Breaking News
Loading...
Senin, 13 Januari 2014

Info Post

Oleh: Rana Setiawan

“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar). Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang berdosa.” (QS. As-Sajdah; 32:21-22)


Pada dua ayat tersebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan bahwa sebenarnya orang-orang kafir itu sewaktu masih hidup di dunia, mereka telah di azab oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan berbagai macam azab, baik yang nampak maupun yang hanya dapat dirasakan saja oleh mereka.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan bahwa orang yang paling zalim di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala ialah orang yang telah sampai kepadanya peringatan Allah, telah sampai pula kepadanya ayat-ayat Al-Quran dan petunjuk Rasul, As-Sunnah, kemudian mereka berpaling dari ajaran dan petunjuk itu karena angkuh dan penyakit dengki yang ada di dalam hatinya.

Pada akhir ayat tersebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan bahwa Dia akan menyiksa setiap orang yang berbuat dosa dan maksiat dengan siksa yang amat pedih.

Fenomena yang dialami Mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon (85) -dikenal sebagai ‘Sang Jagal’ yang meninggal dunia Sabtu sore (11/1) setelah kondisi kesehatanya semakin memburuk pascakoma hampir delapan tahun- mungkin menempatkan dia sebagai penerima azab terpanjang di dunia.

Betapa tidak, semasa berkuasa, Ariel Sharon dikenal banyak melakukan pembunuhan massal, terutama terhadap warga Palestina termasuk ribuan korban tewas di kamp pengungsi Palestina Sabra dan Shatila di Lebanon pada 1982 oleh pasukan Zionis Israel dibawah pimpinan Sharon, sehingga ia dijuluki sebagai Zionis "Sang Jagal".

Ya, sebutan “Sang Jagal” bukan isapan jempol semata, Ariel Sharon juga menjadi arsitek salah satu pembantaian terbesar yang dilakukan tentara penjajah Israel (Israeli Defense Forces -IDF) ‘Unit 101’ di Qibya, Tepi Barat pada 1982, membunuh 66 warga sipil tak bersenjata. Pasukan IDF ‘Unit 101’ yang dipimpin oleh Ariel Sharon, bahkan meledakkan rumah-rumah dengan para penghuni masih berada di dalamnya.

Dia mengulangi operasi militer yang sama di beberapa desa lainnya termasuk pada Agustus 1953, sebagai komandan 'Unit 101', Sharon memimpin serangan terhadap kamp pengungsi Al-Bureij, selatan Jalur Gaza, menewaskan lebih dari 50 orang.

Laporan mencengangkan dikutip dari buku “The Veritas Handbook: A Guide to Understanding the Struggle for Palestinian Human Rights, 2010”, di mana para pengamat PBB yang tiba dua jam setelah serangan itu mengatakan: "Mayat-mayat penuh peluru di dekat pintu dan beberapa bekas tembusan rentetan peluru terpampang di pintu rumah yang dihancurkan, menunjukkan bahwa penduduk telah dipaksa untuk tetap berada di dalam, hingga rumah mereka diledakkan dan reruntuhannya menimpa mereka."

Para pengamat PBB lebih lanjut melaporkan bahwa "saksi mata menggambarkan pengalaman mereka saat pembantaian itu sebagai 'malam horor', di mana tentara penjajah Israel bergerak di sekitar desa seketika meledakkan bangunan, menembak ke arah pintu dan jendela dengan senjata otomatis, dan melemparkan granat tangan ke dalamnya."

Kecaman internasional pun dikeluarkan atas pembantaian Qibya dan menyerukan mereka yang bertanggung jawab atas pembantaian itu dibawa ke pengadilan. Namun, tidak ada tindakan disipliner yang diambil terhadap tentara IDF yang terlibat  dalam aksi pembantaian Qibya. Bahkan Ariel Sharon kemudian menjadi menteri pertahanan dan akhirnya menjadi Perdana Menteri Israel. Pantaslah “Sang Jagal” Ariel Sharon pernah mengatakan "Israel menyeret orang lain ke pengadilan, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa menyeret orang-orang Yahudi dan Negara Israel ke pengadilan."— Ariel Sharon (2001). (diambil dari beberapa kutipan para tokoh Zionis terkemuka di dalam buku The Veritas Handbook: A Guide to Understanding the Struggle for Palestinian Human Rights, 2010)

Jadi “Mesin Pembunuh” Sejak Remaja

Ariel Sharon (Bahasa Ibrani: אֲרִיאֵל שָׁרוֹן, juga dikenal dengan Arik) lahir di Kfar Malal, Mandat Britania atas Palestina, 26 Februari 1928.

Track record Sharon sebagai seorang militer yang mendapatkan pekerjaan menjadi “mesin pembunuh” dilakukan sebelum kemerdekaan entitas Zionis Israel. Berumur 14 tahun, ia bergabung menjadi anggota organisasi teroris dari milisi Yahudi Haganah yang menjadi "Pasukan Pertahanan Israel". Secara terus-menerus melakukan teror dan pembunuhan gelap terhadap orang Arab-Palestina untuk memaksa mereka meninggalkan tanah dan tempat tinggalnya. Tindakan itu dilakukan para anggota teroris Haganah sejak tahun 1920 sampai dengan sekarang.

Dari tahun 1920–1930, organisasi Haganah di bawah pimpinan David Ben-Gurion saat itu melakukan teror kekerasan dengan tugas yang semula hanya terbatas sebagai kekuatan bersenjata untuk mempertahankan pemukiman imigran Yahudi, tetapi kemudian berubah menjadi tugas penyerangan terhadap orang Arab-Palestina. Haganah juga berfungsi bukan hanya sebagai instansi militer, tetapi menugaskan dirinya sebagai “administrasi pemerintahan” di permukiman ilegal kaum Yahudi.

Pasukan perang Israel pun (Israel Defence Forces - IDF) selanjutnya dibentuk dengan para pemimpinnya pada umumnya berasal dari tokoh-tokoh organisasi teroris seperti Haganah, Bahnach, Stern Gang, Irgun (Tesfa’i Leummi Barter Yasra’il) dan Lehmi Herot Israel (LEHI).

Pada masa perang kemerdekaan entitas ‘Zionis’ Israel tahun 1948, di usianya yang ke-20 tahun, ia telah menjadi seorang komandan infantri Israel dalam Brigade Alexandroni, di mana pada waktu itu pasukan penjajah Israel mengusir sekitar 700 ribu warga Palestina dari tanah mereka, dalam apa yang disebut sebagai tindakan pembersihan etnis.
Peristiwa penting dialami Sharon, pada saat ia hendak membakar sebuah ladang, tiba-tiba rentetan peluru pejuang Palestina menembus tubuhnya. Luka itu hampir saja merenggut nyawanya kalau saja ia tak diselamatkan rekannya. Pada tahun itu juga, ia melanjutkan studi di bidang hukum di Universitas Ibrani di Al-Quds (Yerusalem). Pada 1953, ia membentuk sekaligus memimpin unit komando khusus "Unit 101" yang bertugas melakukan operasi-operasi khusus tingkat tinggi. Ia diangkat menjadi komandan dari korps para-komando dan terlibat dalam perang memperebutkan Sinai pada tahun 1956. Pada tahun 1957, ia meneruskan pendidikan kemiliterannya di Camberley Staff College, Inggris.
Selama tahun 1958-1962, Pada Perang Enam Hari (1967) yang melibatkan Israel melawan bangsa Arab, ia menjabat sebagai komandan sebuah divisi tentara dengan pangkat brigadir jenderal. Kemudian, ia mengundurkan diri dari dinas ketentaraan pada tahun 1972. Ketika Perang Yom Kippur pecah pada tahun 1973, ia dipanggil untuk memimpin divisi tentara yang harus menyeberangi Terusan Suez.

Kemudian, pada tahun 1972, di bawah Protokol Galilea, Ariel Sharon "mengusir sekitar sepuluh ribu petani dan Arab Badui, membuldoser atau menghancurkan rumah-rumah mereka, memaksa mereka mengungsi serta tinggal di tenda-tenda, menghancurkan tanaman mereka dan menyita sumur-sumur mereka" untuk mempersiapkan tanah bagi pendirian permukimna ilegal Yahudi dan barak militer penjajah Zionis Israel.

Sharon dianggap sebagai seorang militer kaliber tinggi. Dia membangun reputasi sebagai salah satu jenderal Israel yang dikenal paling berpengalaman dan cerdas.

Sejumlah kejahatan dilakukan termasuk perannya sebagai dalang berbagai operasi militer yang mengakibatkan banyak warga sipil Palestina terbunuh. Sebagai contoh, selama invasi Israel di Lebanon 1982, pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila memamerkan seberapa tajam dan efektif Sharon dalam mlekukan pembantaian warga Palestina.
Masih belum ada angka yang akurat untuk jumlah orang yang meninggal dunia dalam pembantaian Sabra Shatila itu. Penyelidikan resmi Israel di bawah Komisi Kahan menyimpulkan bahwa antara 700 dan 800 orang dibunuh. Wartawan Robert Fisk, yang merupakan salah satu orang pertama di tempat kejadian setelah pembantaian itu, menyimpulkan bahwa 1.700 orang kehilangan nyawa mereka. Sementara itu, estimasi Bulan Sabit Merah Palestina adalah lebih dari 2.000 jiwa melayang. Penelitian Amnon Kapeliouk, seorang wartawan dan penulis asal Israel, menempatkan angka antara 3.000 dan 3.500 orang meninggal.

Dua puluh tahun kemudian, pada April 2002, Sharon juga memerintahkan pembunuhan di kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat yang diduduki. Menurut Pusat Informasi Palestina Badil:"... Pada saat serangan militer berakhir pada 11 April 2002, diperkirakan lebih dari 50 warga Palestina meninggal dunia sekitar 10 persen dari kamp, termasuk ratusan tempat penampungan pengungsi, telah benar-benar diratakan..."

Tidak ada media yang diizinkan masuk selama serangan penjajah Israel tersebut. Hanya setelah dua pekan pembantaian itu, organisasi hak asasi manusia lokal dan internasional, termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, yang boleh diizinkan masuk Jenin. Mereka segera menemukan bukti pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional, termasuk kejahatan perang. Dengan tekanan internasional, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 1405, 19 April 2002, menyerukan penyelidikan internasional atas invasi militer itu.
Bahkan, kaum keluarga para korban pembantaian tersebut mengajukan tuntutan di Pengadila Tertinggi Belgia dan menuduh bahwa Ariel Sharon secara pribadi bertanggung jawab atas pembantaian-pembantaian warga Palestina terutama operasi pembantaian Sabra dan Shatila serta pembantaian Jenin, dengan menggunakan undang-undang yang pertama kali digunakan terhadap mereka yang terlibat dalam Genosida Rwanda.

Pengadilan Tertinggi Belgia memutuskan pada 12 Februari 2003 bahwa Sharon (dan mereka yang terlibat lainnya, seperti Jenderal Yaron dari Israel) dapat dikenai tuntutan di bawah tuduhan itu.

Namun, pada 24 September 2003, Pengadilan Tertinggi Belgia menolak pengaduan kejahatan perang terhadap Ariel Sharon, dan menyatakan bahwa pengaduan itu tidak mempunyai basis hukum untuk dijadikan tuntutan. Elie Hobeika, komandan Falangis pada waktu pembantaian itu yang tidak pernah diadili, dibunuh dengan sebuah bom mobil di Beirut pada 24 Januari 2002, saat ia tengah bersiap-siap untuk memberikan kesaksian dalam sebuah peradilan Sharon.
Sikap angkuh dan tidak berperi-kemanusiaan para pemimpin Zionis Israel juga slah satunya ditunjukan oleh Ariel Sharon dengan berbagai pernyataannya yang rasis.

 “Tiap orang harus bergerak, berlari, dan merebut puncak bukit sebanyak mungkin untuk memperluas permukiman (Yahudi), karena apa yang kita rebut hari ini akan menjadi milik kita untuk selama-lamanya …Apa yang tidak kita rebut akan menjadi milik mereka.”  (Pidato Ariel Sharon, laporan AFP pada tanggal 15 Nopember 1998)


Karir Politiknya Wariskan Apartheid
Adapun karir politiknya, dalam hubungan internasional Sharon mendorong maju penarikan sepihak pemukim Israel dari Jalur Gaza pada tahun 2004-2005, yang dipandang sebagai pengorbanan besar dan keputusan yang sulit bagi sosok seorang Perdana Menteri Israel untuk membuat semacam "tanda kemauan baik untuk perdamaian”. Ironisnya, sejak penarikan, penduduk Jalur Gaza telah membayar harga mahal di bawah blokade penjajah Israel yang diberlakukan di Jalur Gaza yang telah mencapai kondisi semakin memburuk pada tahun ini. Bahkan, koma Sharon telah Bersamaan dengan ancaman warga Palestina di Jalur Gaza. Sharon mungkin telah dalam keadaan mati suri, tetapi penduduk di Gaza harus terus melawan blokade ilegal.

Kontribusi lain yang patut dicatat dari Sharon adalah persetujuan dan pengelolaan Tembok Apartheid. Dimulai pada tahun 2001 sekarang berjalan di Tepi Barat, memisahkan kota-kota dan rumah-rumah tetangga warga Palestina dari satu sama lain, menyediakan sumber daya di satu sisi bagi pemukim ilegal Yahudi dan hukuman kolektif di sisi lain bagi penduduk Palestina.

Ariel Sharon menjabat sebagai perdana menteri Israel dari 7 Maret 2001 hingga 14 April 2006.

Kekuasaannya sebagai perdana menteri kemudian digantikan oleh Perdana Menteri (sementara) Ehud Olmert karena ia terkena serangan stroke pada Januari 2006. Ia mengalami koma dalam waktu yang lama, sehingga tidak memungkinkan untuk dapat kembali menjalankan tugas-tugas sebagai pemimpin pemerintahan.

Ia tampil sebagai pemimpin politik serta militer berkebangsaan Israel. Sharon juga pernah menjadi pemimpin Likud, partai terbesar dalam koalisi pemerintah dalam parlemen Israel, Knesset, hingga ia mengundurkan diri dari partai tersebut pada 21 November 2005. Ia kemudian membentuk partai baru bernama Kadima.

Perdana Menteri Israel ke-11 itu pun melakukan penodaan disertai dengan lebih dari 1.000 pasukan dan polisi paramiliter Israel melakukan tur provokatif di sekitar kompleks Al-Aqsha, terdapat Masjid Al-Aqsha (Al-Qibly) dan Masjid Kubah Batu (Qubbatus Shakhrah), kiblat pertama umat Islam.

Penodaan Sharon di Al-Aqsha menjadi pemicu Intifadah Kedua (kebangkitan), beberapa hari kemudian, bentrokan penduduk Palestina dengan senjata seadanya, bongkahan batu, melawan pasukan perang Israel bersenjata lengkap, tak terelakan. Terjadinya pembunuhan anak Palestina usia 12 tahun Mohamad Al-Durah saat ayahnya mencoba untuk melindunginya dari tentara Israel yang bertekad untuk membunuh anak itu. Al-Durah, yang meninggal dalam pelukan ayahnya, menjadi lambang dari Intifadah Kedua, disebut Intifadah Al-Aqsha. Intifahadah Al-Aqsha dari tahun 2000 sampai 2005 itu menjadi debut berdarah pada milenium baru di Wilayah Palestina yang terjajah. Korban tewas diperkirakan mencapai 3.000 orang Palestina dan 1.000 orang warga Israel; sementara itu, Sharon bersikeras bahwa semua yang dia inginkan adalah jalan damai di ‘Kuil Bukit’ menurut mitos Yahudi itu.

Akhirnya, Sharon memiliki catatan menarik suara menentang atau abstain dari inisiatif diplomatik untuk perdamaian di wilayah tersebut, meninggalkan pengaruh yang kecil untuk menunjukkan bahwa Sharon adalah orang yang cinta damai. Pada tahun 1979, saat memulai pemerintahannya, ia memilih menentang perjanjian damai dengan Mesir dan pada tahun 1994 ia abstain dari pemungutan suara untuk perjanjian damai dengan Yordania. Dia juga memilih menentang menarik pasukan Israel dari Lebanon Selatan pada tahun 1985. Selama konferensi perdamaian Madrid pada tahun 1991, ia menentang partisipasi Israel atas dasar bahwa konferensi itu tidak layak. Dia melakukan hal yang sama dengan perjanjian Oslo pada tahun 1993, menyuarakan penentangan di Parlemen Israel Knesset.

Koma Selama Delapan Tahun

Dua hari setelah Sharon terkena stroke berat sehingga otaknya dibanjiri darah, berbagai media internasional mengabarkan bahwa ia sudah mati, “ya” Mati. Hal itu wajar saja, karena setelah dinyatakan stabil pada 5 Januari 2006 oleh tim dokter di Rumah Sakit Haddasah, keesokan harinya Sharon dimasukkan lagi ke ruang operasi.

Bahkan wakilnya, Ehud Olmert, telah ditunjuk sebagai pejabat sementara perdana menteri menggantikan tugas yang diemban Sharon. Pada hari keenam, dokter berupaya membangunkannya dari keadaan tidak sadar, dengan cara mengurangi dosis obat anastesi. Ia pun kemudian bisa bernapas sendiri dengan bantuan respirator dan sedikit memberikan respon terhadap stimulus rasa sakit di lengan dan kakinya. Tetapi, Sharon yang sudah berpindah rumah sakit tidak juga bangun, meskipun keluarga sudah memperdengarkan alunan musik klasik karya komposer Mozart kesukaannya –seperti yang disarankan oleh dokter-. Ia tidak pernah membuka matanya, meskipun hasil tes CT scan menunjukkan otaknya tidak lagi mengeluarkan darah.

Hari berganti pekan, pekan berganti bulan. Sharon tidak lagi dikabarkan menderita pendarahan pada otaknya. Hanya saja, berbagai infeksi menyerang organ-organ tubuhnya yang lain secara bergantian. Dari otak, infeksi pindah ke paru-paru, ke ginjal, ke dalam darah, begitu seterusnya. Jantungnya yang diketahui bocor sejak sebelum koma, ikut memperburuk keadaan.

Pada September 2008, dalam sebuah wawancara yang termasuk langka, Profesor Zeev Rothstein yang merawat Sharon menceritakan keadaan pasiennya kepada Radio Angkatan Bersenjata Israel: “Dia bisa menggerakkan matanya, atau satu jari atau beberapa jari… Dia dapat bereaksi terhadap rasa sakit, terhadap suara anggota keluarga yang didengarnya. Reaksi-reaksi ini menunjukkan ia tidak sepenuhnya tidak sadar,“ jelas Rothstein. “Seorang pasien yang terbaring di ranjang rumah sakit begitu lama, tidak akan pernah terlihat sama seperti saat ia sadar dan bisa berlari. Jadi, ia terlihat sangat berbeda,” kata Rochstein lagi. Sejak itu, tim dokter yang merawatnya hanya menyampaikan dua kabar tentang Sharon. Yaitu, kondisinya memburuk karena ada gangguan pada organnya atau stabil, tapi tetap dalam keadaan koma.

Pada tahun 2010, keluarga Sharon memulangkan kembali Sharon ke kediaman di sebuah peternakan miliknya di Negev, bagian selatan wilayah Palestina yang dijajah Israel. Tetapi, akhirnya dia kembali menjalani perawatan di pusat medis Sheba di mana dia dirawat sampai akhir hayatnya.

Kemudian pada September 2013 dia telah menjalani prosedur pembedahan di perut sementara kondisinya masih dalam keadaan koma.

Sharon menjalani operasi di pusat medis Sheba dekat ibukota wilayah Palestina yang dijajah Israel sejak 1948 (Tel Aviv), untuk meningkatkan kinerja perangkat makan pada pencernaannya, di mana tabung pengisi terhubung pada sistem pencernaannya.

Melalui tabung itu, Sharon menerima cairan, mengingat ia dalam pemberian obat penenang terus menerus karena tidak bisa menelan. Dia kemudian dipindahkan ke unit perawatan intensif.

Pada 3 Januari 2014, kondisi Sharon semakin kritis dan akhirnya meregang nyawa pada 11 Januari 2014.

Track record-nya menunjukkan, pemimpin seperti Sharon memperkuat ketidakadilan dan penindasan demi kenegaraan. Mereka tidak melakukan tindakan ini saja, mereka adalah bagian dari suatu alat yang memaksakan normalisasi dinamika kekuasaan berdasarkan militerisasi, kolonisasi dan apartheid, dan mengharapkan dunia untuk ikut mengikuti atau tetap diam tentang hal itu.

Dan kita harus ingat, Sharona sudah mati tapi apartheid dan penjajahan Zionis Israel belum mati. (Mirajnews.com)
---
Komentar anda

0 komentar:

Posting Komentar

PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda