Ust. Fadzlan Garamatan |
Dibalik cerita yang dia kemukakan, terkandung sebuah insfirasi dan motifasi besar untuk diri ini.
Ternyata perjuangan yang kita lakukan demi dakwah ini, tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan perjuangan mensyiarkan Islam dari orang yang ada disamping saya ini.
Betapa tidak, untuk sebatas wilayah kampus saja, terkadang terasa begitu berat, banyak sekali kata-kata mengeluh terlontar dari mulut ini, hanya karena setitik rintangan yang dihadapi. Ya Raab terimakasih kau telah memberikan insfirasi ini untuk hamba.
Sahabat, insfirasi ini untuk anda, agar andapun bisa merasakan motivasi dan insfirasi dari pengalaman bertemu Ustadz yang sering dijuluki ustadz sabun mandi ini, sehingga beliau di nobatkan sebagai salah-satu tokoh perubahan untuk indonesia versi Republika Tahun 2010.
Kisah Inspirasi Dari Sosok Da’i Yang Luar Biasa Dari Papua
Ust.Fadzlan Garamata |
Papua, dikenal sebagai salah satu penghasil emas terbesar di dunia. Tak
hanya emas, sumber daya alam lainnya pun melimpah. Bumi cenderawasih
begitu kaya. Tapi ternyata, kekayaan itu tidak mengangkat derajat hidup
masyarakat di sana. Mayoritas masyarakat masih hidup miskin, bahkan
sebagaian besar penduduk asli masih tinggal di pedalaman.
Julukan sebagai salah satu provinsi yang tertinggal lantas kerap disematkan pada wilayah paling timur di Indonesia ini. Jika ada orang Papua yang punya keistimewaan, mereka kerap dijuluki sebagai mutiara hitam. Dan salah satu yang layak memperoleh ‘gelar’ itu adalah Muhammad Zaaf Ustaz Fadhlan Rabbani Al-Garamatan.
Pria kelahiran Patipi, Fak-Fak, 17 Mei 1969 itu, adalah putra dari pasangan Machmud Ibnu Abu Bakar Ibnu Husein Ibnu Suar Al-Garamatan dan Siti Rukiah binti Ismail Ibnu Muhammad Iribaram. Sejak tahun 1985, ia memulai dakwahnya di bumi Papua. Ustaz Fadhlan , lebih senang menyebut Papua dengan Nuu Waar.
Nuu Waar adalah nama pertama untuk Papua, sebelum berubah menjadi Irian Jaya, dan Papua saat ini. Nuu Waar, dalam bahasa orang Papua, berarti cahaya yang menyimpan rahasia alam. “Papua dalam bahasa setempat berarti keriting. Karena itu, komunitas Muslim lebih senang menyebutnya dengan Nuu Waar dibandingkan Irian atau Papua,” ujar Ustaz Fadhlan kepada kami, di sela-sela kunjungannya pada peresmian pesantren HILAL Bogor 22 mei lalu.
Ustaz Fadhlan menegaskan, berdasarkan catatan sejarah, Islam adalah agama yang lebih dulu masuk ke Nuu Waar, terutama di Fak-Fak, dibandingkan dengan Kristen. Namun, karena misionaris lebih gencar menyebarkan paham agamanya, maka jadilah agama ini tampak dominan. “Padahal, saat ini jumlah umat Islam bisa lebih banyak dari orang Kristen di sana,” ujarnya.
Karena itulah, ustad yang selalu memakai gamis itu terpanggil untuk mengembalikan kejayaan Islam ke bumi Nuu Waar. Di Fak-Fak khususnya, terdapat kerajaan Islam pertama di Papua, dan Ustaz Fadhlan adalah salah seorang generasi kesekian dari kerajaan Islam itu. Nenek moyangnya dulu adalah penguasa kerajaan Islam disana.
Sebagai penanggung jawab meneruskan kerajaan Islam, Ustaz Fadhlan berkewajiban untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam di Nuu Waar. Ia masuk keluar masuk pedalaman, turun dan naik gunung menyebarkan Islam. Bahkan harus berjalan kaki untuk mengenalkan dakwah Islam kepada penduduk setempat. “Alhamdulillah, sudah banyak yang mengenal Islam.”
Lalu mengapa dirinya tetap mau berdakwah ditengah sulitnya kondisi alam dan luasnya wilayah dakwah? Bagi Ustaz Fadhlan , disitulah tantangannya. “Kami berkewajiban untuk menyampaikan risalah Islam. Jika di akhirat kelak malaikat bertanya; “Mengapa ada saudaramu di pedalaman yang belum memeluk Islam?” Itu berarti tanggung jawab kita semua, umat Muslim di Indonesia, yang belum mampu mendakwahkan ajaran Islam dengan baik,” terangnya.
Dalam mengenalkan Islam kepada penduduk setempat tidaklah mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi. Mulai dari soal luas wilayah, kondisi alam yang sulit karena terjal, bebatuan, ada pegunungan, dan lainnya. Namun, semua itu tidak membuat Ustaz Fadhlan dan rekan-rekannya berhenti dalam berdakwah.
“Dulu, sebelum ada kapal Al Fatih Kafilah Nusantara (AFKN) 1 dan 2, untuk mencapai tempat yang dituju, kami harus berjalan kaki, dan itu bisa membutuhkan waktu hingga tiga bulan. Terkadang ada binatang buas juga. Tapi itu semua adalah tantangan untuk ditaklukkan,” ujarnya.
Rintangan bukan hanya soal kondisi alam saja, tetapi respon penduduk setempat. “Terkadang ada juga yang melemparkan tombak bahkan panah. Ya, itu sudah biasa kami alami. Itu belum seberapa dibandingkan perjuangan Rasulullah. Beliau bahkan diusir dari negerinya (Makkah), karena ketidaksukaan penduduknya menerima dakwah Rasul. Namun beliau tetap sabar. Karena itu pula, kami pun harus sabar,” terangnya.
Begitu beratnya tantangan dakwah, tak sedikit beberapa anggota dai yang dibawa Ustaz Fadhlan memilih kembali pulang. Mereka ngeri mendengar berbagai ancaman yang ada. “Saya katakan, apakah mereka siap mati syahid? Dari 20 orang yang bertahan hanya tujuh orang.”
Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, serta tawakal kepada Allah, berbagai usaha dan upayanya, kini membuahkan hasil. Sudah banyak penduduk Papua yang menjadi Muslim. Ia menyebutkan sekitar 221 suku yang sudah memeluk Islam. Subhanallah..! Jumlah warga tiap suku bervariasi, mulai dari ratusan sampai ribuan. Jika dipukul rata tiap suku seribu orang, maka kerja keras Ustad Fadlan sudah mengislamkan 220 ribu orang Papua pedalaman.
Ini belum termasuk jumlah tempat ibadah yang dibangun. Mungkin ratusan jumlahnya. Inovasi dakwah yang dilakukan Ustadz Fadzlan telah menyentuh masyarakat Papua yang sebelumnya jahiliyah menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi peradaban. Sederhana saja, ia kenalkan Islam pada masyarakat Papua melalui sabun mandi. Perlu diketahui, sebelum mengenal Islam, orang Irian terbiasa mandi dengan melulurkan minyak babi ke tubuh mereka. Katanya untuk menghindari nyamuk dan udara dingin. Sejak “berkenalan” dengan sabun mandi, masyarakat Papua itu kini tak lagi menggunakan lemak babi.
“Kami berdakwah tentang kebersihan secara bertahap. Suatu ketika pernah ada seorang kepala suku yang begitu menikmati sabun mandi. Kemudian tanpa dibilas lagi, kepala suku itu langsung keliling kampung karena merasa senang dengan bau wangi sabun ditubunya,” kenang Fadzlan seraya tersenyum lebar.
Bukan hanya sabun mandi, Ustadz Fadzlan juga mengajarkan masyarakat Nuuwar yang selama ini hanya mengenakan koteka (bagi yang pria) lalu secara bertahap mulai mengenakan pakaian.
Julukan sebagai salah satu provinsi yang tertinggal lantas kerap disematkan pada wilayah paling timur di Indonesia ini. Jika ada orang Papua yang punya keistimewaan, mereka kerap dijuluki sebagai mutiara hitam. Dan salah satu yang layak memperoleh ‘gelar’ itu adalah Muhammad Zaaf Ustaz Fadhlan Rabbani Al-Garamatan.
Pria kelahiran Patipi, Fak-Fak, 17 Mei 1969 itu, adalah putra dari pasangan Machmud Ibnu Abu Bakar Ibnu Husein Ibnu Suar Al-Garamatan dan Siti Rukiah binti Ismail Ibnu Muhammad Iribaram. Sejak tahun 1985, ia memulai dakwahnya di bumi Papua. Ustaz Fadhlan , lebih senang menyebut Papua dengan Nuu Waar.
Nuu Waar adalah nama pertama untuk Papua, sebelum berubah menjadi Irian Jaya, dan Papua saat ini. Nuu Waar, dalam bahasa orang Papua, berarti cahaya yang menyimpan rahasia alam. “Papua dalam bahasa setempat berarti keriting. Karena itu, komunitas Muslim lebih senang menyebutnya dengan Nuu Waar dibandingkan Irian atau Papua,” ujar Ustaz Fadhlan kepada kami, di sela-sela kunjungannya pada peresmian pesantren HILAL Bogor 22 mei lalu.
Ustaz Fadhlan menegaskan, berdasarkan catatan sejarah, Islam adalah agama yang lebih dulu masuk ke Nuu Waar, terutama di Fak-Fak, dibandingkan dengan Kristen. Namun, karena misionaris lebih gencar menyebarkan paham agamanya, maka jadilah agama ini tampak dominan. “Padahal, saat ini jumlah umat Islam bisa lebih banyak dari orang Kristen di sana,” ujarnya.
Karena itulah, ustad yang selalu memakai gamis itu terpanggil untuk mengembalikan kejayaan Islam ke bumi Nuu Waar. Di Fak-Fak khususnya, terdapat kerajaan Islam pertama di Papua, dan Ustaz Fadhlan adalah salah seorang generasi kesekian dari kerajaan Islam itu. Nenek moyangnya dulu adalah penguasa kerajaan Islam disana.
Sebagai penanggung jawab meneruskan kerajaan Islam, Ustaz Fadhlan berkewajiban untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam di Nuu Waar. Ia masuk keluar masuk pedalaman, turun dan naik gunung menyebarkan Islam. Bahkan harus berjalan kaki untuk mengenalkan dakwah Islam kepada penduduk setempat. “Alhamdulillah, sudah banyak yang mengenal Islam.”
Lalu mengapa dirinya tetap mau berdakwah ditengah sulitnya kondisi alam dan luasnya wilayah dakwah? Bagi Ustaz Fadhlan , disitulah tantangannya. “Kami berkewajiban untuk menyampaikan risalah Islam. Jika di akhirat kelak malaikat bertanya; “Mengapa ada saudaramu di pedalaman yang belum memeluk Islam?” Itu berarti tanggung jawab kita semua, umat Muslim di Indonesia, yang belum mampu mendakwahkan ajaran Islam dengan baik,” terangnya.
Dalam mengenalkan Islam kepada penduduk setempat tidaklah mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi. Mulai dari soal luas wilayah, kondisi alam yang sulit karena terjal, bebatuan, ada pegunungan, dan lainnya. Namun, semua itu tidak membuat Ustaz Fadhlan dan rekan-rekannya berhenti dalam berdakwah.
“Dulu, sebelum ada kapal Al Fatih Kafilah Nusantara (AFKN) 1 dan 2, untuk mencapai tempat yang dituju, kami harus berjalan kaki, dan itu bisa membutuhkan waktu hingga tiga bulan. Terkadang ada binatang buas juga. Tapi itu semua adalah tantangan untuk ditaklukkan,” ujarnya.
Rintangan bukan hanya soal kondisi alam saja, tetapi respon penduduk setempat. “Terkadang ada juga yang melemparkan tombak bahkan panah. Ya, itu sudah biasa kami alami. Itu belum seberapa dibandingkan perjuangan Rasulullah. Beliau bahkan diusir dari negerinya (Makkah), karena ketidaksukaan penduduknya menerima dakwah Rasul. Namun beliau tetap sabar. Karena itu pula, kami pun harus sabar,” terangnya.
Begitu beratnya tantangan dakwah, tak sedikit beberapa anggota dai yang dibawa Ustaz Fadhlan memilih kembali pulang. Mereka ngeri mendengar berbagai ancaman yang ada. “Saya katakan, apakah mereka siap mati syahid? Dari 20 orang yang bertahan hanya tujuh orang.”
Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, serta tawakal kepada Allah, berbagai usaha dan upayanya, kini membuahkan hasil. Sudah banyak penduduk Papua yang menjadi Muslim. Ia menyebutkan sekitar 221 suku yang sudah memeluk Islam. Subhanallah..! Jumlah warga tiap suku bervariasi, mulai dari ratusan sampai ribuan. Jika dipukul rata tiap suku seribu orang, maka kerja keras Ustad Fadlan sudah mengislamkan 220 ribu orang Papua pedalaman.
Ini belum termasuk jumlah tempat ibadah yang dibangun. Mungkin ratusan jumlahnya. Inovasi dakwah yang dilakukan Ustadz Fadzlan telah menyentuh masyarakat Papua yang sebelumnya jahiliyah menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi peradaban. Sederhana saja, ia kenalkan Islam pada masyarakat Papua melalui sabun mandi. Perlu diketahui, sebelum mengenal Islam, orang Irian terbiasa mandi dengan melulurkan minyak babi ke tubuh mereka. Katanya untuk menghindari nyamuk dan udara dingin. Sejak “berkenalan” dengan sabun mandi, masyarakat Papua itu kini tak lagi menggunakan lemak babi.
“Kami berdakwah tentang kebersihan secara bertahap. Suatu ketika pernah ada seorang kepala suku yang begitu menikmati sabun mandi. Kemudian tanpa dibilas lagi, kepala suku itu langsung keliling kampung karena merasa senang dengan bau wangi sabun ditubunya,” kenang Fadzlan seraya tersenyum lebar.
Bukan hanya sabun mandi, Ustadz Fadzlan juga mengajarkan masyarakat Nuuwar yang selama ini hanya mengenakan koteka (bagi yang pria) lalu secara bertahap mulai mengenakan pakaian.
“Awalnya kami kenalkan celana kolor, mereka tertawa. Namun, ketika mereka memakainya dan lama-lama enjoy, malah akhirnya malu melepasnya. Lalu kami bawakan cermin. Ketika masih telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan baju, mereka merasakan perubahan dalam dirinya. Ternyata lebih bagus,” kata Fadzlan yang juga menjembatani generasi Nuuwar untuk mendapatkan beasiswa pendidikan.
“Awalnya kami kenalkan celana kolor, mereka tertawa. Namun, ketika mereka memakainya dan lama-lama enjoy, malah akhirnya malu melepasnya. Lalu kami bawakan cermin. Ketika masih telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan baju, mereka merasakan perubahan dalam dirinya."
Sumber : ulil-albab.uika-bogor.ac.id/berita-125-dibalik-cerita-ustadz-sabun-mandi--dari-papua.html
Berita terkait : klik > PAPUA
---
Komentar Anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda