Ia politisi, uztad dan cendekiawan yang bergaya lembut serta
menge-depankan moral dan dakwah. Sosoknya semakin dikenal masyarakat
luas setelah ia menjabat Presiden Partai Keadilan (PK), kemudian menjadi
Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini memperoleh suara
signifikan dalam Pemilu 2004 yang mengantarkannya menjadi Ketua MPR
2004-2009. Kepemimpinnya memberi warna tersendiri dalam peta
perpolitikan nasional.
Nama: DR. H.M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A
Lahir: Klaten, 8 April 1960
Agama: Islam
Jabatan:
-Ketua MPR 2004-2009
-Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera
Isteri: Hj. Kastrian Indriawati
Anak:
1. Inayatu Dzil Izzati
2. Ruzaina
3. Alla Khairi
4. Hubaib Shidiqi
Pendidikan:
- SDN Kebondalem Kidul I, Prambanan Klaten, 1972
- Pondok Pesantren Walisongo, Ngabar Ponorogo, 1973
- Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, 1978
- IAIN Sunan Kalijogo, Yogyakarta ( Fakultas Syari’ah), 1979
- Fakultas Dakwah & Ushuluddin Universitas Islam Madinah Arab Saudi, 1983 Judul Skripsi “ Mauqif Al-Yahud Min Islam Al Anshar”
- Program Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah Arab Saudi, jurusan Aqidah, 1987 Judul Skripsi “ Al Bathiniyyaun Fi Indonesia,”Ardh wa Dirosah”
- Program Doktor Pasca Sarjana Universitas Islam Medina, Arab Saudi, Fakultas Dakwah & Ushuludiin, Jurusan Aqidah, 1992 Judul Diskripsi “Nawayidh lir Rawafidh Lil Barzanji, Tahqiq wa Dirosah”
Pekerjaan:
- Dosen Pasca Sarjana Magister Studi Islam, UMJ
- Dosen Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum, UMJ
- Dosen Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Dosen Fakultas Ushuluddin (Program Khusus) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Dosen Pasca Sarjana Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta
- Ketua LP2SI (Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam) Yayasan Al-Haramain, Jakarta
- Dewan Redaksi Jurnal “Ma’rifah”
- Ketua Forum Dakwah Indonesia
Organisasi:
- Anggota PII, 1973
- Andalan Koordinator Pramuka Gontor bidang kesekretariatan, 1977 – 1978
- Training HMI IAIN Yogyakarta, 1979
- Sekretaris MIP PPI Madinah, Arab Saudi, 1981 – 1983
- Ketua PPI Arab Saudi, 1983 – 1985
- Peneliti LKFKH (Lembaga Kajian Fiqh dan Hukum) Al Khairot
- Anggota Pengurus badan Wakaf Pondok Modern Gontor, 1999
Seminar dan Karya Ilmiah:
- Menghadiri undangan MASG di IIlinois, AS, 1994 (Menyampaikan prasaran)
- Menghadiri undangan International Islamic Student Organisation di Istambul, Turki, 1996
- Seminar Internasional madrasah wak Tanjung Al-Islamiyyah, Singapore, 1998 (Menyampaikan makalah).
- Menghadiri undangan Seminar International dari Moslem Association of Britain di Manchester dan London.
- Seminar mahasiswa Indonesia di Malaysia, 1999 (Menyampaikan makalah).
- Seminar Internasional dari LIPIA dari Universitas Imam Muhammad bin Saud Riyadh, di Jakarta (Menyampaikan makalah), 1999 bersama KH. Irfan Zidny, MA, Prof.Ismail Sunni dan KH. Abdullah Syukri Zarkasi, MA.
- Menghadiri seminar Internasional di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, bekerjasama dengan Universitas Imam Muhammad Saud, Jakarta 1999.
- Menghadiri undangan festival nasional dan seminar internasional Janadriyah, Riyad, Arab Saudi (tahun 2000) bersama Prof. Dr. Nurcholis Madjid dan Prof. Dr. Amien Rais.
- Menghadiri undangan seminar Perkembangan Islam di Eropa dari Islamiska Forbundet I Sverige, Stockholm, Swedia.
- Berbagai seminar di dalam negeri
- Membimbing dan menguji tesis master mahasiswa pasca sarjana Universitas Muhammadiyah dan IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Kata Pengantar buku-buku terjemahan:
- Prinsip-prinsip Islam untuk kehidupan oleh Prof. Sholeh Shawi
- Ensiklopedi Figh wanita oleh Prof. Abdul Karim Zaid (cetakan Rabbani Pres)
- Pengantar studi Islam oleh Ust. Prof. Yusuf Al Qordhowi (cetakan Al-Kautsar)
- As-Sunnah sebagai sumber ilmu dan kebudayaan oleh Ust. Prof. Yusuf Al Qordhowi (cetakan Al-Kautsar)
- Fitnah Kubro, klarifikasi sikap para sahabat oleh Prof. Amhazun (cetakan Al-Haramain)
- Kajian atas kajian Hadits Misogini (dalam buku Feminisme)
- Tadabbur Surah Al Kahfi (dalam bulletin Tafakkur)
- Tadabbur Surah Yasin (dalam bulletin Tafakur)
- Editor terjemah tafsir Ibnu Katsir
- Menulis rubrik HIKMAH di harian REPUBLIKA
- Beberapa makalah diseminar-seminar
- Tajdid sebagai sebuah harakah (jurnal Ma’rifah)
- Revivalisme Islam dan Fundamentalisme sekuler dalam sorotan sejarah (dalam buku menggugat gerakan pembaharuan Islam)
- Inklusivisme Islam dalam literatur klasik (dalam jurnal Profetika)
Alamat :
Jl. H. Rijin No. 196, Jati Makmur, Pondok Gede, Bekasi
Dr HM Hidayat Nur Wahid, MA "Kedepankan Moral dan Dakwah"
Ia
politisi, uztad dan cendekiawan yang bergaya lembut serta
menge-depankan moral dan dakwah. Sosoknya semakin dikenal masyarakat
luas setelah ia menjabat Presiden Partai Keadilan (PK), kemudian menjadi
Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini memperoleh suara
signifikan dalam Pemilu 2004 yang mengantarkannya menjadi Ketua MPR
2004-2009. Kepemimpinnya memberi warna tersendiri dalam peta
perpolitikan nasional.
Setelah terpilih menjadi Ketua MPR, dia pun mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum DPP PKS, 11 Oktober 2004. Majelis Surya DPP PKS memilih Tifatul Sembiring menggantikannya sampai akhir periode (2001-2005).
Sudah menjadi komitmen partainya, setiap kader tidak pantas merangkap jabatan di partai manakala dipercaya menjabat di lembaga kenegaraan dan pemerintahan (publik). Hal ini untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan jabatan. Sekaligus untuk dapat memusatkan diri pada jabatan di lembaga kenegaraan tersebut.
Dosen Pasca Sarjana UAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini tidak pernah bercita-cita jadi politisi. Namun setelah memasuki kegiatan politik praktis namanya melejit, bahkan dalam berbagai poling sebelum Pemilu 2004 namanya berada di peringkat atas sebagai salah seorang calon Presiden atau Wakil Presiden. Namun dia mampu menahan diri, tidak bersedia dicalonkan dalam perebutan kursi presiden kendati PKS dengan perolehan suara 7 persen lebih dalam Pemilu Legislatif berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Dia menyatakan akan bersedia dicalonkan jika PKS memperoleh 20 persen suara Pemilu Legislatif.
Pada Pemilu Presiden putaran pertama PKS mendukung Capres-Cawapres Amien Rais-Siswono. Lalu karena Amien-Siswono tidak lolos ke putaran kedua, PKS mendukung Capres-Cawapres Susilo BY dan Jusuf Kalla dalam Pilpres putaran kedua. Dukungan PKS ini sangat signifikan menentukan kemenangan pasangan ini.
Kemudian partai-partai pendukung SBY-Kalla plus PPP (keluar dari Koalisi Kebangsaan) yang bergabung di legislatif dengan sebutan populer Koalisi Kerakyatan mencalonkannya menjadi Ketua MPR. Hidayat Nur Wahid sebagai Calon Paket B (Koalisi Kerakyatan) ini terpilih menjadi Ketua MPR RI 2004-2009 dengan meraih 326 suara, unggul dua suara dari Sucipto Calon Paket A (Koalisi Kebangsaan) yang meraih 324 suara, dan 3 suara abstain serta 10 suara tidak sah. Pemilihan berlangsung demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR di Gedung MPR, Senayan, Jakarta 6 Oktober 2004.
Koalisi Kerakyatan mencalonkan Paket B yakni Hidayat Nur Wahid dari F-PKS sebagai calon ketua dan AM Fatwa dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), serta dua dari unsur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) BRAy Mooryati Sudibyo dari DKI Jakarta dan Aksa Mahmud dari Sulawesi Selatan masing-masing sebagai calon wakil ketua. Sedangkan Koalisi Kebangsaan mencalonkan Paket A yakni Sucipto dari Fraksi PDI Perjuangan sebagai calon ketua, kemudian Theo L. Sambuaga dari Fraksi Partai Golkar dan dua unsur DPD Sarwono Kusumaatmaja dari DKI Jakarta dan Aida Ismet Nasution dari Kepulauan Riau, masing-masing sebagai calon wakil ketua.
Kepemimpinan di PKS
Dalam memimpin PKS, ia bertekad menjadikan partai ini merupakan solusi bagi permasa-lahan bangsa. Dalam wawancara dengan Wartawan TokohIndonesia DotCom, ia mengatakan, partainya tidak semata-mata ingin ikut dan memenangkan Pemilu, melainkan kehadiran PKS harus merupakan solusi bagi permasalahan bangsa. (Baca Wawancara)
PKS datang sebagai bagian dari solusi. Caranya adalah dengan tidak menjalankan politik kotor, menghalalkan segala cara, politik yang menolerir korupsi. Maka, kalau ada tokoh yang mempunyai massa besar tapi moralitas Islamnya bermasalah, tidak mempunyai tempat di PK (PKS). Partai ini lebih memilih menjadi partai yang kecil tapi signifikan ketimbang harus merusak citra Islam hanya dengan dalih vote getter.
Begitu pula dalam memilih koalisi. PKS membuka diri untuk bekerja sama dengan beragam partai yang tetap berkomitmen dengan politik yang bersih, peduli, bermoral dan berpegang pada cita-cita reformasi.
Bagi PKS, dalam berpolitik keberkahan adalah hal yang utama. Kemenangan bukan tujuan PKS. ”Itulah sebabnya kalau bukan lantaran pertolongan Allah swt mustahil PK (PKS) bisa melangkah seperti sekarang. Ini semua bagian dari tadbir rabbani (pengaturan Allah),” kata pria kelahiran Klaten 8 April 1960, yang juga aktif dalam gerakan menolak perang dan rencana serangan militer Amerika Serikat ke Irak dan tindakan tidak berperikemanusiaan Israel kepada Palestina.
Ia dalam memimpin PK sangat selektif dalam soal kepemimpinan dan kepengurusan. Namun bukan berarti partai ini eksklusif. Karena menurutnya, soal eksklusif atau tidak itu soal persepsi. Sebab, pada tingkat konstituen, PKS terbuka terhadap siapa pun, termasuk kalangan nonmuslim. Ia mengakui, dengan menyatakan diri sebagai partai Islam, PK (PKS) pernah dianggap eksklusif, bahkan sempat dicap fundamentalis. ”Ya, itu bisa eksklusif jika Islam dipahami sebagai sesuatu yang sangat terbatas dan sangat angker. Tapi itu bisa inklusif jika Islam dipahami sebagai sebuah paradigma,” katanya.
Sebagai sebuah paradigma, jelasnya, Islam sedikitnya meliputi empat hal. Pertama, al-islam itu sendiri, yakni penyerahan diri kepada Allah Sang Pencipta. Kedua, al-silm, yang berarti kedamaian. Ketiga, al-salam, artinya kesejahteraan. Keempat, al-salamah, yang artinya keamanan atau keselamatan.
Itulah nilai-nilai Islam yang berlaku universal. Tapi, menurut-nya, yang terpenting memang perilaku kader PK itu sendiri. Apakah mereka bisa bekerjasama secara konstruktif dengan pihak-pihak lain atau tidak. ”Sejauh yang kami lihat, kawan-kawan PK, termasuk yang ada di lembaga perwakilan, umumnya bisa bekerja-sama dengan pihak lain dalam membela kebenaran,” kata alumnus Universitas Islam Madinah ini.
Dalam rangka memperluas dukungan, pihaknya tidak begitu saja mau menerima orang. Menurutnya, kalau ada organisasi yang begitu saja mudah menerima orang-orang yang biasa disebut ‘kutu loncat’ itu lantaran ia punya massa atau sumber daya dana yang besar, maka itu menunjukkan bahwa organisasi itu gagal dalam kaderisasi dan soliditasnya, apalagi untuk tingkat elit. Dan pada gilirannya organisasi itu akan menjadi mandul.
Dalam sebuah partai, menurut-nya, ada dua hal yakni massa dan pemimpin. Sama halnya dengan dakwah, kalau partai ini dipimpin oleh orang yang punya massa banyak tapi secara moral bermasa-lah, misalnya berperilaku maling, maka kita bukan lagi sedang men-jalankan Islam tapi malah menipu masyarakat dan perpolitikan kita.
Ia menegaskan bahwa partainya tidak mau seperti itu. Karena pada hakekatnya politik PKS adalah politik Islam yang asasnya Islam dan visinya dakwah dan pelayanan.
Karena itu, PKS tidak perlu memasukkan hal-hal yang syubhat, apalagi yang haram, walaupun hal itu bisa mendatangkan kepuasan. Sebab, menurutnya, kalau itu dilakukan juga, maka yakinlah bahwa umur dakwah ini akan sangat pendek. Sebentar saja akan muncul berbagai konflik yang luar biasa, fitnah yang tidak karuan yang pada akhirnya akan mematikan dakwah.
Dalam bekerjasama dengan pihak lain, prinsipnya, PKS tidak pernah memetakan pihak lain dalam posisi yang selalu benar atau selalu salah. Meski demikian PKS selalu melihatnya secara kritis. Karena itu, katanya, PKS tidak pernah pilih-pilih untuk bekerja sama, selama itu menyangkut kemaslahatan dan membela kebenaran. Sebaliknya, PKS akan selalu tegas menolak, jika itu menyangkut kemudaratan atau upaya mengaburkan kebenaran.
Selama kepemimpinannya, PKS selalu tampil simpatik dalam menyikapi berbagai masalah dalam negeri maupun dunia. Termasuk dalam menyikapi konflik antara orang Islam dan non Islam seperti di Maluku, PKS tidak bersikap reaktif seperti Laskar Jihad. Juga dalam menyikapi ancaman perang yang dilancarkan AS ke Irak. PKS melakukan demo besar-besaran, tetapi sangat tertib dan simpatik. Hal ini didasari pemahaman kader partai ini tentang Islam.
“Pemahaman ini menjadi landasan etis bagi kami dalam menyikapi suatu peristiwa dan melakukan dakwah. Di satu sisi, kami memang mencoba memahami bahwa gerakan-gerakan seperti itu merupakan akibat dari akumulasi kekecewaan terhadap kelambanan pemerintah menangani berbagai kasus. Tapi kami lebih memilih gerakan simpatik. Kami mencoba memberikan kontribusi riil, seperti bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi,” katanya.
Partai ini juga tidak ikut latah membentuk atau menggerakkan pasukan ataupun satgas seperti dilakukan organisasi dan partai lain. Karena, menurutnya, itu urusan negara, jangan memberi peluang masayarakat sipil untuk berperang. Sebab, akibatnya akan lebih kacau. Islam sendiri jelas-jelas melarang segala bentuk pengrusakan. Jangankan pembinasaan terhadap sesama manusia, pengrusakan tempat ibadah agama lain pun tidak diperbolehkan. Kecuali jika tempat tersebut telah beralih fungsi menjadi tempat makar atau tempat maksiat. Itu pun yang melakukannya tetap harus negara, bukan rakyat sipil.
Partai ini lebih memilih mempunyai kepanduan daripada laskar atau satgas. Pandu ini berpakaian biasa, sikapnya pun ramah-tamah. Sebab, ia juga berpandangan bahwa soal keamanan dan ketertiban adalah tugas aparat negara, yakni tentara dan polisi. Maka yang perlu didorong adalah agar tentara dan polisi harus profesional. Tidak perlu ikut merambah ke bidang-bidang lain, misalnya lewat dwifungsi.
Penuh Tawakal
Ia tak pernah menargetkan atau memprogramkan mau jadi apapun, termasuk menjadi ketua partai. Ia mengaku menjalani hidup mengalir begitu saja dengan penuh tawakal. ”Dan Alhamdulillah, hidup saya berjalan dengan lancar,” katanya. Sepanjang pengalaman pribadinya, ia merasa Allah membimbing dan memberikan yang terbaik buatnya. Ini yang membuatnya semakin yakin bahwa Allah itu Mahabijak, Mahakuasa dan takdir itu memang ada.
Termasuk memilih sekolah setelah lulus SD. Ia sendiri tidak pernah berpikir, berangan-angan untuk masuk ke Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Ia dimasukkan ayahnya ke Gontor karena banyak saudaranya yang sekolah di sana. Dan, Alhamdulillah, selama mengenyam pendidikan di Gontor, ia selalu ranking pertama atau kedua.
Kemudian ia melanjutkan studi ke Madinah. Sama seperti masuknya ke Gontor, ia pun tidak pernah berpikir untuk kuliah di luar negeri, Timur Tengah atau Madinah. Ia justru berkeinginan masuk ke Fakultas Kedokteran UGM yang memang menjadi favorit bagi anak-anak seusianya di SMA.
Tapi sewaktu ia lulus, ia dipanggil kyai dan diberi ijazah, ada seorang kawan yang bilang bahwa mubadzir kalau ijazah dari Gontor hanya untuk meneruskan studi di dalam negeri. Lalu si kawan itu mengusahakan agar ia sekolah ke luar negeri. Akhirnya ia kuliah di Universitas Islam Madinah. Padahal sampai saat itu ia belum punya keinginan untuk ke luar negeri. Tidak tanggung-tanggung, selama 13 tahun, suami Hj Kastrian Indriawati yang telah dikaruniai dua orang putri dan empat orang putra itu menimba ilmu keislaman di bumi tempat Rasullulah SAW dimakamkan.
Setelah selesai S-1, ia pun tidak terpikir untuk melanjutkan ke S-2. Tapi tiba-tiba namanya masuk nominasi untuk ikut ujian S-2. Hari itu ia dapat informasi dari orang lain dan hari itu juga ia harus menempuh ujiannya. Dan tenyata alhamdulillah lulus.
Ketika masuk S-3 pun ia tidak punya niat sama sekali. Dosen pembimbingnya yang agak memaksa supaya ia mengambil peluang S-3 yang diberikannya. Padahal waktu itu, ia sudah ngotot untuk pulang ke Indonesia untuk berdakwah. Sepulang dari tanah suci, ia aktif dalam berbagai kegiatan dakwah sebelum terjun di dunia politik tahun 1999.
”Begitulah hidup saya bergulir tanpa terencana sampai akhirnya hampir tiga belas tahun saya tinggal di Madinah. Ketika bikin partai pun saya tidak pernah terpikir sama sekali sebelumnya. Pokoknya mengalir begitu saja,”kata politisi yang bercita-cita jadi penulis itu.
Kesibukannya di partai tentu menyita waktu yang biasanya ia gunakan untuk keluarga. Tapi ia merasa diuntungkan oleh keluarganya. ”Istri saya adalah tamatan Mu’allimat Yogya yang mantan aktivis organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah di tingkat nasional. Sehingga sedikit banyak manajemen keluarga kami bisa lebih teratur,” kata pria yang sebelumnya tidak pernah bercita-cita menjadi politisi ini.
Tapi meski begitu, ia berusaha berlaku adil karena bagaimana pun segala sesuatu punya hak, apalagi keluarga. ”Dan insya Allah saya akan tetap berkomitmen untuk membina keluarga serta di sisi lain mengurus dakwah di partai, karena keduanya merupakan hal yang saling melengkapi bukan saling menafikan,” katanya, lalu menjelaskan mengapa ia memilih tinggal dekat dengan Islamic Centre Iqro. Tak lain adalah agar kontrol terhadap anak-anak juga berlangsung lebih baik karena lingkungan itu memang sudah cukup terkondisikan dengan baik.
Pemuka Agama
Latarbelakang kehidupan keluarganya juga sangat mempengaruhi perjalanan hidupnya. Di kampung kelahirannya, keluarganya memang termasuk keluarga pemuka agama. Kakeknya bahkan merupakan tokoh Muhammadiyah di Prambanan. Ayahnya, sekalipun berlatar NU, juga pengurus Muhammadiyah, dan ibunya aktivis Aisyiah.
Namun, ayah dan ibunya tidak pernah secara khusus memaksakan-nya untuk masuk Muhammadiyah. Malah ia aktif di Yayasan Alumni Timur Tengah yang banyak orang NU-nya. Jadi kini ia Muhammadiyah juga NU.
Ia memang tumbuh dalam keluarga yang aktif berorganisasi. Mungkin karena itu, di Pesantren Modern Gontor, di samping menjadi pengurus OSIS, Hidayat pun anggota PII (Pelajar Islam Indonesia). Ketika melanjutkan sekolah di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi, ia pun sempat menjadi ketua perhimpunan mahasiswa asal Indonesia. Dan ia terpaksa berurusan dengan KBRI setempat, karena ia mempersoalkan “Asas Tunggal” dan Penataran P-4.
Selain itu, latar belakang keluarga besarnya juga kebanyakan guru. Karenanya sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan lingkungan buku. Sejak kecil ia sudah terbiasa mengkhatamkan novel silat Ko Ping Ho dan komik-komik Jawa. Hikmahnya, ia jadi punya hobi membaca.
Hingga sekarang, ia tetap membiasakan diri membaca. ”Untuk sekarang karena terlalu sibuk tidak penting berapa banyak yang saya baca dalam sehari, yang jelas setiap hari harus ada buku yang saya baca,” katanya.
Ia sering menerima tamu di perpustakaan pribadinya yang berada di lantai dua rumahnya. Dosen Pasca Sarjana di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah ini memang tergolong kutu buku. Ada sekitar lima lemari besar penuh buku di ruang perpustakaannya, baik yang berbahasa Arab maupun berbahasa Indonesia. Sebagian besar merupakan ‘oleh-oleh’ dari studinya di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia, yang ia tempuh dari jenjang sarjana (S-1) hingga doktor (S-3).
Pimpin Partai
Ia terpilih jadi Presiden Partai Keadilan (PK) dalam Munas I menggantikan Dr.Ir. H. Nur Mahmudi Ismail, MSc yang memilih mundur untuk tetap sebagai PNS. Pemilihan itu berlangsung lancar dan dalam suasana yang sejuk. Tidak seperti pemilihan ketua beberapa partai yang berlangsung panas dan penuh intrik.
Sejak awal Munas nama Hidayat memang sudah masuk dalam daftar nominasi. Maka tidak mengherankan bila dalam sidang Majelis Syuro PK ia terpilih dengan mengantongi suara lebih dari 50% pemilih. Meski demikian, tak nampak eskpresi kemenangan yang terpancar di wajahnya begitu ia dinyatakan sebagai Presiden PK terpilih ketika itu.
Di kalangan PK sendiri, ia disegani. Ia, dalam “embrio” PK, adalah Ketua Dewan Pendiri. Waktu partai itu akan dideklarasikan, ia sebenarnya nyaris didaulat untuk menduduki kursi presiden partai. Namun, ia menolak. Karena dia merasa belum saatnya menduduki posisi itu. Namun, dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PK sebelumnya, ustad ini tak dapat menolak permintaan untuk menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) sekaligus Ketua Dewan Syura – jabatan yang berada di atas jabatan presiden.
Ia mengaku tidak pernah bermimpi akan dipilih oleh rekan-rekan untuk menjadi Presiden PK. Karena itu, ia tidak mempunyai perasaan gembira (berlebihan) atas terpilihnya menjadi Presiden PK. Baginya, ini adalah amanat yang sangat berat. Dan amanat ini bukan hanya harus ia pertanggungjawabkan pada Munas PK (PKS), tetapi juga kepada masyarakat Indonesia serta di hadapan Allah swt.
Karena itu, kepada para aktivis dan simpatisan PK saat itu, ia berharap agar dibantu dan didoakan untuk dapat menjalankan amanat itu dengan baik, yang segera diaminkan para peserta Munas. Pada keesokan harinya, usai shalat shubuh di Masjid Al Qalam Kompleks Islamic Center “Iqro” Pondok Gede, seorang ustadz memimpin doa bersama agar Allah memberikan bimbingan dan pertolongan kepadanya untuk memimpin PK.
Suasananya ketika itu begitu haru. Sehingga matanya tampak berkaca-kaca, lalu terdengar isak tangisnya mengiringi lantunan doa yang mengalir khusyu’ itu. Usai berdoa seluruh jamaah merangkulnya bergantian, sebagai pertanda dukungan kepadanya. Kali ini suasana sudah berganti dengan kehangatan dan keakraban.
Tantangan Berat
Dalam sambutan saat jumpa pers setelah terpilih menjadi Presiden PK, ia pun kembali mengatakan bahwa jabatan itu merupakan amanah yang tidak ringan. Kalau boleh dikatakan, tantangan yang terberat. Ia merinci tantangan dimaksud.
Pertama, masalah pencitraan. Ini suatu hal yang sangat penting. Sebab kadang-kadang orang hanya dari citra saja sudah mengambil sikap. PK misalnya dicitrakan sebagai partainya anak muda, partainya orang-orang yang tidak merokok atau juga partainya orang yang berjilbab.
Pencitraan ini di satu sisi positif yakni segmentasi di dalam PK menjadi jelas. Tapi kemudian dalam konteks dakwah ini menjadi tidak tepat, sebab dasar dakwah ialah Yaa ayyuhannaas, berlaku kepada seluruh segmen masyarakat, apapun kondisi mereka. Tapi pencitraan tadi akhirnya menghambat pelebaran dakwah, sebab nilai-nilai dakwah PK seolah-olah terkungkung hanya pada segmen yang terbatas. ”Ini harus kita atasi,” tegasnya.
Kedua, seperti tergambar dari pandangan DPW-DPW dan utusan luar negeri, yakni faktor konsolidasi internal. Memang banyak pihak yang menilai sangat positif. Misalnya ketika saya ke Riyadh bersama Profesor Nurcholish Madjid, dia ditanya tentang PK. Kemudian beliau menjawab dengan mengambil pendapat dari pandangan Prof. Miriam Budiardjo bahwa PK itu partai orang-orang terpelajar. Tapi sesungguhnya kami sendiri melihat bahwa masih banyak celah yang harus kami konsolidasikan lagi.
Ketiga adalah faktor sosialisasi dan komunikasi massa. Banyak orang yang menilai bahwa setelah Pak Nur jadi menteri seolah-olah PK tiarap. Padahal tidak begitu. Karenanya kami harus menjalin lagi komunikasi yang lebih baik dengan kawan-kawan pers dan siapapun yang punya akses massa.
Keempat, bagaimanapun juga karena kami sudah terjun dalam kancah partai politik, orang tidak lagi memaklumi hal-hal yang riil. Mereka menuntut bahwa partai ini harus besar. Padahal PK ini baru sama sekali. Tentu saja ini merupakan satu masalah sehingga ke depan kami harus melakukan pengkaderan yang masif dan terus-menerus. Targetnya sampai nilai-nilai dakwah menjadi dominan di masyarakat.
Seperti yang sering ia katakan, “Bahkan seandainya Anda tidak masuk ke PK (PKS) sekalipun, tapi Anda mendukung, menegakkan dan melaksanakan keadilan, yang itu berarti Anda mengamalkan Islam, maka Anda sesungguhnya sudah menjadi bagian dari kami.”
Tapi tentu saja agar nilai-nilai itu bisa semakin luas, maka mau tidak mau yang memperjuangkannya harus semakin banyak. Komitmen ini sudah dimulai. Begitu Munas selesai bagian kaderisasi langsung berkumpul dengan seluruh jajarannya untuk melakukan kegiatan pengkaderan. Sehingga ada ungkapan, “Munas selesai, kegiatan kaderisasi jalan terus.”
Kelima, adalah masalah finansial. Bagaimanapun kegiatan partai adalah massal dan harus terprogram secara profesional. Untuk itu kami harus memikirkan bagaimana agar bisa memiliki sumber finansial yang mandiri. Meski begitu sejak awal kami punya keyakinan bahwa aktivitas ini juga adalah aktivitas dakwah yang kewajibannya bersifat individual, sehingga para individu itu juga berkewajiban membiayai dakwah ini.
Semangat Dakwah
Perihal latarbelakang atau tradisi politik yang dijalankan PK, menurutnya, pada tingkat tertentu Cak Nur benar ketika menilai PK dalam buku ‘Tujuh Mesin Pendulang Suara’. ”Tradisi yang kami jalani itu sangat terkait dengan latar belakang kami yang relatif seragam secara pemikiran yakni pemikiran yang mengacu kepada semangat dakwah meskipun dari segi pendidikan kami sangat beragam sekali, ada yang dari Barat, Timur Tengah dan lain-lain.”
Partai ini diuntungkan oleh keadaan beberapa anggota yang kebanyakan adalah orang yang memiliki kafaah, kompetensi syariah yang memadai. Banyak dari mereka yang tamat S3 dari Mesir, Saudi, Pakistan, Malaysia, Eropa, Amerika dan Jepang, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk merujuk secara mendalam kepada literatur-literatur klasik pemikiran Islam, termasuk pemikiran politik.
Mereka juga banyak menyerap berbagai pemikiran politik dari berbagai gerakan Islam kontemporer seperti Ikhwanul Muslimun, Salafiyyah, Refah, Jama’at Islami, PAS, Masyumi dan lain-lain. “Selama ini ummat Islam seolah-olah hanya memiliki rujukan politik kontemporer dari Barat saja yang diakui sudah banyak gagal dan tercemar. Padahal kalau kita merujuk kepada Qur’an dan Sirah Rasulullah secara luas dan mendalam, kita memiliki rujukan yang komprehensif,” katanya.
Maka ia sangat optimis, PK yang kini berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan memperoleh kenaikan suara yang signifikan pada Pemilu 2004, yakni 10%. Partai yang sempat diisukan akan bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) ini menampakkan sosok yang berbeda dengan beberapa organisasi dalam mengonsolidasi diri. Hal ini, antara lain, terlihat dari beberapa kali aktivitasnya dalam demonstrasi yang selalu berlangsung damai dan tertib kendati dihadiri ratusan ribu orang.
Perihal kemungkinan kerjasama dengan partai lain, ia mengatakan seperti tergambar dalam gagasan keadilan yang disebutkan Qur’an surat al-Maidah ayat 8, semangat pembelaan kebenaran harus diberlakukan dengan non Islam sekalipun. Maka, katanya, dalam konteks hubungan kami dengan di luar PKS, selama mereka bisa sesuai dengan visi PKS maka tidak masalah kita bekerjasama.
Begitu pula tentang kemungkinan bergabung dengan sesama partai Islam, ia berpegang pada komitmen bahwa PKS adalah partai yang berusaha mengutamakan wihdatul ummah (persatuan ummat). ”Makanya kami setuju dengan ide satu partai saja untuk ummat Islam. Tapi pada saat yang sama kita juga harus realistis dalam memandang Islam itu sendiri sebab Islam itu tidaklah menafikan kelompok yang banyak,” ujarnya.
Innaa Kholaqnaakum min dzakarin wa untsaa waja’alnaakum syu’uuban wa qobaailan lita’aarafuu. Biarkanlah kemajemukan itu tetap ada, tapi itu semua tidak didikotomikan melainkan disinergikan untuk mencapai ketakwaan. Innaa akramakum ‘indallaahi atqokum.
Dalam hal ini, bersatunya ummat Islam dalam satu partai tidak menjamin kemenangannya. Lihat saja pada masa Orde Baru PPP selalu kalah. Jadi, katanya, logika bersatu adalah menang untuk konteks partai politik tidak selalu benar.
Namun, menurutnya, jangan menganalogikan banyaknya partai Islam itu seperti sekoci-sekoci kecil yang tidak bisa saling bersinergi. Melainkan, ia menganalogikannya sebagai semut-semut kecil yang bisa bekerja sama membangun sinergi. Dengan begitu, katanya, PKS justru tetap menjadikan persatuan ummat sebagai muatan ideologinya.
Perihal pertimbangan yang paling signifikan bergabungnya PK dengan PAN dalam Fraksi Reformasi, karena pada saat itu dalam upaya menegakkan visi reformasi dan demokrasi dengan meminimalisasikan peran militer di DPR.
“Kita kan tahu pimpinan DPR diberikan kepada lima fraksi terbesar. Sementara saat itu urutan kelima adalah Fraksi TNI/Polri dengan 38 kursi, di atas PAN yang cuma 34 kursi dan menempati urutan keenam. Maka kalau kami yang memiliki 7 kursi bergabung dengan PAN berarti suaranya bisa mencapai 41. Ini sudah cukup untuk menggeser posisi TNI/Polri sehingga peran mereka pun semakin kecil, yakni dengan tidak menjadi pimpinan DPR. Akhirnya yang jadi wakil ketua DPR kan Pak AM Fatwa,” jelasnya.
Sementara, mengenai adanya tadzkirah (peringatan) pada saat Munas bagi para kader PK supaya tidak larut ketika berinteraksi dengan masyarakat, ia menjelaskan bahwa tadzkirah itu bermanfaat untuk orang mu’min. Fainnadz dzikra tanfa’ul mu’minin.
Meski begitu, bukan berarti tadzkirah itu terkait dengan keadaan, tapi bisa merupakan tindakan preventif. ”Kami sadar PK adalah kumpulan manusia yang tidak selalu benar. Sehingga taushiyyah semacam itu tetap kami perlukan. Jangan dikira pendukung PK itu sama semua tingkat keimanannya,” katanya.
”Dalam hal ini ada kaidah yang disampaikan Sayid Qutub bahwa generasi Qur’an salah satu cirinya adalah yakhtalituun walakin yatamaayazzuun, mereka berinteraksi dengan masyarakat tapi mereka tidak larut dengan berbagai kebiasaan buruk masyarakat. Bahkan mereka muncul cemerlang dan berbeda di tengah masyarakat dalam hal sikap dan penampilannya yakni selalu berpegang dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran,” jelas pengajar dan pengurus Yayasan Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam Al Haramain ini.
Aktivitasnya di yayasan tersebut tidak ditinggalkan kendati ia sudah sangat sibuk di partai. ”Karena Al Haramain sudah menjadi bagian dari jati diri saya, yakni yang terkait dengan studi Islam dan pelayanan terhadap pesantren,” katanya. Bahkan mungkin pola Al Haramain itulah yang menjadi pola kepemimpinannya sebagai Presiden PK dan Ketua Umum PKS. Artinya kepeduliannya terhadap studi Islam, pendidikan dan pesantren diharapkan menjadi bagian dari aktivitas politiknya. “Karena toh tidak ada bedanya, ini kan sama-sama dakwah juga,” ujarnya.
Bidan PK
Memang banyak orang yang menganggap bahwa lahirnya PK itu dibidani oleh Yayasan Al Haramain dan Sidik (Studi dan Informasi untuk Dunia Islam Kontemporer). Menurutnya, hal itu memang tidak bisa dibantah sekalipun tidak mutlak begitu.
Namun, sebetulnya PK bukan didirikan oleh lembaga-lembaga itu tapi oleh orang-orang yang berkiprah di dalamnya. Bahkan bukan hanya oleh orang-orang dari dua organisasi itu tapi oleh beberapa organisasi lainnya lagi yakni ISTEC.
Kalau boleh diformulasikan yang dari Al Haramain adalah para alumni Timur Tengah, yang dari ISTEC adalah para alumni dari Barat dan yang dari Sidik adalah para aktivis dakwah dari Indonesia. Ada juga dari lembaga pendidikan Nurul Fikri dan Yayasan Ibu Harapan pimpinan Ibu Yoyoh Yusroh. Perpaduan ini terlihat sangat manis dan sinergis, meskipun lembaga-lembaga itu tidak menjadi underbouw PK. Mereka tetap independen.
Al Haramain sebagai cikal bakal PK pernah menerbitkan jurnal Ma’rifah sebagai counter terhadap pemikiran pembaharuan Nurcholish Madjid (Cak Nur) dengan jurnal Ulumul Quran-nya. Namun saat ini antara aktivis PK dan Cak Nur kelihatan sudah berbaik-baikan, terlihat dari dukungan Cak Nur terhadap PK (PKS).
Menurutnya, memang dulu terjadi polemik yang tajam mengenai pemikiran Islam antara kedua jurnal yang sekarang sudah sama-sama almarhum itu. Tapi apa yang berlaku pada mereka hingga saat ini pun tidak berubah seperti yang menjadi sikap mereka dalam jurnal Ma’rifah itu. Apalagi, katanya, sekarang ini tidak ada lagi wacana yang meng-angkat ide-ide kontroversial dari kalangan pembaharuan pemikiran Islam, khususnya Cak Nur.
Ramah dan Sederhana
Setelah terpilih menjadi Ketua MPR, dia pun mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum DPP PKS, 11 Oktober 2004. Majelis Surya DPP PKS memilih Tifatul Sembiring menggantikannya sampai akhir periode (2001-2005).
Sudah menjadi komitmen partainya, setiap kader tidak pantas merangkap jabatan di partai manakala dipercaya menjabat di lembaga kenegaraan dan pemerintahan (publik). Hal ini untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan jabatan. Sekaligus untuk dapat memusatkan diri pada jabatan di lembaga kenegaraan tersebut.
Dosen Pasca Sarjana UAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini tidak pernah bercita-cita jadi politisi. Namun setelah memasuki kegiatan politik praktis namanya melejit, bahkan dalam berbagai poling sebelum Pemilu 2004 namanya berada di peringkat atas sebagai salah seorang calon Presiden atau Wakil Presiden. Namun dia mampu menahan diri, tidak bersedia dicalonkan dalam perebutan kursi presiden kendati PKS dengan perolehan suara 7 persen lebih dalam Pemilu Legislatif berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. Dia menyatakan akan bersedia dicalonkan jika PKS memperoleh 20 persen suara Pemilu Legislatif.
Pada Pemilu Presiden putaran pertama PKS mendukung Capres-Cawapres Amien Rais-Siswono. Lalu karena Amien-Siswono tidak lolos ke putaran kedua, PKS mendukung Capres-Cawapres Susilo BY dan Jusuf Kalla dalam Pilpres putaran kedua. Dukungan PKS ini sangat signifikan menentukan kemenangan pasangan ini.
Kemudian partai-partai pendukung SBY-Kalla plus PPP (keluar dari Koalisi Kebangsaan) yang bergabung di legislatif dengan sebutan populer Koalisi Kerakyatan mencalonkannya menjadi Ketua MPR. Hidayat Nur Wahid sebagai Calon Paket B (Koalisi Kerakyatan) ini terpilih menjadi Ketua MPR RI 2004-2009 dengan meraih 326 suara, unggul dua suara dari Sucipto Calon Paket A (Koalisi Kebangsaan) yang meraih 324 suara, dan 3 suara abstain serta 10 suara tidak sah. Pemilihan berlangsung demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR di Gedung MPR, Senayan, Jakarta 6 Oktober 2004.
Koalisi Kerakyatan mencalonkan Paket B yakni Hidayat Nur Wahid dari F-PKS sebagai calon ketua dan AM Fatwa dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), serta dua dari unsur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) BRAy Mooryati Sudibyo dari DKI Jakarta dan Aksa Mahmud dari Sulawesi Selatan masing-masing sebagai calon wakil ketua. Sedangkan Koalisi Kebangsaan mencalonkan Paket A yakni Sucipto dari Fraksi PDI Perjuangan sebagai calon ketua, kemudian Theo L. Sambuaga dari Fraksi Partai Golkar dan dua unsur DPD Sarwono Kusumaatmaja dari DKI Jakarta dan Aida Ismet Nasution dari Kepulauan Riau, masing-masing sebagai calon wakil ketua.
Kepemimpinan di PKS
Dalam memimpin PKS, ia bertekad menjadikan partai ini merupakan solusi bagi permasa-lahan bangsa. Dalam wawancara dengan Wartawan TokohIndonesia DotCom, ia mengatakan, partainya tidak semata-mata ingin ikut dan memenangkan Pemilu, melainkan kehadiran PKS harus merupakan solusi bagi permasalahan bangsa. (Baca Wawancara)
PKS datang sebagai bagian dari solusi. Caranya adalah dengan tidak menjalankan politik kotor, menghalalkan segala cara, politik yang menolerir korupsi. Maka, kalau ada tokoh yang mempunyai massa besar tapi moralitas Islamnya bermasalah, tidak mempunyai tempat di PK (PKS). Partai ini lebih memilih menjadi partai yang kecil tapi signifikan ketimbang harus merusak citra Islam hanya dengan dalih vote getter.
Begitu pula dalam memilih koalisi. PKS membuka diri untuk bekerja sama dengan beragam partai yang tetap berkomitmen dengan politik yang bersih, peduli, bermoral dan berpegang pada cita-cita reformasi.
Bagi PKS, dalam berpolitik keberkahan adalah hal yang utama. Kemenangan bukan tujuan PKS. ”Itulah sebabnya kalau bukan lantaran pertolongan Allah swt mustahil PK (PKS) bisa melangkah seperti sekarang. Ini semua bagian dari tadbir rabbani (pengaturan Allah),” kata pria kelahiran Klaten 8 April 1960, yang juga aktif dalam gerakan menolak perang dan rencana serangan militer Amerika Serikat ke Irak dan tindakan tidak berperikemanusiaan Israel kepada Palestina.
Ia dalam memimpin PK sangat selektif dalam soal kepemimpinan dan kepengurusan. Namun bukan berarti partai ini eksklusif. Karena menurutnya, soal eksklusif atau tidak itu soal persepsi. Sebab, pada tingkat konstituen, PKS terbuka terhadap siapa pun, termasuk kalangan nonmuslim. Ia mengakui, dengan menyatakan diri sebagai partai Islam, PK (PKS) pernah dianggap eksklusif, bahkan sempat dicap fundamentalis. ”Ya, itu bisa eksklusif jika Islam dipahami sebagai sesuatu yang sangat terbatas dan sangat angker. Tapi itu bisa inklusif jika Islam dipahami sebagai sebuah paradigma,” katanya.
Sebagai sebuah paradigma, jelasnya, Islam sedikitnya meliputi empat hal. Pertama, al-islam itu sendiri, yakni penyerahan diri kepada Allah Sang Pencipta. Kedua, al-silm, yang berarti kedamaian. Ketiga, al-salam, artinya kesejahteraan. Keempat, al-salamah, yang artinya keamanan atau keselamatan.
Itulah nilai-nilai Islam yang berlaku universal. Tapi, menurut-nya, yang terpenting memang perilaku kader PK itu sendiri. Apakah mereka bisa bekerjasama secara konstruktif dengan pihak-pihak lain atau tidak. ”Sejauh yang kami lihat, kawan-kawan PK, termasuk yang ada di lembaga perwakilan, umumnya bisa bekerja-sama dengan pihak lain dalam membela kebenaran,” kata alumnus Universitas Islam Madinah ini.
Dalam rangka memperluas dukungan, pihaknya tidak begitu saja mau menerima orang. Menurutnya, kalau ada organisasi yang begitu saja mudah menerima orang-orang yang biasa disebut ‘kutu loncat’ itu lantaran ia punya massa atau sumber daya dana yang besar, maka itu menunjukkan bahwa organisasi itu gagal dalam kaderisasi dan soliditasnya, apalagi untuk tingkat elit. Dan pada gilirannya organisasi itu akan menjadi mandul.
Dalam sebuah partai, menurut-nya, ada dua hal yakni massa dan pemimpin. Sama halnya dengan dakwah, kalau partai ini dipimpin oleh orang yang punya massa banyak tapi secara moral bermasa-lah, misalnya berperilaku maling, maka kita bukan lagi sedang men-jalankan Islam tapi malah menipu masyarakat dan perpolitikan kita.
Ia menegaskan bahwa partainya tidak mau seperti itu. Karena pada hakekatnya politik PKS adalah politik Islam yang asasnya Islam dan visinya dakwah dan pelayanan.
Karena itu, PKS tidak perlu memasukkan hal-hal yang syubhat, apalagi yang haram, walaupun hal itu bisa mendatangkan kepuasan. Sebab, menurutnya, kalau itu dilakukan juga, maka yakinlah bahwa umur dakwah ini akan sangat pendek. Sebentar saja akan muncul berbagai konflik yang luar biasa, fitnah yang tidak karuan yang pada akhirnya akan mematikan dakwah.
Dalam bekerjasama dengan pihak lain, prinsipnya, PKS tidak pernah memetakan pihak lain dalam posisi yang selalu benar atau selalu salah. Meski demikian PKS selalu melihatnya secara kritis. Karena itu, katanya, PKS tidak pernah pilih-pilih untuk bekerja sama, selama itu menyangkut kemaslahatan dan membela kebenaran. Sebaliknya, PKS akan selalu tegas menolak, jika itu menyangkut kemudaratan atau upaya mengaburkan kebenaran.
Selama kepemimpinannya, PKS selalu tampil simpatik dalam menyikapi berbagai masalah dalam negeri maupun dunia. Termasuk dalam menyikapi konflik antara orang Islam dan non Islam seperti di Maluku, PKS tidak bersikap reaktif seperti Laskar Jihad. Juga dalam menyikapi ancaman perang yang dilancarkan AS ke Irak. PKS melakukan demo besar-besaran, tetapi sangat tertib dan simpatik. Hal ini didasari pemahaman kader partai ini tentang Islam.
“Pemahaman ini menjadi landasan etis bagi kami dalam menyikapi suatu peristiwa dan melakukan dakwah. Di satu sisi, kami memang mencoba memahami bahwa gerakan-gerakan seperti itu merupakan akibat dari akumulasi kekecewaan terhadap kelambanan pemerintah menangani berbagai kasus. Tapi kami lebih memilih gerakan simpatik. Kami mencoba memberikan kontribusi riil, seperti bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi,” katanya.
Partai ini juga tidak ikut latah membentuk atau menggerakkan pasukan ataupun satgas seperti dilakukan organisasi dan partai lain. Karena, menurutnya, itu urusan negara, jangan memberi peluang masayarakat sipil untuk berperang. Sebab, akibatnya akan lebih kacau. Islam sendiri jelas-jelas melarang segala bentuk pengrusakan. Jangankan pembinasaan terhadap sesama manusia, pengrusakan tempat ibadah agama lain pun tidak diperbolehkan. Kecuali jika tempat tersebut telah beralih fungsi menjadi tempat makar atau tempat maksiat. Itu pun yang melakukannya tetap harus negara, bukan rakyat sipil.
Partai ini lebih memilih mempunyai kepanduan daripada laskar atau satgas. Pandu ini berpakaian biasa, sikapnya pun ramah-tamah. Sebab, ia juga berpandangan bahwa soal keamanan dan ketertiban adalah tugas aparat negara, yakni tentara dan polisi. Maka yang perlu didorong adalah agar tentara dan polisi harus profesional. Tidak perlu ikut merambah ke bidang-bidang lain, misalnya lewat dwifungsi.
Penuh Tawakal
Ia tak pernah menargetkan atau memprogramkan mau jadi apapun, termasuk menjadi ketua partai. Ia mengaku menjalani hidup mengalir begitu saja dengan penuh tawakal. ”Dan Alhamdulillah, hidup saya berjalan dengan lancar,” katanya. Sepanjang pengalaman pribadinya, ia merasa Allah membimbing dan memberikan yang terbaik buatnya. Ini yang membuatnya semakin yakin bahwa Allah itu Mahabijak, Mahakuasa dan takdir itu memang ada.
Termasuk memilih sekolah setelah lulus SD. Ia sendiri tidak pernah berpikir, berangan-angan untuk masuk ke Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Ia dimasukkan ayahnya ke Gontor karena banyak saudaranya yang sekolah di sana. Dan, Alhamdulillah, selama mengenyam pendidikan di Gontor, ia selalu ranking pertama atau kedua.
Kemudian ia melanjutkan studi ke Madinah. Sama seperti masuknya ke Gontor, ia pun tidak pernah berpikir untuk kuliah di luar negeri, Timur Tengah atau Madinah. Ia justru berkeinginan masuk ke Fakultas Kedokteran UGM yang memang menjadi favorit bagi anak-anak seusianya di SMA.
Tapi sewaktu ia lulus, ia dipanggil kyai dan diberi ijazah, ada seorang kawan yang bilang bahwa mubadzir kalau ijazah dari Gontor hanya untuk meneruskan studi di dalam negeri. Lalu si kawan itu mengusahakan agar ia sekolah ke luar negeri. Akhirnya ia kuliah di Universitas Islam Madinah. Padahal sampai saat itu ia belum punya keinginan untuk ke luar negeri. Tidak tanggung-tanggung, selama 13 tahun, suami Hj Kastrian Indriawati yang telah dikaruniai dua orang putri dan empat orang putra itu menimba ilmu keislaman di bumi tempat Rasullulah SAW dimakamkan.
Setelah selesai S-1, ia pun tidak terpikir untuk melanjutkan ke S-2. Tapi tiba-tiba namanya masuk nominasi untuk ikut ujian S-2. Hari itu ia dapat informasi dari orang lain dan hari itu juga ia harus menempuh ujiannya. Dan tenyata alhamdulillah lulus.
Ketika masuk S-3 pun ia tidak punya niat sama sekali. Dosen pembimbingnya yang agak memaksa supaya ia mengambil peluang S-3 yang diberikannya. Padahal waktu itu, ia sudah ngotot untuk pulang ke Indonesia untuk berdakwah. Sepulang dari tanah suci, ia aktif dalam berbagai kegiatan dakwah sebelum terjun di dunia politik tahun 1999.
”Begitulah hidup saya bergulir tanpa terencana sampai akhirnya hampir tiga belas tahun saya tinggal di Madinah. Ketika bikin partai pun saya tidak pernah terpikir sama sekali sebelumnya. Pokoknya mengalir begitu saja,”kata politisi yang bercita-cita jadi penulis itu.
Kesibukannya di partai tentu menyita waktu yang biasanya ia gunakan untuk keluarga. Tapi ia merasa diuntungkan oleh keluarganya. ”Istri saya adalah tamatan Mu’allimat Yogya yang mantan aktivis organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah di tingkat nasional. Sehingga sedikit banyak manajemen keluarga kami bisa lebih teratur,” kata pria yang sebelumnya tidak pernah bercita-cita menjadi politisi ini.
Tapi meski begitu, ia berusaha berlaku adil karena bagaimana pun segala sesuatu punya hak, apalagi keluarga. ”Dan insya Allah saya akan tetap berkomitmen untuk membina keluarga serta di sisi lain mengurus dakwah di partai, karena keduanya merupakan hal yang saling melengkapi bukan saling menafikan,” katanya, lalu menjelaskan mengapa ia memilih tinggal dekat dengan Islamic Centre Iqro. Tak lain adalah agar kontrol terhadap anak-anak juga berlangsung lebih baik karena lingkungan itu memang sudah cukup terkondisikan dengan baik.
Pemuka Agama
Latarbelakang kehidupan keluarganya juga sangat mempengaruhi perjalanan hidupnya. Di kampung kelahirannya, keluarganya memang termasuk keluarga pemuka agama. Kakeknya bahkan merupakan tokoh Muhammadiyah di Prambanan. Ayahnya, sekalipun berlatar NU, juga pengurus Muhammadiyah, dan ibunya aktivis Aisyiah.
Namun, ayah dan ibunya tidak pernah secara khusus memaksakan-nya untuk masuk Muhammadiyah. Malah ia aktif di Yayasan Alumni Timur Tengah yang banyak orang NU-nya. Jadi kini ia Muhammadiyah juga NU.
Ia memang tumbuh dalam keluarga yang aktif berorganisasi. Mungkin karena itu, di Pesantren Modern Gontor, di samping menjadi pengurus OSIS, Hidayat pun anggota PII (Pelajar Islam Indonesia). Ketika melanjutkan sekolah di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi, ia pun sempat menjadi ketua perhimpunan mahasiswa asal Indonesia. Dan ia terpaksa berurusan dengan KBRI setempat, karena ia mempersoalkan “Asas Tunggal” dan Penataran P-4.
Selain itu, latar belakang keluarga besarnya juga kebanyakan guru. Karenanya sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan lingkungan buku. Sejak kecil ia sudah terbiasa mengkhatamkan novel silat Ko Ping Ho dan komik-komik Jawa. Hikmahnya, ia jadi punya hobi membaca.
Hingga sekarang, ia tetap membiasakan diri membaca. ”Untuk sekarang karena terlalu sibuk tidak penting berapa banyak yang saya baca dalam sehari, yang jelas setiap hari harus ada buku yang saya baca,” katanya.
Ia sering menerima tamu di perpustakaan pribadinya yang berada di lantai dua rumahnya. Dosen Pasca Sarjana di Universitas Muhammadiyah Jakarta dan IAIN Syarif Hidayatullah ini memang tergolong kutu buku. Ada sekitar lima lemari besar penuh buku di ruang perpustakaannya, baik yang berbahasa Arab maupun berbahasa Indonesia. Sebagian besar merupakan ‘oleh-oleh’ dari studinya di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia, yang ia tempuh dari jenjang sarjana (S-1) hingga doktor (S-3).
Pimpin Partai
Ia terpilih jadi Presiden Partai Keadilan (PK) dalam Munas I menggantikan Dr.Ir. H. Nur Mahmudi Ismail, MSc yang memilih mundur untuk tetap sebagai PNS. Pemilihan itu berlangsung lancar dan dalam suasana yang sejuk. Tidak seperti pemilihan ketua beberapa partai yang berlangsung panas dan penuh intrik.
Sejak awal Munas nama Hidayat memang sudah masuk dalam daftar nominasi. Maka tidak mengherankan bila dalam sidang Majelis Syuro PK ia terpilih dengan mengantongi suara lebih dari 50% pemilih. Meski demikian, tak nampak eskpresi kemenangan yang terpancar di wajahnya begitu ia dinyatakan sebagai Presiden PK terpilih ketika itu.
Di kalangan PK sendiri, ia disegani. Ia, dalam “embrio” PK, adalah Ketua Dewan Pendiri. Waktu partai itu akan dideklarasikan, ia sebenarnya nyaris didaulat untuk menduduki kursi presiden partai. Namun, ia menolak. Karena dia merasa belum saatnya menduduki posisi itu. Namun, dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PK sebelumnya, ustad ini tak dapat menolak permintaan untuk menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) sekaligus Ketua Dewan Syura – jabatan yang berada di atas jabatan presiden.
Ia mengaku tidak pernah bermimpi akan dipilih oleh rekan-rekan untuk menjadi Presiden PK. Karena itu, ia tidak mempunyai perasaan gembira (berlebihan) atas terpilihnya menjadi Presiden PK. Baginya, ini adalah amanat yang sangat berat. Dan amanat ini bukan hanya harus ia pertanggungjawabkan pada Munas PK (PKS), tetapi juga kepada masyarakat Indonesia serta di hadapan Allah swt.
Karena itu, kepada para aktivis dan simpatisan PK saat itu, ia berharap agar dibantu dan didoakan untuk dapat menjalankan amanat itu dengan baik, yang segera diaminkan para peserta Munas. Pada keesokan harinya, usai shalat shubuh di Masjid Al Qalam Kompleks Islamic Center “Iqro” Pondok Gede, seorang ustadz memimpin doa bersama agar Allah memberikan bimbingan dan pertolongan kepadanya untuk memimpin PK.
Suasananya ketika itu begitu haru. Sehingga matanya tampak berkaca-kaca, lalu terdengar isak tangisnya mengiringi lantunan doa yang mengalir khusyu’ itu. Usai berdoa seluruh jamaah merangkulnya bergantian, sebagai pertanda dukungan kepadanya. Kali ini suasana sudah berganti dengan kehangatan dan keakraban.
Tantangan Berat
Dalam sambutan saat jumpa pers setelah terpilih menjadi Presiden PK, ia pun kembali mengatakan bahwa jabatan itu merupakan amanah yang tidak ringan. Kalau boleh dikatakan, tantangan yang terberat. Ia merinci tantangan dimaksud.
Pertama, masalah pencitraan. Ini suatu hal yang sangat penting. Sebab kadang-kadang orang hanya dari citra saja sudah mengambil sikap. PK misalnya dicitrakan sebagai partainya anak muda, partainya orang-orang yang tidak merokok atau juga partainya orang yang berjilbab.
Pencitraan ini di satu sisi positif yakni segmentasi di dalam PK menjadi jelas. Tapi kemudian dalam konteks dakwah ini menjadi tidak tepat, sebab dasar dakwah ialah Yaa ayyuhannaas, berlaku kepada seluruh segmen masyarakat, apapun kondisi mereka. Tapi pencitraan tadi akhirnya menghambat pelebaran dakwah, sebab nilai-nilai dakwah PK seolah-olah terkungkung hanya pada segmen yang terbatas. ”Ini harus kita atasi,” tegasnya.
Kedua, seperti tergambar dari pandangan DPW-DPW dan utusan luar negeri, yakni faktor konsolidasi internal. Memang banyak pihak yang menilai sangat positif. Misalnya ketika saya ke Riyadh bersama Profesor Nurcholish Madjid, dia ditanya tentang PK. Kemudian beliau menjawab dengan mengambil pendapat dari pandangan Prof. Miriam Budiardjo bahwa PK itu partai orang-orang terpelajar. Tapi sesungguhnya kami sendiri melihat bahwa masih banyak celah yang harus kami konsolidasikan lagi.
Ketiga adalah faktor sosialisasi dan komunikasi massa. Banyak orang yang menilai bahwa setelah Pak Nur jadi menteri seolah-olah PK tiarap. Padahal tidak begitu. Karenanya kami harus menjalin lagi komunikasi yang lebih baik dengan kawan-kawan pers dan siapapun yang punya akses massa.
Keempat, bagaimanapun juga karena kami sudah terjun dalam kancah partai politik, orang tidak lagi memaklumi hal-hal yang riil. Mereka menuntut bahwa partai ini harus besar. Padahal PK ini baru sama sekali. Tentu saja ini merupakan satu masalah sehingga ke depan kami harus melakukan pengkaderan yang masif dan terus-menerus. Targetnya sampai nilai-nilai dakwah menjadi dominan di masyarakat.
Seperti yang sering ia katakan, “Bahkan seandainya Anda tidak masuk ke PK (PKS) sekalipun, tapi Anda mendukung, menegakkan dan melaksanakan keadilan, yang itu berarti Anda mengamalkan Islam, maka Anda sesungguhnya sudah menjadi bagian dari kami.”
Tapi tentu saja agar nilai-nilai itu bisa semakin luas, maka mau tidak mau yang memperjuangkannya harus semakin banyak. Komitmen ini sudah dimulai. Begitu Munas selesai bagian kaderisasi langsung berkumpul dengan seluruh jajarannya untuk melakukan kegiatan pengkaderan. Sehingga ada ungkapan, “Munas selesai, kegiatan kaderisasi jalan terus.”
Kelima, adalah masalah finansial. Bagaimanapun kegiatan partai adalah massal dan harus terprogram secara profesional. Untuk itu kami harus memikirkan bagaimana agar bisa memiliki sumber finansial yang mandiri. Meski begitu sejak awal kami punya keyakinan bahwa aktivitas ini juga adalah aktivitas dakwah yang kewajibannya bersifat individual, sehingga para individu itu juga berkewajiban membiayai dakwah ini.
Semangat Dakwah
Perihal latarbelakang atau tradisi politik yang dijalankan PK, menurutnya, pada tingkat tertentu Cak Nur benar ketika menilai PK dalam buku ‘Tujuh Mesin Pendulang Suara’. ”Tradisi yang kami jalani itu sangat terkait dengan latar belakang kami yang relatif seragam secara pemikiran yakni pemikiran yang mengacu kepada semangat dakwah meskipun dari segi pendidikan kami sangat beragam sekali, ada yang dari Barat, Timur Tengah dan lain-lain.”
Partai ini diuntungkan oleh keadaan beberapa anggota yang kebanyakan adalah orang yang memiliki kafaah, kompetensi syariah yang memadai. Banyak dari mereka yang tamat S3 dari Mesir, Saudi, Pakistan, Malaysia, Eropa, Amerika dan Jepang, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk merujuk secara mendalam kepada literatur-literatur klasik pemikiran Islam, termasuk pemikiran politik.
Mereka juga banyak menyerap berbagai pemikiran politik dari berbagai gerakan Islam kontemporer seperti Ikhwanul Muslimun, Salafiyyah, Refah, Jama’at Islami, PAS, Masyumi dan lain-lain. “Selama ini ummat Islam seolah-olah hanya memiliki rujukan politik kontemporer dari Barat saja yang diakui sudah banyak gagal dan tercemar. Padahal kalau kita merujuk kepada Qur’an dan Sirah Rasulullah secara luas dan mendalam, kita memiliki rujukan yang komprehensif,” katanya.
Maka ia sangat optimis, PK yang kini berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan memperoleh kenaikan suara yang signifikan pada Pemilu 2004, yakni 10%. Partai yang sempat diisukan akan bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) ini menampakkan sosok yang berbeda dengan beberapa organisasi dalam mengonsolidasi diri. Hal ini, antara lain, terlihat dari beberapa kali aktivitasnya dalam demonstrasi yang selalu berlangsung damai dan tertib kendati dihadiri ratusan ribu orang.
Perihal kemungkinan kerjasama dengan partai lain, ia mengatakan seperti tergambar dalam gagasan keadilan yang disebutkan Qur’an surat al-Maidah ayat 8, semangat pembelaan kebenaran harus diberlakukan dengan non Islam sekalipun. Maka, katanya, dalam konteks hubungan kami dengan di luar PKS, selama mereka bisa sesuai dengan visi PKS maka tidak masalah kita bekerjasama.
Begitu pula tentang kemungkinan bergabung dengan sesama partai Islam, ia berpegang pada komitmen bahwa PKS adalah partai yang berusaha mengutamakan wihdatul ummah (persatuan ummat). ”Makanya kami setuju dengan ide satu partai saja untuk ummat Islam. Tapi pada saat yang sama kita juga harus realistis dalam memandang Islam itu sendiri sebab Islam itu tidaklah menafikan kelompok yang banyak,” ujarnya.
Innaa Kholaqnaakum min dzakarin wa untsaa waja’alnaakum syu’uuban wa qobaailan lita’aarafuu. Biarkanlah kemajemukan itu tetap ada, tapi itu semua tidak didikotomikan melainkan disinergikan untuk mencapai ketakwaan. Innaa akramakum ‘indallaahi atqokum.
Dalam hal ini, bersatunya ummat Islam dalam satu partai tidak menjamin kemenangannya. Lihat saja pada masa Orde Baru PPP selalu kalah. Jadi, katanya, logika bersatu adalah menang untuk konteks partai politik tidak selalu benar.
Namun, menurutnya, jangan menganalogikan banyaknya partai Islam itu seperti sekoci-sekoci kecil yang tidak bisa saling bersinergi. Melainkan, ia menganalogikannya sebagai semut-semut kecil yang bisa bekerja sama membangun sinergi. Dengan begitu, katanya, PKS justru tetap menjadikan persatuan ummat sebagai muatan ideologinya.
Perihal pertimbangan yang paling signifikan bergabungnya PK dengan PAN dalam Fraksi Reformasi, karena pada saat itu dalam upaya menegakkan visi reformasi dan demokrasi dengan meminimalisasikan peran militer di DPR.
“Kita kan tahu pimpinan DPR diberikan kepada lima fraksi terbesar. Sementara saat itu urutan kelima adalah Fraksi TNI/Polri dengan 38 kursi, di atas PAN yang cuma 34 kursi dan menempati urutan keenam. Maka kalau kami yang memiliki 7 kursi bergabung dengan PAN berarti suaranya bisa mencapai 41. Ini sudah cukup untuk menggeser posisi TNI/Polri sehingga peran mereka pun semakin kecil, yakni dengan tidak menjadi pimpinan DPR. Akhirnya yang jadi wakil ketua DPR kan Pak AM Fatwa,” jelasnya.
Sementara, mengenai adanya tadzkirah (peringatan) pada saat Munas bagi para kader PK supaya tidak larut ketika berinteraksi dengan masyarakat, ia menjelaskan bahwa tadzkirah itu bermanfaat untuk orang mu’min. Fainnadz dzikra tanfa’ul mu’minin.
Meski begitu, bukan berarti tadzkirah itu terkait dengan keadaan, tapi bisa merupakan tindakan preventif. ”Kami sadar PK adalah kumpulan manusia yang tidak selalu benar. Sehingga taushiyyah semacam itu tetap kami perlukan. Jangan dikira pendukung PK itu sama semua tingkat keimanannya,” katanya.
”Dalam hal ini ada kaidah yang disampaikan Sayid Qutub bahwa generasi Qur’an salah satu cirinya adalah yakhtalituun walakin yatamaayazzuun, mereka berinteraksi dengan masyarakat tapi mereka tidak larut dengan berbagai kebiasaan buruk masyarakat. Bahkan mereka muncul cemerlang dan berbeda di tengah masyarakat dalam hal sikap dan penampilannya yakni selalu berpegang dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran,” jelas pengajar dan pengurus Yayasan Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam Al Haramain ini.
Aktivitasnya di yayasan tersebut tidak ditinggalkan kendati ia sudah sangat sibuk di partai. ”Karena Al Haramain sudah menjadi bagian dari jati diri saya, yakni yang terkait dengan studi Islam dan pelayanan terhadap pesantren,” katanya. Bahkan mungkin pola Al Haramain itulah yang menjadi pola kepemimpinannya sebagai Presiden PK dan Ketua Umum PKS. Artinya kepeduliannya terhadap studi Islam, pendidikan dan pesantren diharapkan menjadi bagian dari aktivitas politiknya. “Karena toh tidak ada bedanya, ini kan sama-sama dakwah juga,” ujarnya.
Bidan PK
Memang banyak orang yang menganggap bahwa lahirnya PK itu dibidani oleh Yayasan Al Haramain dan Sidik (Studi dan Informasi untuk Dunia Islam Kontemporer). Menurutnya, hal itu memang tidak bisa dibantah sekalipun tidak mutlak begitu.
Namun, sebetulnya PK bukan didirikan oleh lembaga-lembaga itu tapi oleh orang-orang yang berkiprah di dalamnya. Bahkan bukan hanya oleh orang-orang dari dua organisasi itu tapi oleh beberapa organisasi lainnya lagi yakni ISTEC.
Kalau boleh diformulasikan yang dari Al Haramain adalah para alumni Timur Tengah, yang dari ISTEC adalah para alumni dari Barat dan yang dari Sidik adalah para aktivis dakwah dari Indonesia. Ada juga dari lembaga pendidikan Nurul Fikri dan Yayasan Ibu Harapan pimpinan Ibu Yoyoh Yusroh. Perpaduan ini terlihat sangat manis dan sinergis, meskipun lembaga-lembaga itu tidak menjadi underbouw PK. Mereka tetap independen.
Al Haramain sebagai cikal bakal PK pernah menerbitkan jurnal Ma’rifah sebagai counter terhadap pemikiran pembaharuan Nurcholish Madjid (Cak Nur) dengan jurnal Ulumul Quran-nya. Namun saat ini antara aktivis PK dan Cak Nur kelihatan sudah berbaik-baikan, terlihat dari dukungan Cak Nur terhadap PK (PKS).
Menurutnya, memang dulu terjadi polemik yang tajam mengenai pemikiran Islam antara kedua jurnal yang sekarang sudah sama-sama almarhum itu. Tapi apa yang berlaku pada mereka hingga saat ini pun tidak berubah seperti yang menjadi sikap mereka dalam jurnal Ma’rifah itu. Apalagi, katanya, sekarang ini tidak ada lagi wacana yang meng-angkat ide-ide kontroversial dari kalangan pembaharuan pemikiran Islam, khususnya Cak Nur.
Ramah dan Sederhana
Lelaki
40 tahunan ini tak ber-ubah dari watak aslinya meski ber-ada di pucuk
pimpinan partai. Pria yang dikenal berpenampilan sederha-na dan ramah,
ini masih saja ikut bermain sepak bola bersama masya-rakat di sekitar
tempat tinggalnya. Tidak satu atau dua kali saja tetapi menjadi kegiatan
rutin. Ia kelihatan sangat menikmati sepak bola itu. Sehingga setiap
hari Ahad pagi, bila berada di rumah, nyaris tidak pernah dilewatkan
untuk bermain bola dengan anak-anak muda di kawasan tempat tinggalnya,
Komplek Iqro’, Jatimakmur Pondok Gede. Usia yang terpaut puluhan dengan
pemain lainnya tidak menyebabkannya canggung.
“Ini murni olahraga, tidak ada kaitannya dengan usaha merekrut orang menjadi anggota PKS. Namun kalau mereka akhirnya tertarik ya syukur, ha.. ha.. ha..,” guraunya ketika diolok bakal mempolitisasi olahraga. Baginya, olahraga tidak sekedar kegiatan fisik belaka. “Tapi bagian dari sunnah, yakni menjaga kesehatan fisik. Nabi saja tangguh dalam berkuda, memanah dan gulat,” katanya.
Motivasi itulah yang menyebab-kannya tidak pernah lepas dari olaharaga. Karenanya ia menganjur-kan setiap muslim membiasakan diri rutin berolahraga, apapun bentuk-nya. “Kebetulan hobi saya sepak-bola, jadi olahraganya main sepak bola,” katanya. Saat kuliah di Madi-nah pun ia tetap main sepak bola.
Selain sepak bola ia juga rutin bermain bulutangkis. Setiap Selasa pagi nyaris tidak pernah dilewat-kan untuk bermain bulutangkis bersama jamaah masjid Al Qalam Pondok Gede. Mereka menyewa gedung serba guna secara patungan. Ia masih kuat main selama lima set non stop.
Menurutnya, dengan rutin berolahraga stamina kerja seseorang menjadi meningkat. “Sebab aliran darah ke seluruh tubuh menjadi lancar.” Ia merasakan olahraga semakin penting ketika terjun mengurus partai politik. Karena politik juga memerlukan stamina fisik yang prima.
“Ini murni olahraga, tidak ada kaitannya dengan usaha merekrut orang menjadi anggota PKS. Namun kalau mereka akhirnya tertarik ya syukur, ha.. ha.. ha..,” guraunya ketika diolok bakal mempolitisasi olahraga. Baginya, olahraga tidak sekedar kegiatan fisik belaka. “Tapi bagian dari sunnah, yakni menjaga kesehatan fisik. Nabi saja tangguh dalam berkuda, memanah dan gulat,” katanya.
Motivasi itulah yang menyebab-kannya tidak pernah lepas dari olaharaga. Karenanya ia menganjur-kan setiap muslim membiasakan diri rutin berolahraga, apapun bentuk-nya. “Kebetulan hobi saya sepak-bola, jadi olahraganya main sepak bola,” katanya. Saat kuliah di Madi-nah pun ia tetap main sepak bola.
Selain sepak bola ia juga rutin bermain bulutangkis. Setiap Selasa pagi nyaris tidak pernah dilewat-kan untuk bermain bulutangkis bersama jamaah masjid Al Qalam Pondok Gede. Mereka menyewa gedung serba guna secara patungan. Ia masih kuat main selama lima set non stop.
Menurutnya, dengan rutin berolahraga stamina kerja seseorang menjadi meningkat. “Sebab aliran darah ke seluruh tubuh menjadi lancar.” Ia merasakan olahraga semakin penting ketika terjun mengurus partai politik. Karena politik juga memerlukan stamina fisik yang prima.
Sumber : www.hnw.or.id
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda