Metro TV yang selama ini sangat rajin membombardir pemerintah
dengan mengangkat berbagai isu yang dianggap miring, kali ini tersandung
oleh masalah internal. Metro TV akan dilaporkan oleh Poros Wartawan
Jakarta (PWJ) ke Pengadilan Hubungan Industrial terkait kasus yang
dilakukan terhadap karyawannya.
Luviana, Asisten Produser Metro TV yang juga anggota AJI Jakarta, sudah
bekerja kurang lebih 9 tahun namun saat ini di non-jobkan dari redaksi
Metro TV. Ia di non-jobkan setelah sebelumnya mendapat perilaku
subjektif dari manajemen karena selama 8 bulan menuntut perbaikan
kesejahteraan karyawan, merencanakan pembentukan serikat pekerja,
menuntut sistem penilaian kerja yang objektif, dan meminta adanya
perbaikan program siaran yang sensitif gender dan HAM.
Luviana saat ini dirotasi ke bagian HRD yang sangat jauh dari bidangnya
sebagai seorang jurnalis. “Saya menuntut untuk dipekerjakan kembali di
bagian redaksi, meminta Metro TV tidak lagi melakukan
kesewenang-wenangan terhadap karyawan dan memperbaiki sistem manajemen
redaksi yg buruk”, tegas Luviana (sumber: dari link ini).
Kasus di atas hanyalah satu kasus yang terangkat ke permukaan.
Permasalahan utamanya adalah keterkaitan antara pemilik modal dengan
output pemberitaan. Keputusan redaksi seringkali digunakan untuk
kepentingan tertentu. Maka, orang yang tidak sejalan dengan arus besar,
yaitu keputusan pemilik modal secara otomatis akan disingkirkan.
Sejarah Media Di Bawah Cengkeraman Pengusaha
Salah satu majalah ibu kota edisi
13 Februari 2012 pernah menganalisis mengenai bagaimana sejarah para
pengusaha dalam menguasai media. Berikut ini adalah beberapa fakta
tersebut.
Surya Paloh menguasai media pertama kali dengan mendirikan Harian Prioritas. Tapi sayang umur Prioritas hanya setahun, karena dibredel oleh pemerintahan saat itu. Penutupan Prioritas tak membuat Surya mundur dari bisnis pers. Beberapa tahun kemudian ia menggandeng T. Yousli Syah mengelola koran Media Indonesia. Atas persetujuan Yousli sebagai pemilik, Surya memboyong Media Indonesia ke Gedung Prioritas di Jalan Gondangdia Lama, Jakarta Pusat.
Sejak saat itu, banyak pengusaha berbondong-bondong menanamkan uangnya
di bisnis ini. Yang paling agresif adalah Hary Tanoesoedibjo. Sejak
mengambil alih PT Bimantara Citra Tbk. tahun 2000 lalu, Hary mengusung
ambisi ingin menjadi jawara bisnis media penyiaran dan telekomunikasi.
Ambisinya menjadi kenyataan. Lewat Media Nusantara Citra (MNC) Group
kini memiliki belasan media massa, mulai dari televisi, surat kabar,
majalah, radio, hingga media online. Maka tak begitu heran kalau
kemudian Hary dijuluki “Raja Multimedia”.
Selain Hary, sederet pengusaha lain menggarap bisnis ini. Ada Aburizal Bakrie melalui Bakrie Group mendirikan tvOne, ANTV, dan Vivanews.com. Kemudian Chairul Tanjung lewat Trans Corporation membangun televisi Trans TV, Trans 7, dan tahun lalu membeli situs detik.com.
Yang tak kalah sengit apa yang dilakukan Lippo Group. Sejak tahun
2000-an kelompok usaha ini sudah mulai mendirikan media online bernama Lippostar.com dan e-commerce Lipposhop.com. Beberapa tahun kemudian kedua media online ini ditutup. Lantas, Lippo mengambil alih koran ekonomi Investor Daily dan mendirikan majalah Investor.
Pada Januari 2011, Globe Media Group yang dimiliki oleh John Riady,
anak James T. Riady, CEO Grup Lippo, mengakuisisi media online beritasatu.com.
Nama Globe Media Group pun kini berganti menjadi Berita Satu Media
Holdings. Tergabung dalam grup media baru ini adalah beberapa media
cetak seperti The Jakarta Globe, Globe Asia, The Peak, Investor Daily, Kemang Buzz, Campus Asia, Student Globe, The Straits Times, Investor, Suara Pembaruan, stasiun televisi QTV, dan portal berita beritasatu.com.
Tak mau ketinggalan perusahaan rokok Djarum. Baru-baru ini Djarum
membeli situs Kaskus, sebuah forum komunitas terbesar di Indonesia.
Atau Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang mendirikan situs pelitaonline.com.
Pendek kata bisnis pers saat ini yang digarap para pengusaha penuh
gempita dan warna. Langkah Chairul Tanjung yang membeli portal berita detik.com senilai US$ 60 juta (Rp 521 miliar) membuat pergerakan konglomerasi media Indonesia makin riuh.
Keriuhan tambah seru ketika masyarakat menyaksikan kolaborasi media antara Surya Paloh (Media Indonesia, Metro TV, Lampung Post,dan mediaindonesia.com)
dengan Hary Tanoesoedibjo pemilik MNC Group dengan masuknya Hary di
Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sebagai Ketua Dewan Pakar.
Model Pengaruh Pemilik Modal Terhadap Media
Teori Framing dan teori Setting Agenda: dua teori
komunikasi massa masih sangat relevan untuk menjelaskan bagaimana suatu
berita sangat dipengaruhi oleh awak redaksi dan pemilik modal.
Ada empat jenis hubungan kekuatan media dengan sumber-sumber kekuatan
termasuk di dalamnya pengusaha atau partai politik tertentu, yang
diambil dari buku Fishman, Manufacturing News (1980).
Pertama, adalah hubungan antara sumber dari luar media yang
berkekuatan besar dengan media yang berkekuatan besar. Dalam situasi
ini, jika keduanya bertemu akan mengarahkan kekuatan yang besar terhadap
agenda publik. Ini dapat terjadi misalnya dengan pejabat publik yang
berkekuatan besar yang memiliki hubungan baik dengan media atau
pengusaha besar dengan media seperti telah disebutkan di atas.
Kedua, sumber luar yang berkekuatan besar dengan media yang
berkekuatan kecil. Di sini, sumber luar tersebut akan bekerjasama dengan
media dan menggunakan media untuk meraih tujuannya sendiri. Hal ini
terjadi, misalnya seorang politisi membeli waktu tayang.
Ketiga, sumber luar yang berkekuatan rendah dengan media yang
berkekuatan besar. Organisasi media tersebut akan sangat
bertanggungjawab terhadap agendanya sendiri. Hal ini terjadi, misalnya
ketika media membatasi sumber-sumber tertentu.
Keempat, adalah situasi dimana baik kekuatan luar maupun media
berkekuatan rendah, dan agenda publik mungkin akan ditentukan oleh
kejadian-kejadian tersebut, bukan oleh media atau kekuatan tertentu.
Kasus Luviana adalah kasus di mana kekuatan besar dari pengusaha
cenderung dominan terhadap media. Maka, siapa saja yang tidak berada di
arus besar akan tersingkir dengan sendirinya. Lalu, di manakah
independensi media? Independensi media tentunya masih bisa diharapkan
dari media-media yang didirikan oleh para jurnalis, bukan oleh para
pengusaha kapitalis yang hanya ingin mengeruk keuntungan atau untuk
kepentingan tertentu semata.**[kompasiana]
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda