirjen Bimas Islam Depag, Azyumardi Azra bekas rector IAIN Jakarta dan lainnya. Dengan kasus ini maka lebih jelas lagi bagi umat bahwa kelompok liberal (baik yang jualan di luaran atau kaki lima seperti Ulil Abshar Abdalla, Moqsith Ghazali dkk maupun yang di dalam lembaga structural – seperti Depag –ketika naskah ini ditulis masih berfnama Depag, kini Kemenag–, IAIN-IAIN dan lain-lain) di samping mereka itu sesat memang selaku pembela kesesatan nomor wahid. Allah Subhanahu wa Ta’alatelah menampakkan cela mereka (mengaku Muslim namun terang-terangan membela nabi palsu dan pengikut nabi palsu) walau mereka dalam keadaan mendekam di dalam sarang mereka. Sebagaimana dalam Al-Qur’an ada pula orang yang sangat memusuhi Islam, Al-Walid bin Al-Mughirah, yang kemudian terbunuh di Perang Badr dengan hidung terpotong. Sebelumnya, dia telah ditampakkan celanya oleh Allah swt:

{سَنَسِمُهُ عَلَى الْخُرْطُومِ} [القلم: 16]

“Kelak akan kami beri tanda dia di belalai(nya)” [1491]. (QS Al-Qalam: 16)
[1491] yang dimaksud dengan belalai di sini ialah hidung. dipakai kata belalai di sini sebagai penghinaan.


UIN Jakarta memproduk nabi palsu dan pembelanya

Dari kenyataan ini, sudah jelas kerusakannya. Bahkan kalau ditengok lebih jauh ternyata lembaga yang dibincang ini telah memproduk nabi palsu pula, bahkan mengaku sebagai reinkarnasi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Abdurrahman, alumni Ushuluddin IAIN Jakarta 1997 yang mengabdi kepada Lia Aminuddin (belakangan sebutannya Lia Eden) sejak 1996. Kini nabi palsu itu masuk penjara atas vonis Mahkamah Agung 3 tahun penjara. Sebaliknya pembela nabi palsu justru meraih gelar doctor, walau disertasinya menuduh-nuduh Al-Qur’an sebagai ada kontradiksi, ditambah dengan menggelapkan atau bahasa kasarnya memutar balikkan ulama tafsir sekaliber Imam Ibnu Katsir.

Dalam buku Bunga Rampai Penyimpangan Agama di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2007, telah saya (Hartono Ahmad Jaiz) kemukakan 4 tafsir (Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Taimiyyah, penafsiran Imam As-Syathibi, dan Imam As-Sa’di) dalam menafsirkan ayat 62 Surat Al-Baqarah dan ayat 69 Surat Al-Maidah yang sering diplintir pengertiannya oleh kaum liberal. Ayat itu sama sekali tidak menegaskan masuk sorga bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masih dalam agama mereka ketika sudah mendengar seruan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Adapun mereka yang mengikuti nabi mereka masing-masing di saat agama nabi itu belum diubah dan belum diganti oleh nabi berikutnya, maka mereka itulah yang dimaksud ayat  وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٦٢)

 yang terjemahnya: mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati (QS Al-Baqarah: 62). Itulah di antara penafsiran dari empat ulama tersebut.

Seandainya para penguji disertasi Moqsith (selain Dr Salman Harun) masih mau menghargai para ulama tafsir, maka kemungkinan akan sama pendapatnya dengan Pak Salman Harun. Namun, boro-boro mau menghargai ulama, kalau sebaliknya, yaitu nabi palsu ya mau lah mereka untuk menghargainya. Bahkan maqomnya tidak usah sampai sederajat nabi palsu, cukup pengikut nabi palsu saja sudah menarik hati mereka, sehingga mereka mau menandatangani bersama pernyataan pengikut nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad, yaitu Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Itulah keblingernya. Ulama ditlikung, sedang nabi palsu dijunjung. Maka yang dijunjung sekarang pun adalah pembela nabi palsu, yaitu Abd Moqsith Ghazali. Diluluskan sebagai doctor, masih pula disanjung. Lembaga ini telah memproduk nabi palsu, dan menamatkan dengan terhormat pembela nabi palsu pula. Selangkah lagi kalau dia masuk dalam tim penafsir Al-Qur’an di Departemen Agama atau tingkat nasional, karena dia doctor di bidang tafsir Al-Qur’an, maka apa yang akan terjadi? Wallahu a’lam. Na’udzubillahi min dzalik.

disampaikan di Masjid Manarul ‘Ilmi ITS Surabaya Februari 2008
Juni 29, 2008bashiroh


Sumber: Buku Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2008, halaman 456-458).
***

“Tragedi Keilmuan di UIN Jakarta” 

Tokoh liberal lulus doktor bidang tafsir. ‘Disertasinya banyak “mengakal-akali Al-Quran”, tapi dosen UIN hanya ‘bengong’.
Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-223
Oleh:Adian Husaini

Majalah Gatra edisi 23 Januari 2008 lalu memuat sebuah berita yang sebenarnya terlalu penting untuk dilewatkan. Judulnya: “Jembatan Ayat Keras dan Lunak.” Berita itu menceritakan seputar kontroversi isi disertasi Abd. Moqsith, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan disertasi yang diuji pada 13 Desember 2007 itu, maka Abd Moqsith – yang suka menambah namanya menjadi Abd Moqsith Ghazali – dinyatakan oleh UIN Jakarta telah berhak menyandang gelar Doktor dalam bidang Ilmu Tafsir Al-Quran.

Disertasi Abd Moqsith yang berjudul, “Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat Beragama” dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A (Dirjen Bimas Islam dan guru besar ilmu tafsir di UIN Jakarta) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta). Bertindak sebagai penguji adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra (Ketua Sidang dan juga Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Zainun Kamal dan Prof. Dr. Salman Harun.

Melihat tema yang dibahas dalam disertasi Abd. Moqsith tersebut, harusnya para ahli tafsir di Indonesia tertarik untuk menyimaknya. Apalagi kasus ini sudah terangkat di media massa. Namun, faktanya, respon terhadap disertasi itu sepertinya dingin-dingin saja. Padahal, ini menyangkut masalah Al-Quran, kalam Allah, dan penafsirannya.

Menurut Gatra, disertasi ini memadukan tiga metode; tafsir maudhu’i (tematik),hermeneutika, dan ushul fikih. Tafsir maudhu’i untuk mengelompokkan kata kunci. Karena tafsir model ini kerap terjebak mengisolasi teks dan konteks, maka, dilengkapilah dengan hermeneutika. Motode ini berfungsi menemukan pesan universal ayat dengan memperhatikan kondisi objektif masyarakat tempat lahirnya ayat. Karena hermeneutika tak mampu menjangkau analisis dan kalimat dari sudut gramatika, dilengkapilah dengan ushul fikih. Ushul fikih membantu mengetahui kedudukan ayat serta bagaimana mesti dipahami sudut dalalat-nya (penunjukkan makna).

Dalam konklusinya, Moqsith menjembatani ayat toleran dan intoleran dengan membuat kategori ayat ushul (pokok) dan fushul (cabang, rinci). Ayat toleran disebut ushul, bersifat dan berlaku universal. Ayat ushul ini menunjukkan sikap teologis Al Quran. Sementara itu kelompok ayat intoleran adalah ayat fushul, yang bersifat situasional. Implementasi ayatfushul, misalnya ayat perang, harus tetap dengan naungan ayat ushul, misalnya prinsip tiada paksaan beragama. Maka perang tetap dengan etika, terlarang merusak tempat ibadah, membunuh kaum perempuan dan memaksa lawan masuk Islam.
“Disertasi ini telah melakukan terobosan, ” puji Prod Dr. Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang memimpin sidang ujian terbuka.

“Kekuatan disertasi ini terletak pada penguasaan yang dalam terhadap khazanah Islam klasik, ” Azyumardi menambahkan. “Banyak orang bicara toleransi, tapi tak banyak yang punya sumber bacaan kuat dalam literatur klasik.”

Pembimbing disertasi ini, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, memuji disertasi ini telah mengungkap banyak informasi baru dalam literatur berbahasa Indonesia, seputar tema relasi antar-agama. Meski dalam literatur Arab hal itu terhitung barang lama.? Sementara kritik panjang datang dari Prof. Dr. Salman Harun. Konon baru kali ini di UIN Jakarta ada penguji yang sampai membuat kritik tertulis ketika menguji. Salman menyebut Moqsith salah memahami penggalan buku Nawawi Al-Jawi (1813-1899) tentang bisa tidaknya non-muslim masuk surga. Moqsith dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir (1300-1373). Menurut Salman, dua ulama itu berkesimpulan hanya Muslim yang masuk surga. Tapi Moqsith menyimpulkan, non muslim juga bisa.? Salman khawatir disertasi ini akan memperkuat tuduhan sebagian kalangan bahwa UIN adalah tempat kristenisasi.

Demikian petikan berita Majalah Gatra seputar kontroversi disertasi doktor Abd Moqsith. Di berbagai media internet, banyak ditemukan puji-pujian terhadap Abd Moqsith.

Karena ini menyangkut bidang keilmuan Islam, khususnya bidang Ilmu Tafsir Al-Quran, maka saya pun tertarik untuk membaca disertasi tersebut. Kita dituntut untuk bersikap adil dalam menilai segala sesuatu, meskipun dengan orang yang berbeda pendapat. Jika memang pendapatnya benar, maka harus diterima. Jika memang keliru, maka perlu diluruskan.

Jika ditelaah, disertasi Abd Moqsith itu cukup tebal, lebih dari 300 halaman. Referensinya juga cukup kaya. Bahasanya pun enak di baca, mengalir lancar. Tampak, penulisnya adalah seorang yang cukup profesional dalam olah kata. Tanpa menafikan sejumlah kelebihan disertasi ini, jika kita telaah secara mendalam, ditemukan sejumlah problema yang sangat mendasar, yang seharusnya menjadi perhatian para pembimbing dan penguji, sebelum disertasi ini diluluskan.

Disebutkan, tujuan penulisan disertasi ini adalah (1) mengetahui pandangan dan sikap Al-Quran tentang pluralitas umat beragama, (2) mengetahui tafsir yang diberikan para ulama terhadap teks-teks yang terkait dengan pluralitas umat beragama, dan (3) menyusun tafsir ayat-ayat Al-Quran yang lebih relevan dengan konteks zaman yang semakin plural dari sudut agama, terutama mengontekstualisasikan ayat-ayat Al-Quran yang secara literal-skripturalistik berseberangan dengan semangat toleransi dan penghargaan terhadap umat agama lain.

Dari tujuan ketiga itulah, kita sudah bisa menangkap maksud penulis disertasi ini. Dalam bahasa mudahnya, penulis disertasi ini “membuat tafsir baru” atau”merekayasa penafsiran” ayat-ayat yang dianggapnya “tidak toleran”, “tidak pluralis”, atau “kurang menghargai agama lain”. Untuk ayat-ayat seperti ini, penulis berusaha sekuat tenaga, keluar dari makna teksnya, dan mencari-cari makna lain. Tetapi, untuk ayat-ayat yang dianggapnya pluralis, maka penulis disertasi ini mati-matian menggunakan metode tekstual-skripturalistik yang kaku.

Ini bisa dilihat, misalnya, ketika penulis membahas tentang “Pengakuan dan Keselamatan Umat non-Muslim”, maka dia sudah membuat asumsi: “Agama yang satu tak membatalkan agama yang lain, karena setiap agama lahir dalam konteks historis dan tantangannya sendiri. Walau begitu, semua agama terutama yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik mengarah pada tujuan yang sama, yakni kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Dengan memperhatikan kesamaan tujuan ini, perbedaan eksoterik agama-agama mestinya tak perlu dirisaukan.” (hal. 189).

Penulis liberal ini lalu mengutip sejumlah ayat Al-Quran yang dikatakannya merupakan bukti pengakuan Al-Quran terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam, seperti QS 5:44, 46-47, dan 66. Lalu, dia membuat kesimpulan sendiri:

“Ayat tersebut memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan, sekiranya mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik. Dengan demikian, jelas bahwa Islam tak memaksa agar mereka menjadikan Al-Quran sebagai rujukan kaum Yahudi dan Nashrani. Inilah bentuk pengakuan terbuka dari Islam terhadap agama lain. Bagi umat Islam, percaya terhadap kitab-kitab Allah menjadi bagian dari enam rukun iman dalam Islam. Sekurangnya, umat Islam mengimani empat kitab Allah, yaitu Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Quran.” (hal. 191).

Kita sebenarnya geli membaca kesimpulan penulis disertasi ini. Terlalu mudah untuk melihat kelemahan kesimpulan tersebut. Al-Quran memang memerintahkan umat Islam beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Allah. Tetapi, Al-Quran juga menjelaskan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah mengubah-ubah (melakukan tahrif) kitab mereka sendiri.

Misalnya, QS 2:75 menyebutkan: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka beriman kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.” Juga, disebutkan dalam QS 2:79: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.”

Karena itulah, jelas umat Islam saat ini tidak diwajibkan untuk beriman kepada Bibel Yahudi, Talmud, atau Bibel Kristen. Sebab, dalam pandangan Al-Quran, kitab-kitab suci para Nabi itu sudah diubah-ubah oleh sebagian pengikutnya, sehingga bercampur aduk antara yang asli dengan yang tambahan. Mestinya, penulis disertasi ini dengan jujur mengungkap ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dan mestinya pula, para profesor UIN yang menguji disertasi itu juga melihat kekeliruan yang sangat mendasar ini.

Tapi, karena sejak awal, disertasi ini ditulis untuk “mengakal-akali Al-Quran” agar sesuai dengan asumsi-asumsinya, maka fakta-fakta semacam ini bisa dijumpai di banyak bagian lainnya. Misalnya, asumsi penulis yang menyatakan: “secara eksplisit Al-Quran menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani, Sabi’in, dan lain-lain – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan segala jerih payahnya.” (hal. 192).

Dalam beberapa kali catatan, kita sudah membahas makna QS 2:62 dan 5:69, dan bagaimana kaum Pluralis berusaha memanipulasi makna ayat ini. Termasuk bagaimana mereka memanipulasi pendapat para ulama, terutama Tafsir al-Manar. Dalam disertasinya ini, penulis lebih vulgar lagi dalam membuat kesimpulan, dengan berpegang kepada bunyi teks ayat itu dan menafikan penafsiran para ulama. Katanya:

“Jika diperhatikan dengan seksama, maka jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti bunyi harafiah ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dalam keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal shaleh – sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan Al-Quran. Muhammad Rasyid Ridla berkata, tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi Muhammad.” (hal. 194-195).

Membaca kesimpulan penulis liberal ini pun kita dibuat geli dan sekaligus prihatin. Biasanya kaum liberal selalu menyebut kaum fundamentalis sebagai kaum tekstualis, literalis, skripturalis, dan sebagainya. Tapi, ketika mereka bertemu dengan ayat Al-Quran yang mendukung pendapat mereka, ternyata mereka pun berpegang pada metode literalis. Cara ini mengingatkan kita pada cara negara-negara tertentu yang rajin meneriakkan demokrasi. Tapi, ketika demokrasi menghasilkan penguasa yang tidak sejalan dengan politik mereka, maka mereka pun menolak demokrasi dan mendukung kediktatoran.

Jika ditelaah dengan seksama pendapat Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, maka akan kita temukan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak sampai kepada mereka. Karena itu, mereka tidak diwajibkan beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka, menurut Rasyid Ridla, maka sesuai QS 3:199, ada lima syarat untuk keselamatan mereka. Diantaranya, (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.

Sayang sekali, sebagaimana perilaku sejumlah kaum Pluralis Agama, penulis disertasi ini pun tidak benar dan tidak fair dalam mengutip pendapat-pendapat Rasyid Ridla. Padahal, dalam soal ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah menegaskan:

“Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seorangpun dari ummat sekarang ini, baik Yahud, maupun Nasrani, kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.” (HR Muslim).

Karena itu, sejalan dengan Prof. Salman Harun, saya juga keheranan, bagaimana mungkin para Profesor pembimbing dan penguji disertasi ini sampai melewatkan kekeliruan-kekeliruan yang sangat mendasar semacam ini. Masih banyak sekali data, metodologi, dan analisa yang perlu dipertanyakan dalam disertasi ini. Ada beberapa kemungkinan mengapa para penguji meloloskan disertasi ini: mungkin mereka tidak membaca dengan cermat; mungkin mereka tidak paham; atau mungkin mereka memang setuju dengan penulisnya. Wallahu A’lam.

Yang jelas, menurut saya, kasus disertasi ini merupakan suatu “Tragedi Keilmuan” di UIN Jakarta. Apa yang bathil, sesat, dan keliru, dilegitimasi oleh sejumlah guru besar bidang agama. Lebih merupakan tragedi dan musibah lagi bagi umat ini, jika para doktor dan pakar-pakar Al-Quran yang berjubel di UIN Jakarta hanya berdiam diri dan “bengong saja” menghadapi kasus semacam ini.

Tapi, apa pun, kita patut mengucapkan selamat dan salut atas usaha Abd Moqsith sampai meraih gelar Doktor bidang Ilmu Tafsir. Anak yang cerdas ini telah mencapai prestasi yang tidak kecil. Dia telah bekerja keras menghasilkan sebuah disertasi doktor, apa pun kondisinya.

Bagi kita, ini adalah pelajaran yang berharga: bahwa untuk menyesatkan manusia pun perlu kerja keras dan sungguh-sungguh. Kini, kita menunggu dari kalangan cendekiawan Muslim untuk membuat karya-karya ilmiah yang benar dan jauh lebih baik dari apa yang telah dihasilkan Abd Moqsith dan tokoh-tokoh liberal lainnya. Wa jaadilhum billati hiya ahsan.

Kita wajib melakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam menyikapi setiap penyimpangan dan kemunkaran ilmu. Tapi, kita tidak perlu risau. Kita sekedar menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, Al-Quran adalah wahyu Allah SWT. Al-Quran adalah milik Allah. Dan kita yakin, Allah punya cara sendiri untuk bertindak menjaga dan membuat perhitungan terhadap orang-orang yang berusaha merusak Kitab-Nya. [Depok, 1 Februari 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

(nahimunkar.com)
---
Komentar anda

0 komentar:

Posting Komentar

PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda