Bismillahirrahmanirrahim....
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh....
Postingan ini terinspirasi dari salah satu dialog / curhatan dengan teman saya.
Tulisan ini saya persembahkan untuk dia dengan niat baik dan semoga setelah membaca tulisan ini dia bisa lebih ikhlas dalam bekerja.
Dan tentunya semoga postingan ini juga bermanfaat bagi kalian semua.
Teman saya merasa terpaksa untuk bekerja karena tidak ingin mengecewakan ayahnya sehingga menyebabkannya kurang ikhlas dalam bekerja. Dia berpendapat bahwa kewajiban untuk bekerja adalah untuk laki-laki bukan wanita, sebaik-baiknya wanita adalah yang bisa menjadi ummul mukmin bagi keluarganya, menjadi istri soleha, menjaga kehormatan suaminya jika suaminya tidak ada, menjadi seorang ibu yang penyayang bagi anaknya.
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh....
Postingan ini terinspirasi dari salah satu dialog / curhatan dengan teman saya.
Tulisan ini saya persembahkan untuk dia dengan niat baik dan semoga setelah membaca tulisan ini dia bisa lebih ikhlas dalam bekerja.
Dan tentunya semoga postingan ini juga bermanfaat bagi kalian semua.
Teman saya merasa terpaksa untuk bekerja karena tidak ingin mengecewakan ayahnya sehingga menyebabkannya kurang ikhlas dalam bekerja. Dia berpendapat bahwa kewajiban untuk bekerja adalah untuk laki-laki bukan wanita, sebaik-baiknya wanita adalah yang bisa menjadi ummul mukmin bagi keluarganya, menjadi istri soleha, menjaga kehormatan suaminya jika suaminya tidak ada, menjadi seorang ibu yang penyayang bagi anaknya.
Ya memang, tidak ada yang salah dari pendapatnya itu.
Tapi pendapatnya itu kan bagi seorang wanita yang sudah menikah. Lalu bagaimana halnya dengan seorang wanita yang belum menikah???
Menurut saya, selama kita masih belum menikah ada baiknya kita bekerja, alasannya :
• Bekerja bisa membantu dan mengurangi beban orang tua kita.Dengan memiliki penghasilan sendiri kita bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa harus meminta-minta pada orang tua kita dan justru malah lebih baik lagi karena kita bisa memberi sebagian gaji kepada orang tua kita, dan juga bisa bersedekah kepada orang lain dengan hasil keringat kita.
Nabi SAW pula telah menyebutkan bahwa :
"Tiada seorang pun yang makan lebih baik dari orang yang makan hasil dari tangannya sendiri"
( Riwayat, Al-Bukhari, no 1966, Fath Al-bari, 4/306)
• Dengan bekerja kita menyenangkan hati orang tua, dan membalas sedikit jasanya, karena orang tua kita telah menyekolahkan kita setinggi mungkin. Pastilah orang tua kita ingin melihat hasil dari pendidikan anaknya
• Bukankah bekerja juga adalah sebuah bentuk ibadah kepada Allah SWT, dan juga menuruti perintah orang tua dan menyenangkan hati keduanya adalah salah satu bentuk ibadah juga.
Disebut juga dalam sebuah hadith dhoif :
"Siapa yang tidur dengan keletihan dari kerja tangannya sendiri, ia tidur dalam keadaan diampunkan oleh Allah SWT" ( Riwayat Ibn 'Asakir & At-Tabrani ; Al-Haithami dalam Majma Az-Zawaid : Ramai perawinya tidak aku kenali )
Dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah.
Dalam surat al-Nahl, ayat 97 disebutkan secara tegas bahwa untuk meciptakan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dipersyaratkan peran aktif setiap orang beriman, lelaki dan perempuan (secara eksplisit disebutkan
lelaki dan perempuan), tentu dengan melakukan aktifitas-aktifitas yang positif (amalan shalihan).
Di dalam surat al-Qashash, ayat-23-28, juga dikisahkan mengenai dua puteri Nabi Syu'aib as yang bekerja menggembala kambing di padang rumput, yang kemudian bertemu dengan Nabi Musa AS.
Surat Al-Naml ayat 20-44, juga mengapresiasi kepemimpinan (karir politik) seorang perempuan yang bernama Balqis. Disamping ayat-ayat lain yang mengisyaratkan bahwa perempuan itu boleh bekerja menyusukan anak dan memintal benang.
Dalam praktek kehidupan zaman Nabi SAW, banyak riwayat menyebutkan, beberapa sahabat perempuan bekerja di dalam dan di luar rumah, baik untuk kepentingan sosial, maupun untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebutlah misalnya Isteri Rasulullah SAW Khadidjah ra. adalah seorang wanita pebisnis. Bahkan harta hasil jerih payah bisnis Khadijah ra itu amat banyak menunjang dakwah di masa awal. Di sini kita bisa paham bahwa seorang isteri nabi sekalipun punya kesempatan untuk keluar rumah mengurus bisnisnya.
Demikian pula dengan 'Aisyah ra. Semasa Rasulullah masih hidup, beliau sering kali ikut keluar Madinah dalam berbagai operasi peperangan. Dan sepeninggal Rasulullah SAW, Aisyah adalah guru dari para shahabat yang memapu memberikan penjelasan dan keterangan tentang ajaran Islam.
Asma bint Abu Bakr, isteri sahabat Zubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam, yang terkadang melakukan perjalanan cukup jauh.
Di dalam kitab hadits Shahih Muslim, disebutkan bahwa ketika Bibi Jabir bin Abdullah keluar rumah untuk bekerja memetik kurma, dia dihardik oleh seseorang untuk tidak keluar rumah. Kemudian dia melapor kepada Nabi Saw, yang dengan tegas mengatakan kepadanya: "Petiklah kurma itu, selama untuk kebaikan dan kemaslahatan".
Di dalam literatur fikih (jurisprudensi Islam) juga secara umum tidak ditemukan larangan perempuan bekerja, selama ada jaminan keamanan dan keselamatan, karena bekerja adalah hak setiap orang. Variasi pandangan ulama hanya muncul pada kasus seorang isteri yang bekerja tanpa restu dari suaminya. Kemudian pertanyaan yang muncul adalah: apakah seorang isteri yang bekerja tanpa restu suami dianggap melanggar peraturan agama?
Kalau lebih jauh menelusuri lembaran-lembaran literatur fikih, dalam pandangan banyak ulama fikih, suami juga tidak berhak sama sekali untuk melarang isteri bekerja mencari nafkah, apabila nyata-nyata dia tidak bisa bekerja mencari nafkah, baik karena sakit, miskin atau karena yang lain (lihat fatwa Ibn Hajar, juz IV, h. 205 dan al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII, h. 573).
Lebih tegas lagi dalam fikih Hambali, seorang lelaki yang pada awalnya sudah mengetahui dan menerima calon isterinya sebagai pekerja (baca : Perempuan Karir) yang setelah perkawinan juga akan terus bekerja, suami tidak boleh kemudian melarang isterinya bekerja atas alasan apapun (lihat : al-fiqh al-Islami wa adillatuhu, juz VII, h. 795).
Meskipun tidak ada larangan bagi wanita untuk bekerja, namun hendaknya jenis pekerjaan itu tidak diharamkan dan tidak mengarah pada perbuatan haram, seperti perjalanan sehari semalam tanpa ada mahram atau bekerja di tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dengan wanita. Memang tidak ada dalil yang qath'i tentang haramnya wanita keluar rumah, namun para ulama tetap menempatkan beberapa syarat atas kebolehan wanita keluar rumah.
1. Mengenakan Pakaian yang Menutup Aurat
Menutup aurat adalah syarat mutlak yang wajib dipenuhi sebelum seorang wanita keluar rumah. Firman Allah SWT :
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang-oarang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka"(QS Al-Ahzaab 27)
2. Tidak berkhalwat antara pria dan wanita.
Sabda Rasulullah Saw “tidak boleh berkhalwat (bersepi-sepian) antara laki-laki dengan wanita kecuali bersama wanita tadi ada mahram”
Sebagaimana antara dalil yang menunjukkan keperluan untuk tidak bercampur dan berasak-asak dengan kumpulan lelaki sewaktu bekerja adalah firman Allah SWT :
وَلَمَّا وَرَدَ مَاء مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاء وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
"Dan tatkala ia ( Musa a.s) sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang (lelaki) yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia mendapati di belakang lelaki-lelaki itu, ada dua orang wanita yang sedang memegang (ternaknya dengan terasing dari lelaki).
Musa berkata: ""Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?"" Kedua wanita itu menjawab: ""Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya" (Al-Qasas : 24 )
3. Tidak Tabarruj atau Memamerkan Perhiasan dan Kecantikan
Wanita dilarang memamerkan perhiasan dan kecantikannya, terutama di hadapan para laki-laki, seperti firman Allah SWT :
Janganlah memamerkan perhiasan seperti orang jahiliyah yang pertama`(QS Al-Ahzaab 33)
4. Tidak Melunakkan, Memerdukan atau Mendesahkan Suara
Para wanita diharamkan bertingkah laku yang akan menimbulkan syahwat para laki-laki. Seperti mengeluarkan suara yang terkesan menggoda, atau memerdukannya atau bahkan mendesah-desahkan suaranya.
Larangaannya tegas dan jelas di dalam Al-Quran
Janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melunakkan dan memerdukan suara atau sikap yang sejenis) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik` (QS Al-Ahzaab 32).
5. Menjaga Pandangan
Wanita yang keluar rumah juga diwajibkan untuk menjaga pandangannya, Allah SWT dalam firman-Nya:
Katakanlah pada orang-orang laki-laki beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya ........"(QS An Nuur 30-31)
6. Aman dari Fitnah
Kebolehan wanita keluar rumah akan batal dengan sendirinya manakala ada fitnah, atau keadaan yang tidak aman. Hal ini sudah merupakan ijma` ulama.
Syarat ini didapat dari hadits Nabi SAW tentang kabar beliau bahwa suatu ketika akan ada wanita yan berjalan dari Hirah ke Baitullah sendirian tidak takut apa pun kecuali takut kepada Allah SWT.
7. Pekerjaannya itu tidak mengorbankan kewajibannya dirumah
Yaitu kewajibannya terhadap suami dan anak-anaknya yang merupakan kewajiban pertama dan tugasnya yang asasi.
8. Mendapatkan Izin Dari Orang Tua atau Suaminya
Ini adalah yang paling sering luput dari perhatian para muslimah. Terkadang seolah-olah izin dari pihak orang tua maupun suami menjadi hal yang terlupakan. Izin dari suami harus dipahami sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian serta wujud dari tanggung-jawab seorang yang idealnya menjadi pelindung. Namun tidak harus juga diterapkan secara kaku yang mengesankan bahwa Islam mengekang kebebasan wanita.
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun para ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka meryuruh (mengerjakan) yang ma'ruf mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya..." (At-Taubah: 71)
Sumber :
Dr. M. Quraish Shihab: Membumikan Al-Qur’an
Dr. Yusuf Qardhawi : Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
Ahmad Sarwat, Lc
http://muslimahui.my-php.net/?p=14
http://nunusangpemimpi.blogspot.com/2011/05/bolehkah-wanita-bekerja.html
----------------
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda