Oleh: Rana Setiawan
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang
dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat);
mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar). Dan siapakah yang
lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat
Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan
memberikan pembalasan kepada orang-orang berdosa.” (QS. As-Sajdah;
32:21-22)
Pada dua ayat tersebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menerangkan bahwa sebenarnya orang-orang kafir itu sewaktu masih hidup
di dunia, mereka telah di azab oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan
berbagai macam azab, baik yang nampak maupun yang hanya dapat dirasakan
saja oleh mereka.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan bahwa
orang yang paling zalim di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala ialah orang
yang telah sampai kepadanya peringatan Allah, telah sampai pula
kepadanya ayat-ayat Al-Quran dan petunjuk Rasul, As-Sunnah, kemudian
mereka berpaling dari ajaran dan petunjuk itu karena angkuh dan penyakit
dengki yang ada di dalam hatinya.
Pada akhir ayat tersebut Allah
Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan bahwa Dia akan menyiksa setiap orang
yang berbuat dosa dan maksiat dengan siksa yang amat pedih.
Fenomena
yang dialami Mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon (85) -dikenal
sebagai ‘Sang Jagal’ yang meninggal dunia Sabtu sore (11/1) setelah
kondisi kesehatanya semakin memburuk pascakoma hampir delapan tahun-
mungkin menempatkan dia sebagai penerima azab terpanjang di dunia.
Betapa
tidak, semasa berkuasa, Ariel Sharon dikenal banyak melakukan
pembunuhan massal, terutama terhadap warga Palestina termasuk ribuan
korban tewas di kamp pengungsi Palestina Sabra dan Shatila di Lebanon
pada 1982 oleh pasukan Zionis Israel dibawah pimpinan Sharon, sehingga
ia dijuluki sebagai Zionis "Sang Jagal".
Ya, sebutan “Sang
Jagal” bukan isapan jempol semata, Ariel Sharon juga menjadi arsitek
salah satu pembantaian terbesar yang dilakukan tentara penjajah Israel
(Israeli Defense Forces -IDF) ‘Unit 101’ di Qibya, Tepi Barat pada 1982,
membunuh 66 warga sipil tak bersenjata. Pasukan IDF ‘Unit 101’ yang
dipimpin oleh Ariel Sharon, bahkan meledakkan rumah-rumah dengan para
penghuni masih berada di dalamnya.
Dia mengulangi operasi militer
yang sama di beberapa desa lainnya termasuk pada Agustus 1953, sebagai
komandan 'Unit 101', Sharon memimpin serangan terhadap kamp pengungsi
Al-Bureij, selatan Jalur Gaza, menewaskan lebih dari 50 orang.
Laporan
mencengangkan dikutip dari buku “The Veritas Handbook: A Guide to
Understanding the Struggle for Palestinian Human Rights, 2010”, di mana
para pengamat PBB yang tiba dua jam setelah serangan itu mengatakan:
"Mayat-mayat penuh peluru di dekat pintu dan beberapa bekas tembusan
rentetan peluru terpampang di pintu rumah yang dihancurkan, menunjukkan
bahwa penduduk telah dipaksa untuk tetap berada di dalam, hingga rumah
mereka diledakkan dan reruntuhannya menimpa mereka."
Para
pengamat PBB lebih lanjut melaporkan bahwa "saksi mata menggambarkan
pengalaman mereka saat pembantaian itu sebagai 'malam horor', di mana
tentara penjajah Israel bergerak di sekitar desa seketika meledakkan
bangunan, menembak ke arah pintu dan jendela dengan senjata otomatis,
dan melemparkan granat tangan ke dalamnya."
Kecaman internasional
pun dikeluarkan atas pembantaian Qibya dan menyerukan mereka yang
bertanggung jawab atas pembantaian itu dibawa ke pengadilan. Namun,
tidak ada tindakan disipliner yang diambil terhadap tentara IDF yang
terlibat dalam aksi pembantaian Qibya. Bahkan Ariel Sharon kemudian
menjadi menteri pertahanan dan akhirnya menjadi Perdana Menteri Israel.
Pantaslah “Sang Jagal” Ariel Sharon pernah mengatakan "Israel menyeret
orang lain ke pengadilan, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa
menyeret orang-orang Yahudi dan Negara Israel ke pengadilan."— Ariel
Sharon (2001). (diambil dari beberapa kutipan para tokoh Zionis
terkemuka di dalam buku The Veritas Handbook: A Guide to Understanding
the Struggle for Palestinian Human Rights, 2010)
Jadi “Mesin Pembunuh” Sejak Remaja
Ariel
Sharon (Bahasa Ibrani: אֲרִיאֵל שָׁרוֹן, juga dikenal dengan Arik)
lahir di Kfar Malal, Mandat Britania atas Palestina, 26 Februari 1928.
Track
record Sharon sebagai seorang militer yang mendapatkan pekerjaan
menjadi “mesin pembunuh” dilakukan sebelum kemerdekaan entitas Zionis
Israel. Berumur 14 tahun, ia bergabung menjadi anggota organisasi
teroris dari milisi Yahudi Haganah yang menjadi "Pasukan Pertahanan
Israel". Secara terus-menerus melakukan teror dan pembunuhan gelap
terhadap orang Arab-Palestina untuk memaksa mereka meninggalkan tanah
dan tempat tinggalnya. Tindakan itu dilakukan para anggota teroris
Haganah sejak tahun 1920 sampai dengan sekarang.
Dari tahun
1920–1930, organisasi Haganah di bawah pimpinan David Ben-Gurion saat
itu melakukan teror kekerasan dengan tugas yang semula hanya terbatas
sebagai kekuatan bersenjata untuk mempertahankan pemukiman imigran
Yahudi, tetapi kemudian berubah menjadi tugas penyerangan terhadap orang
Arab-Palestina. Haganah juga berfungsi bukan hanya sebagai instansi
militer, tetapi menugaskan dirinya sebagai “administrasi pemerintahan”
di permukiman ilegal kaum Yahudi.
Pasukan perang Israel pun
(Israel Defence Forces - IDF) selanjutnya dibentuk dengan para
pemimpinnya pada umumnya berasal dari tokoh-tokoh organisasi teroris
seperti Haganah, Bahnach, Stern Gang, Irgun (Tesfa’i Leummi Barter
Yasra’il) dan Lehmi Herot Israel (LEHI).
Pada masa perang
kemerdekaan entitas ‘Zionis’ Israel tahun 1948, di usianya yang ke-20
tahun, ia telah menjadi seorang komandan infantri Israel dalam Brigade
Alexandroni, di mana pada waktu itu pasukan penjajah Israel mengusir
sekitar 700 ribu warga Palestina dari tanah mereka, dalam apa yang
disebut sebagai tindakan pembersihan etnis.
Peristiwa penting dialami
Sharon, pada saat ia hendak membakar sebuah ladang, tiba-tiba rentetan
peluru pejuang Palestina menembus tubuhnya. Luka itu hampir saja
merenggut nyawanya kalau saja ia tak diselamatkan rekannya. Pada tahun
itu juga, ia melanjutkan studi di bidang hukum di Universitas Ibrani di
Al-Quds (Yerusalem). Pada 1953, ia membentuk sekaligus memimpin unit
komando khusus "Unit 101" yang bertugas melakukan operasi-operasi khusus
tingkat tinggi. Ia diangkat menjadi komandan dari korps para-komando
dan terlibat dalam perang memperebutkan Sinai pada tahun 1956. Pada
tahun 1957, ia meneruskan pendidikan kemiliterannya di Camberley Staff
College, Inggris.
Selama tahun 1958-1962, Pada Perang Enam Hari
(1967) yang melibatkan Israel melawan bangsa Arab, ia menjabat sebagai
komandan sebuah divisi tentara dengan pangkat brigadir jenderal.
Kemudian, ia mengundurkan diri dari dinas ketentaraan pada tahun 1972.
Ketika Perang Yom Kippur pecah pada tahun 1973, ia dipanggil untuk
memimpin divisi tentara yang harus menyeberangi Terusan Suez.
Kemudian,
pada tahun 1972, di bawah Protokol Galilea, Ariel Sharon "mengusir
sekitar sepuluh ribu petani dan Arab Badui, membuldoser atau
menghancurkan rumah-rumah mereka, memaksa mereka mengungsi serta tinggal
di tenda-tenda, menghancurkan tanaman mereka dan menyita sumur-sumur
mereka" untuk mempersiapkan tanah bagi pendirian permukimna ilegal
Yahudi dan barak militer penjajah Zionis Israel.
Sharon dianggap
sebagai seorang militer kaliber tinggi. Dia membangun reputasi sebagai
salah satu jenderal Israel yang dikenal paling berpengalaman dan cerdas.
Sejumlah
kejahatan dilakukan termasuk perannya sebagai dalang berbagai operasi
militer yang mengakibatkan banyak warga sipil Palestina terbunuh.
Sebagai contoh, selama invasi Israel di Lebanon 1982, pembantaian di
kamp pengungsi Sabra dan Shatila memamerkan seberapa tajam dan efektif
Sharon dalam mlekukan pembantaian warga Palestina.
Masih belum ada
angka yang akurat untuk jumlah orang yang meninggal dunia dalam
pembantaian Sabra Shatila itu. Penyelidikan resmi Israel di bawah Komisi
Kahan menyimpulkan bahwa antara 700 dan 800 orang dibunuh. Wartawan
Robert Fisk, yang merupakan salah satu orang pertama di tempat kejadian
setelah pembantaian itu, menyimpulkan bahwa 1.700 orang kehilangan nyawa
mereka. Sementara itu, estimasi Bulan Sabit Merah Palestina adalah
lebih dari 2.000 jiwa melayang. Penelitian Amnon Kapeliouk, seorang
wartawan dan penulis asal Israel, menempatkan angka antara 3.000 dan
3.500 orang meninggal.
Dua puluh tahun kemudian, pada April 2002,
Sharon juga memerintahkan pembunuhan di kamp pengungsi Jenin di Tepi
Barat yang diduduki. Menurut Pusat Informasi Palestina Badil:"... Pada
saat serangan militer berakhir pada 11 April 2002, diperkirakan lebih
dari 50 warga Palestina meninggal dunia sekitar 10 persen dari kamp,
termasuk ratusan tempat penampungan pengungsi, telah benar-benar
diratakan..."
Tidak ada media yang diizinkan masuk selama
serangan penjajah Israel tersebut. Hanya setelah dua pekan pembantaian
itu, organisasi hak asasi manusia lokal dan internasional, termasuk
Amnesty International dan Human Rights Watch, yang boleh diizinkan masuk
Jenin. Mereka segera menemukan bukti pelanggaran serius terhadap hukum
kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional, termasuk kejahatan
perang. Dengan tekanan internasional, Dewan Keamanan PBB mengadopsi
Resolusi 1405, 19 April 2002, menyerukan penyelidikan internasional atas
invasi militer itu.
Bahkan, kaum keluarga para korban pembantaian
tersebut mengajukan tuntutan di Pengadila Tertinggi Belgia dan menuduh
bahwa Ariel Sharon secara pribadi bertanggung jawab atas
pembantaian-pembantaian warga Palestina terutama operasi pembantaian
Sabra dan Shatila serta pembantaian Jenin, dengan menggunakan
undang-undang yang pertama kali digunakan terhadap mereka yang terlibat
dalam Genosida Rwanda.
Pengadilan Tertinggi Belgia memutuskan
pada 12 Februari 2003 bahwa Sharon (dan mereka yang terlibat lainnya,
seperti Jenderal Yaron dari Israel) dapat dikenai tuntutan di bawah
tuduhan itu.
Namun, pada 24 September 2003, Pengadilan Tertinggi
Belgia menolak pengaduan kejahatan perang terhadap Ariel Sharon, dan
menyatakan bahwa pengaduan itu tidak mempunyai basis hukum untuk
dijadikan tuntutan. Elie Hobeika, komandan Falangis pada waktu
pembantaian itu yang tidak pernah diadili, dibunuh dengan sebuah bom
mobil di Beirut pada 24 Januari 2002, saat ia tengah bersiap-siap untuk
memberikan kesaksian dalam sebuah peradilan Sharon.
Sikap angkuh dan
tidak berperi-kemanusiaan para pemimpin Zionis Israel juga slah satunya
ditunjukan oleh Ariel Sharon dengan berbagai pernyataannya yang rasis.
“Tiap
orang harus bergerak, berlari, dan merebut puncak bukit sebanyak
mungkin untuk memperluas permukiman (Yahudi), karena apa yang kita rebut
hari ini akan menjadi milik kita untuk selama-lamanya …Apa yang tidak
kita rebut akan menjadi milik mereka.” (Pidato Ariel Sharon, laporan
AFP pada tanggal 15 Nopember 1998)
Karir Politiknya Wariskan Apartheid
Adapun
karir politiknya, dalam hubungan internasional Sharon mendorong maju
penarikan sepihak pemukim Israel dari Jalur Gaza pada tahun 2004-2005,
yang dipandang sebagai pengorbanan besar dan keputusan yang sulit bagi
sosok seorang Perdana Menteri Israel untuk membuat semacam "tanda
kemauan baik untuk perdamaian”. Ironisnya, sejak penarikan, penduduk
Jalur Gaza telah membayar harga mahal di bawah blokade penjajah Israel
yang diberlakukan di Jalur Gaza yang telah mencapai kondisi semakin
memburuk pada tahun ini. Bahkan, koma Sharon telah Bersamaan dengan
ancaman warga Palestina di Jalur Gaza. Sharon mungkin telah dalam
keadaan mati suri, tetapi penduduk di Gaza harus terus melawan blokade
ilegal.
Kontribusi lain yang patut dicatat dari Sharon adalah
persetujuan dan pengelolaan Tembok Apartheid. Dimulai pada tahun 2001
sekarang berjalan di Tepi Barat, memisahkan kota-kota dan rumah-rumah
tetangga warga Palestina dari satu sama lain, menyediakan sumber daya di
satu sisi bagi pemukim ilegal Yahudi dan hukuman kolektif di sisi lain
bagi penduduk Palestina.
Ariel Sharon menjabat sebagai perdana menteri Israel dari 7 Maret 2001 hingga 14 April 2006.
Kekuasaannya
sebagai perdana menteri kemudian digantikan oleh Perdana Menteri
(sementara) Ehud Olmert karena ia terkena serangan stroke pada Januari
2006. Ia mengalami koma dalam waktu yang lama, sehingga tidak
memungkinkan untuk dapat kembali menjalankan tugas-tugas sebagai
pemimpin pemerintahan.
Ia tampil sebagai pemimpin politik serta
militer berkebangsaan Israel. Sharon juga pernah menjadi pemimpin Likud,
partai terbesar dalam koalisi pemerintah dalam parlemen Israel,
Knesset, hingga ia mengundurkan diri dari partai tersebut pada 21
November 2005. Ia kemudian membentuk partai baru bernama Kadima.
Perdana
Menteri Israel ke-11 itu pun melakukan penodaan disertai dengan lebih
dari 1.000 pasukan dan polisi paramiliter Israel melakukan tur
provokatif di sekitar kompleks Al-Aqsha, terdapat Masjid Al-Aqsha
(Al-Qibly) dan Masjid Kubah Batu (Qubbatus Shakhrah), kiblat pertama
umat Islam.
Penodaan Sharon di Al-Aqsha menjadi pemicu Intifadah
Kedua (kebangkitan), beberapa hari kemudian, bentrokan penduduk
Palestina dengan senjata seadanya, bongkahan batu, melawan pasukan
perang Israel bersenjata lengkap, tak terelakan. Terjadinya pembunuhan
anak Palestina usia 12 tahun Mohamad Al-Durah saat ayahnya mencoba untuk
melindunginya dari tentara Israel yang bertekad untuk membunuh anak
itu. Al-Durah, yang meninggal dalam pelukan ayahnya, menjadi lambang
dari Intifadah Kedua, disebut Intifadah Al-Aqsha. Intifahadah Al-Aqsha
dari tahun 2000 sampai 2005 itu menjadi debut berdarah pada milenium
baru di Wilayah Palestina yang terjajah. Korban tewas diperkirakan
mencapai 3.000 orang Palestina dan 1.000 orang warga Israel; sementara
itu, Sharon bersikeras bahwa semua yang dia inginkan adalah jalan damai
di ‘Kuil Bukit’ menurut mitos Yahudi itu.
Akhirnya, Sharon
memiliki catatan menarik suara menentang atau abstain dari inisiatif
diplomatik untuk perdamaian di wilayah tersebut, meninggalkan pengaruh
yang kecil untuk menunjukkan bahwa Sharon adalah orang yang cinta damai.
Pada tahun 1979, saat memulai pemerintahannya, ia memilih menentang
perjanjian damai dengan Mesir dan pada tahun 1994 ia abstain dari
pemungutan suara untuk perjanjian damai dengan Yordania. Dia juga
memilih menentang menarik pasukan Israel dari Lebanon Selatan pada tahun
1985. Selama konferensi perdamaian Madrid pada tahun 1991, ia menentang
partisipasi Israel atas dasar bahwa konferensi itu tidak layak. Dia
melakukan hal yang sama dengan perjanjian Oslo pada tahun 1993,
menyuarakan penentangan di Parlemen Israel Knesset.
Koma Selama Delapan Tahun
Dua
hari setelah Sharon terkena stroke berat sehingga otaknya dibanjiri
darah, berbagai media internasional mengabarkan bahwa ia sudah mati,
“ya” Mati. Hal itu wajar saja, karena setelah dinyatakan stabil pada 5
Januari 2006 oleh tim dokter di Rumah Sakit Haddasah, keesokan harinya
Sharon dimasukkan lagi ke ruang operasi.
Bahkan wakilnya, Ehud
Olmert, telah ditunjuk sebagai pejabat sementara perdana menteri
menggantikan tugas yang diemban Sharon. Pada hari keenam, dokter
berupaya membangunkannya dari keadaan tidak sadar, dengan cara
mengurangi dosis obat anastesi. Ia pun kemudian bisa bernapas sendiri
dengan bantuan respirator dan sedikit memberikan respon terhadap
stimulus rasa sakit di lengan dan kakinya. Tetapi, Sharon yang sudah
berpindah rumah sakit tidak juga bangun, meskipun keluarga sudah
memperdengarkan alunan musik klasik karya komposer Mozart kesukaannya
–seperti yang disarankan oleh dokter-. Ia tidak pernah membuka matanya,
meskipun hasil tes CT scan menunjukkan otaknya tidak lagi mengeluarkan
darah.
Hari berganti pekan, pekan berganti bulan. Sharon tidak
lagi dikabarkan menderita pendarahan pada otaknya. Hanya saja, berbagai
infeksi menyerang organ-organ tubuhnya yang lain secara bergantian. Dari
otak, infeksi pindah ke paru-paru, ke ginjal, ke dalam darah, begitu
seterusnya. Jantungnya yang diketahui bocor sejak sebelum koma, ikut
memperburuk keadaan.
Pada September 2008, dalam sebuah wawancara
yang termasuk langka, Profesor Zeev Rothstein yang merawat Sharon
menceritakan keadaan pasiennya kepada Radio Angkatan Bersenjata Israel:
“Dia bisa menggerakkan matanya, atau satu jari atau beberapa jari… Dia
dapat bereaksi terhadap rasa sakit, terhadap suara anggota keluarga yang
didengarnya. Reaksi-reaksi ini menunjukkan ia tidak sepenuhnya tidak
sadar,“ jelas Rothstein. “Seorang pasien yang terbaring di ranjang rumah
sakit begitu lama, tidak akan pernah terlihat sama seperti saat ia
sadar dan bisa berlari. Jadi, ia terlihat sangat berbeda,” kata
Rochstein lagi. Sejak itu, tim dokter yang merawatnya hanya menyampaikan
dua kabar tentang Sharon. Yaitu, kondisinya memburuk karena ada
gangguan pada organnya atau stabil, tapi tetap dalam keadaan koma.
Pada
tahun 2010, keluarga Sharon memulangkan kembali Sharon ke kediaman di
sebuah peternakan miliknya di Negev, bagian selatan wilayah Palestina
yang dijajah Israel. Tetapi, akhirnya dia kembali menjalani perawatan di
pusat medis Sheba di mana dia dirawat sampai akhir hayatnya.
Kemudian pada September 2013 dia telah menjalani prosedur pembedahan di perut sementara kondisinya masih dalam keadaan koma.
Sharon
menjalani operasi di pusat medis Sheba dekat ibukota wilayah Palestina
yang dijajah Israel sejak 1948 (Tel Aviv), untuk meningkatkan kinerja
perangkat makan pada pencernaannya, di mana tabung pengisi terhubung
pada sistem pencernaannya.
Melalui tabung itu, Sharon menerima
cairan, mengingat ia dalam pemberian obat penenang terus menerus karena
tidak bisa menelan. Dia kemudian dipindahkan ke unit perawatan intensif.
Pada 3 Januari 2014, kondisi Sharon semakin kritis dan akhirnya meregang nyawa pada 11 Januari 2014.
Track
record-nya menunjukkan, pemimpin seperti Sharon memperkuat
ketidakadilan dan penindasan demi kenegaraan. Mereka tidak melakukan
tindakan ini saja, mereka adalah bagian dari suatu alat yang memaksakan
normalisasi dinamika kekuasaan berdasarkan militerisasi, kolonisasi dan
apartheid, dan mengharapkan dunia untuk ikut mengikuti atau tetap diam
tentang hal itu.
Dan kita harus ingat, Sharona sudah mati tapi apartheid dan penjajahan Zionis Israel belum mati. (Mirajnews.com)
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda