Peta Korea Utara dan Korea Selatan |
Di tengah ketegangan dengan Korea Utara (Korut), Presiden Korea
Selatan Park Geun-hye mengeluarkan kebijakan yang terkesan nyeleneh.
Penguasa Negeri Ginseng itu menyatakan perang melawan rok mini.
Yang
menarik, perang rok mini digelar ketika Korut justru memperbolehkan
perempuan memakai rok mini. New York Times pernah memberitakan bahwa rok
mini yang dikenakan perempuan Korut jauh lebih pendek ketimbang
perempuan Korsel.
Pernyataan perang atas rok mini itu diumumkan
pada 11 Maret dalam bentuk Dekrit Presiden. Setiap warga yang terbukti
memakai rok mini di tempat umum, bisa dikenakan denda 50 ribu Won atau
sekitar Rp 441 ribu.
Meski sudah diloloskan tepat pada saat Korut
gencar menyuarakan ancaman perang ke Korsel, dekrit itu baru berlaku
pada 22 Maret. Rapat kabinet untuk membahas larangan rok mini dipimpin
langsung Park, presiden perempuan pertama Korsel.
Ini merupakan
dekrit serupa yang pernah berlaku di Korsel pada dekade 1970an tepat
pada saat ayah Park, Jenderal Park Chung-hee berkuasa.
Kebijakan
Park dianggap Korut hanya sebuah lelucon. Tidak peduli dengan sindiran
yang ditujukan kepadanya, Park tetap melanjutkan perang ini sembari akan
terus melunakkan hati Pyongyang dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan.
Park ingin menjadikan bantuan kemanusiaan sebagai penghubung antara
Seoul dengan Pyongyang.
“Kami ingin memberikan bantuan kemanusiaan
kepada warga Utara yang memang kesulitan. Kami tidak peduli dengan
sindiran dari Korea Utara dan semua provokasinya. Kami hanya ingin
memastikan bisa melaksanakan dialog untuk memperbaiki hubungan utara dan
Selatan,” ujar Menteri Unifikasi Ryoo Kihl-jae, kemarin.
Dia juga
menambahkan bahwa Kementerian Unifikasi masih belum memastikan kapan
dan berapa banyak bantuan yang akan diberikan kepada tetangganya
tersebut.
Kebijakan Park yang merapat ke Korut menjadi perhatian
Washington DC, Beijing dan Tokyo. Muncul dugaan, kebijakan Park akan
menjadi awal kebijakan yang diambil Korut.
Sebelumnya, Korut
menegaskan bahwa pihaknya telah merobek gencatan senjata yang mengakhiri
Perang Korea 1953. Korut juga memperingatkan bahwa langkah selanjutnya
adalah tindakan pembalasan militer tanpa ampun terhadap musuh-musuhnya.
“Perjanjian
gencatan senjata tidak lagi berlaku dan (Korea Utara) tidak tertahan
oleh deklarasi Utara-Selatan pada non-agresi,” sumber pejabat
Kementerian Pertahanan Korut.
“Apa yang tersisa untuk dilakukan sekarang adalah tindakan pembalasan keadilan dan tanpa ampun para tentara,” imbuhnya.
Karena
Perang Korea diakhiri dengan gencatan senjata, bukan perjanjian
perdamaian, kedua Korea secara teknis memang dalam keadaan berperang.
Membatalkan gencatan senjata secara teoritis membuka jalan untuk
kembalinya permusuhan.
Namun, Korut harus ingat, perjanjian
gencatan senjata Korea disepakati Dewan Keamanan PBB, sehingga baik AS
maupun Korea Selatan telah menolak keputusan sepihak Korut.
Namun,
bekas anggota badan intelejen AS, Bruce klingner, mengimbau jangan
menganggap remeh ancaman Korut. “Coba ingat kejadian setelah insiden
kapal perang Korea Selatan pada 1999 dan 2009. Pasca insiden, Utara
melakukan serangan balasan yang menyebabkan kematian 50 warga Korsel
pada 2010,” kisah Klingner.
“Serangan tiga tahun yang lalu adalah pengingat bahwa mereka memang mampu,” tuturnya mengingatkan.
Pada
Maret 2010, Cheonan, kapal perang Korsel seberat 1.200 ton, meledak dan
tenggelam di Laut Kuning, menewaskan 46 anak buah kapal. Dalam
penyelidikan yang dilakukan pihak Korsel, ditemukan bahwa Pyongyang
menorpedo kepal perang tersebut. Tuduhan ini disanggah Pyongyang.
“Karamnya
Cheonan mungkin merupakan salah satu bukti pembalasan dari Utara,”
penilaian Koh Yu-hwan, spesialis Korea Utara dari Universitas Dongguk,
Seoul. (RMOL)
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda