Menjelang pemilihan umum (Pemilu) legislatif tahun 2014, suhu politik tanah air kian memanas. Hal itu ditandai dengan masifnya sosialisasi yang dilakukan partai politik peserta pemilu melalui berbagai media atau saluran publikasi yang ada.
Bak cendawan di musim hujan, baliho/spanduk bergambar tampang politisi pun kini nampak mengotori (sengaja tidak menggunakan kata “menghiasi”) sudut jalan, pohon-pohon, kendaraan (umum dan atau pribadi) serta tempat-tempat ibadah.
Tak hanya itu, layar kaca (televisi) kini juga mulai ramai dengan iklan politik, terutama parpol yang memiliki hablu minal media atau hubungan dengan media.
Tentu sebagian dari kita telah mafhum, bahwa sejumlah elit parpol diketahui menjadi bagian tak terpisahkan dari perusahaan media televisi tertentu. Sebut saja Ketua Umum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie (ARB) dengan Antv dan tvone, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (SP) dengan Metro tv serta Ketua Dewan Pertimbangan Partai Hanura Harry Tanoesoedibjo (HT) bersama Media Nusantara Citra atau MNC Group (RCTI, Global TV, MNC TV dan puluhan TV lokal).
Diluar adanya keterkaitan mereka dengan medianya masing-masing itu, publik tetap berharap agar “invasi” iklan itu berlangsung secara sehat sesuai aturan perundang-undangan (khususnya UU no. 32 Tahun 2002 Tentang Komisi Penyiaran Indonesia), serta jauh dari sifat “aji mumpung”.
Sebab, frekuensi untuk memancarkan siaran televisi itu milik publik, sehingga jangan ada pihak manapun yang memanfaatkannya di luar kepentingan publik.
Caleg “PORNO”
Sebagaimana diketahui, sistem pemilu kita membuka ruang kompetisi yang sangat ketat antar caleg untuk bisa lolos menjadi legislator (baik Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Pusat).
Persaingan tersebut terjadi bukan hanya antar caleg dalam satu partai saja namun juga antar caleg di luar partai mereka dalam satu daerah pemilihan (dapil).
Kondisi itu seringkali membuat sebagian besar caleg memilih tak hanya menebar visi dan misi, namun juga “gizi” sebagai penambah daya sedot pemilih.
Kerja pemenangan pemilu memang memerlukan cost (biaya), namun parpol berikut calegnya harus tetap menimbang biaya yang dikeluarkan saat kampanye dengan jumlah gaji yang akan mereka terima saat terpilih.
Sebab telah menjadi standar pemikiran umum, bahwa jika ada caleg yang mengeluarkan biaya kampanye lebih besar daripada gajinya, maka caleg yang demikian itulah yang berpotensi menjadi penggarong uang rakyat melalui kementerian atau lembaga pemerintah lainnya.
Pemikiran tersebut sangat sederhana, namun benar-benar sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Adanya sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2009-2014 yang tersangkut kasus korupsi proyek di sejumlah kementerian menjadi bukti nyata bagaimana parpol/caleg memperkaya diri. “Mana ada pedagang yang mau rugi?” mungkin begitulah kira-kira yang mereka ucapkan.
Tak heran, jika Transparency Internasional Indonesia (TII), dalam surveynya menempatkan partai politik dan DPR saat ini sebagai lembaga terkorup diantara lembaga negara lainnya.
Dengan melihat rekam jejak anggota dewan produk pemilu tahun 2009 tersebut, kini saatnya publik terbangun kesadaran kritisnya demi menatap pemilu tahun 2014 mendatang.
Selektifitas dalam memilih caleg pada pemilu 2014 menjadi keniscayaan. Sebab di pemilu tersebut diyakini oleh sebagian pihak menjadi penentu masa depan Indonesia.
Oleh sebab itu, aspek kapasitas, kapabilitas dan integritas para caleg, sedapatnya bisa mulai diteropong sejak dini demi mendapatkan wakil rakyat yang berkualitas,amanah, dan berpihak pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Selain itu, penulis berpendapat, setidaknya para caleg itu memenuhi lima kualifikasi sebagai berikut:
1. Produktif
Anggota DPR mendatang dituntut lebih produktif dalam membuat undang-undang (legislasi). Sebab jika menilik tingkat produktifitas DPR hari ini, pencapaian legislasi tiap tahunnya sangat rendah jika dibanding prolegnas yang telah ditetapkan sebelumnya.
2.Objektif
DPR kedepan harus mampu memahami ruang batin masyarakat. Dalam konteks hari ini, banyak produk hukum berupa Undang-Undang (UU) atau pasal dari undang-undang yang ditelurkan di Senayan tidak objektif dan tidak sesuai kebutuhan serta kehendak rakyat. Tak sedikit, UU atau pasal dalam UU harus mendapat penolakan sehingga harus diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap merugikan hak konstitusional masyarakat.
3. Reformis
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setelah 15 tahun reformasi, kondisi Indonesia belum mengalami perubahan yang signifikan terutama aspek penegakan hukum. Di periode mendatang kita butuh sosok caleg reformis yang memiliki track record bersih. Sebab kondisi negara sudah memprihatinkan akibat dibajak politikus oportunis koruptif.
4. Negarawan
Tak banyak di negeri ini yang menjadi pejabat atau politikus yang negarawan. Ego pribadi dan golongan lebih sering muncul daripada semangat membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang notabene sangat majemuk dengan berbagai macam latar belakang, dari Sabang sampai Merauke.
Semangat “ke-aku-an” lebih menonjol ketimbang semangat “ke-kita-an”. Diskriminasi suku, agama, atau pun lainnya hingga kini kerap kali muncul dipermukaan. Padahal, kita adalah satu anak bangsa, yang sama-sama berhak hidup layak di negeri ini, Indonesia.
5. On The Track
Sebagai warga yang memberi mandat, tentu kita berharap legislator tetap bekerja sesuai etika, aturan dan perundang-undangan yang ada. Kita tidak ingin kata mendengar kata “plesiran”,”Anggota Dewan diciduk KPK” dan istilah lain yang sejenis.
Itulah kualifikasi caleg versi penulis yang disebut caleg “PORNO" (Produktif, Objektif, Reformis, Negarawan dan On The Track). Anda sepakat dengan istilah ini? Sebagian tentu tidak. Namun yang pasti, ini hanya istilah versi penulis.
Wassalam.
Besur-Sekaran LA, 3 Desember 2013.
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda