Pada era 80-an Amerika Serikat (AS) berhasil membujuk pemerintah
negara-negara Arab dan negara-negara berpenduduk muslim lainnya seperti
Indonesia dan Malaysia untuk mendukung perjuangan rakyat Afganistan
melawan pasukan pendudukan Uni Soviet (yang merupakan musuh ideologis AS
dalam era perang dingin), dengan slogan untuk membentengi agama Islam
dan umat Islam dari gempuran komunis. Selama pendudukan Uni
Soviet di Afganistan, mereka dipuji, disanjung, dielu-elukan, lantaran
misi mulia dan sakral yang memiliki dasar legitimasi keagamaan sangat
kuat berada di pundak mereka. Inilah jihad mengusir pasukan tak bertuhan
(komunis) dari negeri Islam. Pemerintah dan umat Islam mendukung secara
moral, politik, dan finansial keberangkatan para Mujahidin ke
Afganistan. Bahkan sejumlah pemerintah negara Arab terlibat langsung
mengatur dan mengoordinir perjalanan mereka ke Afganistan.
Presiden Mesir Anwar Sadat-dengan dorongan Amerika Serikat dan atas
restu Presiden Pakistan Zia ul Haq saat itu-tercatat berperan besar bagi
pembentangan jalan hijrahnya ribuan aktivis Islam dari Mesir ke
Pakistan dan Afganistan. Presiden Zia ul Haq pun bekerja sama dengan CIA
membangun kamp-kamp latihan militer bagi Afgan Al Arab di Kota Peshawar
(Pakistan) dan sekitarnya, sebelum mereka diterjunkan dalam pertempuran
di Afganistan.
Akan tetapi, setelah pasukan Uni Soviet
hengkang dari Afganistan tahun 1989, AS ternyata mengkhianati Muahidin
dan sama sekali tidak memberi penghargaan atas jasa para Mujahidin
mengalahkan musuh ideologis AS. Para Mujahidin juga bak kehilangan
induk, setelah tewasnya Presiden Pakistan Zia ul Haq yang dikenal banyak
memberi perlindungan terhadap kaum Mujahidin.
Menurut
penuturan salah seorang pemimpin Mujahidin, Abdurrasul Sayyaf, CIA mulai
berusaha membunuh Presiden Zia ul Haq, Osama bin Laden, dan Sheikh
Abdullah Azzam, tatkala ada gejala kekalahan Uni Soviet di Afganistan.
Upaya pembunuhan ini dilakukan oleh karena AS/CIA merasa tidak lagi
membutuhkan tenaga dari tokoh-tokoh kunci tersebut. Bahkan AS merasa
khawatir bila para tokoh mujahidin ini dibiarkan ikut memenangkan perang
melawan Soviet sampai akhir, malah akan menambah semangat jihad dan
justru membahayakan posisi dan pengaruh AS di wilayah tersebut. Sayyaf
lebih jauh mengungkapkan, Zia ul Haq pernah mengatakan bahwa nasib
dirinya berada di tangan CIA. Karena itu, lanjutnya, Zia ul Haq ke mana
pun pergi selalu meminta ditemani Dubes AS di Islamabad yang akhirnya
memang tewas bersamanya dalam satu pesawat yang meledak begitu lepas
landas.
Perbedaan pendapat antara Zia ul Haq dan Pemerintah
Amerika Serikat (AS), ungkap Sayyaf, menyangkut soal masa depan
Afganistan pascahengkangnya Uni Soviet. Zia ul Haq bersikeras Afganistan
harus menjadi negara Islam, sedangkan AS menginginkan Pemerintah
Afganistan lebih sekuler dan berafiliasi ke Barat. Perbedaan pendapat
tersebut ternyata harus dibayar mahal oleh Zia ul Haq yang membawa
kematiannya secara tragis.
Setelah itu, tokoh Ikhwanul Muslimin
asal Palestina, Sheikh Abdullah Azzam-yang dikenal anti-AS-juga tewas
akibat ledakan bom mobil yang dipasang CIA di Kota Peshawar. Hanya Osama
bin Laden yang masih selamat dari upaya pembunuhan AS, karena ia cepat
pindah ke Sudan saat itu. Hilangnya tokoh-tokoh sekaliber Zia ul Haq
dan Sheikh Abdullah Azzam merupakan pukulan politik yang sangat dahsyat
terhadap Mujahidin Afganistan dan kaum Afgan Al Arab.
KEKUASAAN di Islamabad yang jatuh ke Benazir Bhutto yang lebih sekuler
setelah tewasnya Zia ul Haq itu, membuat hubungan Pakistan dan kaum
Afgan Al Arab tidak seharmonis pada era Zia ul Haq. Pemerintah Pakistan
mulai memberi tekanan-tekanan terhadap para Mujahidin di Kota Peshawar.
Sebagian dari mereka terpaksa meninggalkan Kota Peshawar pulang ke
negara asalnya seperti Mesir, Libya, Aljazair, Tunisia, dan Arab Saudi.
Mereka yang takut pulang lantas mengalihkan tujuan ke negara-negara Arab
lain seperti Sudan, Yaman, Somalia, dan sejumlah negara Eropa. Sebagian
lain kembali lagi ke Afganistan dan terpaksa bergabung dengan
faksi-faksi Mujahidin yang saling berperang itu. Osama bin Laden
termasuk dari Mujahidin yang memilih meninggalkan Afganistan menuju
Sudan.
Bagi Mujahidin yang memilih pulang ke negaranya,
ternyata bukan sambutan simpati yang ditemukan, tetapi polisi langsung
memborgol tangan mereka dan dibawa ke penjara. Begitulah nasib mereka
sepulang dari berjihad di Afganistan. Mereka bak memasuki terowongan
gelap yang tak pernah lagi menemukan ujung terangnya. Saat itu mencuat
kasus-kasus yang terkenal dengan kasus Afgan Mesir, Afgan Aljazair,
Afgan Tunisia, Afgan Libya, dan Afgan-Afgan lain.
Begitu pula
para Mujahidin asal Indonesia, mereka dikejar-kejar dan di fitnah oleh
rezim orde baru ketika itu sebagai pelaku tindakan subversif. Oleh
karenanya, banyak mujahidin yang terpaksa berdiam di Malaysia dan
sebagian pulang ke Indonesia dengan diam-diam. Para Mujahidin asal
Indonesia inilah yang saat ini banyak di fitnah terlibat dalam jaringan
terorisme, dan kemudian dijadikan target untuk ditangkap.
Padahal sejak berkahirnya pendudukan Uni Soviet di Afghanistan dan
bersamaan dengan ambruknya proses perdamaian di Timur Tengah pada paruh
kedua tahun 1990-an, kaum Mujahidin mulai menyadari adanya keterlibatan
CIA langsung dalam memburu mereka di mana pun mereka berada.
Upaya untuk memburu alumni Afghan atau para Muajhidin ini dilakukan oleh
AS secara sistematis. Secara konseptual AS mengadopsi gagasan yang
dikembangkan oleh Rand Corporation, sebuah lembaga think thank proxy
zionis israel. Beberapa dokumen yang diproduksi dan testemony yang
dilakukan oleh para peneliti Rand Corp. Di depan kongres AS menunjukkan
bahwa sesungguhnya apa yang disebut oleh AS sebagai perang global
terhadap terorisme (Global War On Terorism/GWOT) itu adalah perang
terhadap umat Islam yang ingin menerapkan Islam secara kaffah.
Beberapa dokumen yang dapat dijadikan bukti bahwa GWOT itu adalah perang
terhadap Islam adalah Understanding Terrorist Ideology yang merupakan
ceramah KIM CRAGIN didepan komite Intelijen Senat AS pada June 2007.
selain itu juga beberapa dokumen lainnya, diantaranya yang berjudul
EXPLORING TERRORIST TARGETING PREFERENCES, Unconquerable Nation Knowing
Our Enemy Strengthening Ourselves yang kesemua dokumen tersebut adalah
produksi Rand Corporation.
Selain itu juga AS memiliki rencana
ganda dengan memanfaatkan issue WOT ini. Pada bulan September 2000, PNAC
mengeluarkan sebuah Cetak Biru buat masa depan dalam tulisan panjang
berjudul “Rebuilding America’s Defenses : Strategy, Forces, and
Resources for a New Century.” Tulisan ini bermula dari premis bahwa
“Amerika adalah superpower tunggal di dunia, dengan kombinasi kekuatan
militer tunggal, keunggulan teknologi, dan kekuatan ekonomi terbesar.
Strategi besar Amerika harus bertujuan untuk memeliharai dan memperluas
posisi menguntungkan sebesar-besarnya di masa yang akan datang.”
Tulisan strategis itu merekomendasikan misi-misi baru bagi kekuatan
militer Amerika, termasuk kapabalitas nuklir yang dominan dengan
senjata-senjata nuklir generasi terbaru, kekuatan tempur yang siap
tempur yang cukup dan memenangkan berbagai pertempuran besar, dan
kekuatan-kekuatan menjalankan “tugas-tugas kepolisian” di seluruh dunia
dengan komando Amerika dan bukan Perserikatan Bangsa Bangsa. Hal itu
juga menegaskan bahwa “keberadaan kekuatan militer Amerika di
wilayah-wilayah kritis di seluruh dunia merupakan bentuk aksi yang
paling visible sebagai perwujudan dari status Amerika selaku superpower
tunggal.”
Saat peristiwa 11 September 2001 terjadi, bentuk
kehancuran yang diharapkan oleh PNAC terjadi guna memuluskan realisasi
agenda mereka. Bagi mereka peristiwa itu memang seharusnya terjadi.
Kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh PNAC. Hanya beberapa hari
dari 11/9, PNAC mengeluarkan surat bahwa “kalau pun nanti tidak
ditemukan bukti keterkaitan Irak dengan penyerangan, strategi apa pun
yang bertujuan menghabisi terorisme dan sponsornya harus memuat upaya
penggulingan Saddam Husein dari kekuasaan di Irak.” Upaya determinan itu
memuncak pada perang di Musim Semi lalu. Akhirnya alasan sebenarnya
dari penyerangan Irak bukanlah persoalan Senjata Pemusnah Massal,
minyak, pelanggaran HAM, atau apapun alasan lain yang dikemukakan secara
publik. Namun sebagaimana yang telah ditulis dua tahun silam adalah
keinginan besar untuk merebut peran permanen di wilayah strategis dunia,
kawasan Teluk.
Maka dari itu, Presiden Bush dalam pidato
kenegaraannya di tahun 2002 mendeklarasikan “Perang kita terhadap teror
telah dimulai, tapi ini baru permulaan.” Ia memilih Irak, Iran dan Korea
Utara sebagai “Poros Kejahatan, bersenjata untuk mengancam keamanan
dunia.” Pada bulan Juni, Bush memberi signal dukungannya untuk strategi
pre-emptive war dengan mengatakan bahwa AS “siap untuk aksi pre-emptive
bila diperlukan untuk mempertahankan kebebasan kita dan mempertahankan
hidup kita.” Pada akhir tahun, hal ini menjadi kebijaksanaan resmi
pemerintahan Bush, yang tercantum dalam 2 dokumen perencaan Gedung
Putih.
Strategi membesar-besarkan isu terorisme yang diobral
sekarang ini dalam rangka menyeret militerisasi dalam politik luar
negeri Amerika. Sekarang ini tidak kurang dari 130 negara di dunia yang
ditempati oleh pasukan Amerika dengan 40 negara di antaranya menetap
secara permanen. Dan banyak lagi negara lain yang menyediakan hak-hak
bagi pasukan Amerika untuk berbasis. Dalam tulisan yang dimuat di Wall
Street Journal menggambarkan bahwa perubahan besar dalam strategi
militer Amerika dalam 50 tahun terakhir ini akan mengarah pada upaya
“mendorong kekuatan militer Amerika ke dalam areal yang jauh lebih dalam
dan pojokan dunia yang paling berbahaya.” Menteri Pertahanan, Donald
Rumsfeld, seorang arsitek strategi ini, “telah mempersiapkan pasukan
Amerika untuk masa depan yang dapat melibatkan banyak tempat pertempuran
yang kecil, kotor dan paling berbahaya.”
Kalau kita membaca
Project of the New American Century (PNAC) yang disusun Dick Cheney,
Paul Wolfowitz, Donald Rumsfeld dan Richard Perle, sebelum mereka
berkuasa, tujuan yang tidak dikatakan adalah mendirikan supremasi, bukan
hanya hegemoni, Amerika di dunia, terutama di seluruh Asia.
Rancangan kelompok neokonservatif itu dipoles dalam sebuah laporan yang
disiapkan oleh Project for the New American Century berjudul Rebuilding
America’s Defenses: Strategy, Forces and Resources For A New Century
bulan September 2000. Adalah wartawan Skotlandia dari harian Sunday
Herald, Neil Mackay, yang membocorkan laporan itu dalam artikelnya
tanggal 15 September 2000.
Dengan kata kunci "serangan
preemptif" dan membasmi terorisme serta memerangi rezim-rezim yang
mengembangkan senjata pemusnah massal, Irak merupakan sasaran empuk yang
mudah dikalahkan. Maka dicari-carilah pembenaran bahwa Saddam
melindungi Al Qaeda, serta mengembangkan senjata pemusnah massal-
nuklir, kimia, dan biologis.
Pikiran yang dikembangkan oleh CFR
dan RAND Corporation di atas dilanjutkan oleh para pendukung perang
dari kelompok The Project for the New American Century (PNAC), yang
dimotori oleh Paul Wolfowitz dalam sebuah dokumen berjudul "Rebuilding
America's Defenses" yang diterbitkan pada bulan September 2000, setahun
sebelum peristiwa 11-9. Ddalam dokumen itu dinyatakan, "AS harus
mencegah negara-negara industri maju yang lain jangan sampai bisa
menantang kepemimpinan AS, atau bahkan bercita-cita untuk dapat
menjalankan peran regional atau global yang lebih besar."
Seperti halnya dokumen CFR dan RAND, dokumen PNAC itu pun secara khusus
menyoroti bangkitnya Cina yang perlu dihadapi oleh AS dengan menyatakan,
"Kini sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran balatentara AS
di Asia Tenggara." (Michael Meacher, "This War on Terrorism is Bogus',
the Guardian, London, edisi September 6, 2003. Meacher adalah mantan
menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair).
Sebelum
11-9, semua rencana mereka menabrak tembok rintangan yang sama tidak
satu pun pemerintahan di Asia Tenggara, bahkan yang konservatif
sekalipun seperti Indonesia, yang bersedia memikul risiko menghadapi
oposisi anti-Amerika di dalam negeri, atau membuat Cina marah, karena
langkah bodoh membangun hubungan dengan militer AS. Dengan kata lain,
tanpa adanya bukti adanya ancaman Cina terhadap kawasan Asia Tenggara,
para pemimpin ASEAN akan berpikir dua kali untuk memperkenankan
kehadiran balatentara AS dalam jarak pukul, bukan hanya terhadap Laut
Cina Selatan, terlebih-lebih terhadap daratan Cina. Peristiwa 11-9
membukakan peluang emas untuk mewujudkan usulan dokumen-dokumen
tersebut.
Pemerintah Bush dengan sigap memenuhi saran-saran
yang diajukan oleh think-tanks seperti RAND, CFR, dan PNAC. "Perang
membasmi terorisme global" kemudian oleh pemerintahan Bush ditangkap
sebagai dalih par-excellence untuk menghadapi sikap sebagian
negara-negara ASEAN yang menolak peningkatan kehadiran balatentara AS di
Asia Tenggara. Presiden Bush menyatakan dalam laporannya yang berjudul,
The US National Security Strategy (2002) kepada DPR AS menyatakan, "AS
akan mengambil langkah-langkah untuk menghalangi Cina meningkatkan
pengaruhnya, dan akan bekerja untuk mencegah negara tersebut jangan
sampai menyamai atau melampaui kekuatan AS, sehingga dapat mengancam
negara-negara di kawasan Asia-Pasifik"(?).
Akhirnya The
Heritage Foundation, think-tank dari kelompok ultra-sayap kanan Yahudi
yang memiliki hubungan erat dengan Partai Republik, menyatakan dengan
tegas, bahwa, "alasan melancarkan perang membasmi terorisme di Asia
Tenggara pada akhirnya harus dikerjakan dengan atau tanpa persetujuan
pemerintah-pemerintah di kawasan ini." (Peter Symonds, opcit.).
Peristiwa "Bom Bali" 12-10 -- tanpa ada seorang pun warga negara
Amerika yang jadi korban -- oleh AS telah ditampilkan sebagai "bukti"
adanya jaringan teroris internasional JI di Indonesia. Setelah peristiwa
12-10 itu semuanya berubah sudah, seluruh kawasan Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, siap berada di bawah komando AS untuk "membasmi
terorisme". Dan untuk itu AS menuntut agar balatentaranya di Pasifik
meronda Selat Malaka, di kemudian hari diniscayakan akan melebar ke
Selat Lombok dan alur-alur laut chocke points penting lainnya, dengan
dalih "membasmi pembajakan dan terorisme di laut".
Dan untuk
memperlancar agenda AS di Indonesia dalam usaha memburu para mujahidin
dengan kedok GWOT maka AS membiayai pembentukan pasukan khusus
kepolisian dengan nama Detasemen Khusus 88. pada saat kunjungan ke
Jakarta tahun 2002 menlu collin powel mengumumkan program bantuan
sebesar 50 juta US dollar untuk membantu aparat keamanan dalam kampanye
melawan terorisme. Kongres AS juga menyetujui untuk memberikan bantuan
kepada polisi Indonesia sebesar 16 juta US dollar termasuk 12 juta US
dollar untuk membentuk DEATSEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR / UNIT KHUSUS ANTI
TEROR (lihat laporan lembaga HUMAN RIGHT WATCH 25 maret 2003 berjudul :
ATAS NAMA MELAWAN TERORISME : PELANGGARAN HAM DISELURUH DUNIA).
Bahkan dalam anggaran belanja pertahanan AS belanja untuk Global War On
Terrorism tahun 2008 yang lalu mencapai 141, 7 milliar US dollar.
Demikian sedikit gambaran yang ada dibalik issue terorisme yang
berkembang dan dikembangkan saat ini. Kiranya kita semua tidak terjebak
dalam permainan AS yang memiliki maksud jahat untuk menguasai dunia
dengan sistem sesatnya.
Wamakaru wa makarallah wallahu khairul makariin. Wassalam
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda