Islamic Defenders - Hampir semua Muslim tergolong dalam salah satu dari
dua mazhab terbesar, yaitu Ahlussunah wal jamaah atau sering disebut
Sunni (85%) dan Syiah (15%). Permasalahan terjadi akibat perbedaan
pandangan tentang siapa yang seharusnya memimpin kaum Muslim sesudah
wafatnya Nabi Muhammad (SAW).
Negara dengan mayoritas pemeluk
Islam Sunni adalah Indonesia, Arab Saudi, dan Pakistan sedangkan negara
dengan mayoritas Islam Syi'ah adalah Iran dan Irak. Doktrin antara Sunni
dan Syi'ah berbeda pada masalah imamah (kepemimpinan) dan peletakan
Ahlul Bait (keluarga keturunan Rasullullah Muhammad). DR.
(Syeikh) Yusuf Al Qardhawi, tokoh ulama terkenal di abad ini dalam
Fatawa Mu’ashirah, menjelaskan 9 perbedaan tajam antara Ahlus Sunnah
yang moderat dengan Syi’ah Imamiyah Itsna Asy’ariah/12 Imam. Berikut ini
fatwa beliau:
1. Sikap Syi’ah terhadap Al Qur`an.
Sikap mereka terhadap Al Qur`an seperti yang telah saya jelaskan
berulang-ulang kali bahwa mereka tetap percaya dengan Al Qur`an yang
kita hafal. Mereka berkeyakinan bahwa Al Qur`an adalah firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Mushaf yang dicetak di Iran dengan mushaf yang
dicetak di Mekah, Madinah dan Kairo adalah sama. Al Qur`an ini dihafal
oleh anak-anak Iran di sekolah-sekolah agama (madrasah/pesantren) di
sana.
Para ulama Iran juga mengutip dalil-dalil Al Qur`an di
dalam masalah pokok-pokok dan furu di dalam ajaran Syi’ah yang telah
ditafsirkan oleh para ulama mereka di dalam kitab-kitabnya. Namun masih
tetap ada di antara mereka yang berkata;
Mungkin saja sebagian
besar ulama mereka tidak mempercayai hal ini. Sayangnya mereka tidak
mengkafirkan orang yang telahmengatakan hal di atas. Inilah sikap yang
sangat berbeda dengan sikap Ahlu Sunnah, yaitu barangsiapa yang meyakini
telah terjadi penambahan dan pengurangan terhadap Al Qur`an, maka
dengan tidak ragu lagi, kami akan cap dia sebagai orang kafir.
Padahal keyakinan seperti ini terdapat di dalam kitab-kitab rujukan
mereka, seperti Al Kaafiy yang sebanding dengan kitab Shahih Al Bukhari
bagi Ahlu Sunnah. Kitab ini telah dicetak dan diterjemahkan
laludidistribusikan ke seluruh dunia tanpa ada penjelasan apa-apa di
dalamnya. Ada pepatah di masyarakat, “Orang yang diam terhadap
kebatilan, sama dengan orang yang membicarakannya.”
2. Sikap Syi’ah terhadap As Sunnah
Definisi As Sunnah menurut Ahlu Sunnah adalah sunnah Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah dimaksum oleh Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dan Dia perintahkan umat Islam untuk menaati beliau di samping
taat kepada-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
“Sesungguhnya Al Qur`an ini tidak lengkap. Karena ada beberapa
surat dan ayat yang dihilangkan dan akan dibawa oleh Al Mahdi pada saat
dia muncul dari persembunyiannya.”
Akan tetapi batasan As
Sunnah menurut Syi’ah adalah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan para imam mereka yang maksum. Maksudnya,sunnah mencakup bukan
hanya sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan
jugasunnah kedua belas imam mereka. Imam mereka yang 12 orang tersebut
wajib ditaati sebagaimana taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan
rasul-Nya yang dikuatkan dengan wahyu.
Mereka telah menambahkan
perintah Al Qur`an untuk taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan
rasul-Nya yaitu agar taat kepada makhluk yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala
sendiri tidak memerintahkannya. Lebih dari itu, kita mengkritik Syi’ah
karena telah meriwayatkan sunnah dari orang-orang yang tidak tsiqah
(terpercaya) karena tidak memenuhi unsur keadilan dan kesempurnaan
hafalan.
Oleh karena itu, kitab-kitab rujukan Ahlu Sunnah tidak
diterima oleh mereka. Mereka tidak mau menerima kitab Shahih Bukhari,
Muslimdan Kutub Sittah lainnya, tidak mau menerima kitab Al
Muwatha,Musnad Ahmad dan kitab-kitab yang lainnya.
3. Sikap Syi’ah terhadap Para Sahabat
Pandangan negatif mereka terhadap para sahabat merupakan pokok dan
dasar ajaran Syi’ah. Sikap mereka itu adalah turunan dari pokok ajaran
mereka yang meyakini bahwa, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah berwasiat jika beliau wafat, maka Ali bin Abi Thalib adalah
pengganti beliau. Akan tetapi para sahabat menyembunyikan wasiat ini dan
mereka merampas hak Ali ini secara zalim dan terang-terangan. Para
sahabat telah berkhianat terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam yang menjadi wasilah mereka mendapatkan petunjuk dan mereka hidup
di zaman beliau untuk menolongnya walaupun dengan nyawa dan segala yang
mereka miliki.
Yang mengherankan, apakah mungkin para sahabat
bersekongkol untuk melakukan hal ini, sementara Ali Radhiyallahu ‘Anh
–sang pemberani- hanya bisa diam saja tidak berani mengumumkan haknya
ini. Justru Ali malah ikut membaiat Abu Bakar, Umar dan kemudian Utsman.
Ali tidak pernah berkata kepada salah seorang dari mereka itu;
“Katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika
kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu
hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa
yang dibebankan kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu
mendapat petunjuk,” (QS An Nur [24]: 54).
”dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat,”(QS An Nur [24]: 56).
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada
Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),”(QS An Nisa [04]: 59).
“Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu
berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir,” (QS
Ali Imran [03]: 32).
“Barangsiapa menaati Rasul
(Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa
berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu
(Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka,” (QS An Nisa [04]: 80).
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut
keinginannya. Tidak lain (Al Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya),” (QS An Najm [53]: 3-4) dan ayat-ayat yang lainnya.
Mengapa Ali tidak mau menjelaskan hal ini? Kemudian, jika memang Al
Hasan bin Ali benar-benar telah tercatat sebagai khalifah setelah Ali
karena ada wasiat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, tapi mengapa
justru Al Hasan mengalah dan memberikan jabatan khalifah ini kepada
Mu’awiyah? Mengapa Al Hasan melakukan hal ini, padahal ini merupakan
perintah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Dan mengapa justru Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam haditsnya (hadits ramalan
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam) memuji sikap Al Hasan ini?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab sama sekali oleh mereka.
Inilah tuduhan palsu mereka terhadap para sahabat yang tidak terbukti.
Keterangan mereka ini sangat bertentangan dengan keterangan yang Allah
Subhanahu Wa Ta’ala sebutkan di dalam beberapa surat Al Qur`an. Seperti
di akhir surat Al Anfal, surat At Taubah, surat Al Fath di pertengahan
di akhirnya, surat Al Hasyr dan surat-surat lainnya.
Demikian
pula As Sunnah telah memuji para sahabat baik secara umum maupun secara
khusus. Juga zaman mereka itu dianggap sebagai sebaik-baik zaman setelah
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Juga apa yang dicatat
oleh sejarah tentang mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah
menghafal Al Qur`an dan dari mereka lah umat menukilnya. Mereka juga
adalah orang-orang yang telah menukil As Sunnah dan menyampaikan apa
yang mereka nukil dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam baik
perkataan, perbuatan maupun persetujuan beliau kepada umat ini.
Mereka juga adalah orang-orang yang telah melakukan futuh (pembebasan
negeri lain dengan damai) dan membimbing umat ini menuju tauhid Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan risalah Islam. Mereka juga telah mempersembahkan
kepada bangsa-bangsa yang dibebaskannya contoh-contoh teladan Qur’ani
yang dijadikan sebagai petunjuk.
4.Imamah Ali dan Keturunannya
yang Berjumlah 12 Imam Adalah Pokok Ajaran Syi’ah. Barangsiapa yang
Menolak, maka Dia Dicap Kafir.
Di antara masalah akidah Syi’ah
Imamiyah Itsna ’Asyariyah yang bertentangan dengan Ahlu Sunnah adalah,
keyakinan Syi’ah bahwa kepemimpinan Ali dan keturunannya dari garis
Husein merupakan pokok-pokok keimanan, seperti beriman kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, beriman kepada para malaikat-Nya, beriman kepada
kitab-kitab-Nya, beriman kepada para rasul-Nya dan beriman kepada hari
akhir. Tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala
iman seorang muslim, jika dia tidak beriman bahwa Ali adalah khalifah
yang ditunjuk oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Demikian juga
halnya dengan 11 imam keturunan Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang
berani menolak hal ini atau meragukannya, maka dia adalah kafir yang
akan kekal di neraka. Seperti inilah riwayat-riwayat yang tercantum di
dalam Al Kaafiy dan kitab-kitab lainnya yang mengupas masalah akidah
mereka.
Atas dasar inilah, sebagian besar kaum Syi’ah
mengkafirkan Ahlu Sunnah secara umum. Hal ini dikarenakan akidah Ahlu
Sunnah berbeda dengan akidah mereka (Syi’ah). Bahkan Ahlu Sunnah tidak
mengakui akidah seperti ini dan menganggap bahwa akidah ini adalah batil
dan dusta atas nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya.
Bahkan Syi’ah juga mengkafirkan para sahabat yang tidak mengakui imamah
Ali Radhiyallahu ‘Anh. Mereka juga mengkafirkan tiga orang khulafa
rasyidin sebelum Ali yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman dan para sahabat
lain yang mendukung ketiga orang khalifah ini. Kita ketahui bahwa semua
para sahabat telah meridhai tiga khulafa rasyidin, termasuk Ali bin Abi
Thalib yang pada saat itu Ali lah orang terakhir membaiat Abu Bakar.
Kemudian Ali berkata;
”Sesungguhnya aku mempunyai wasiat
dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Akan tetapi, mengapa
kalian bersikap seolah-olah tidak tahu? Mengapa kalian hanya
bermusyawarah dengan enam orang saja dan kalian menyibukkan diri kalian
sendiri? Siapakah orangnya yang harus memilih sedangkan umat Islam telah
menetapkan hal ini dengan wasiat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa
Sallam?”
Akan tetapi Ali tidak menyebutkan bahwa dia mempunyai nash wasiat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Sedangkan kami Ahlu Sunnah menganggap bahwa masalah imamah dan yang
berkaitan dengannya termasuk ke dalam furu’ dan bukan termasuk
pokok-pokok akidah Islam. Masalah ini lebih baik dikaji di dalam
kitab-kitab fiqih dan muamalah dan bukan dikaji di dalam kitab-kitab
akidah dan pokok-pokok agama. Walaupun dengan sangat terpaksa para ulama
Ahlu Sunnah membicarakan masalah ini di dalam kitab-kitab akidah untuk
membantah seluruh ajaran Syi’ah di dalam masalah ini.
Syaikh
Muhammad ‘Arfah, seorang anggota Lembaga Ulama Senior Al Azhar pada
zamannya, telah menukil dari kitab-kitab akidah milik Syi’ah Imammiyah
Itsna ’Asyariyyah sebagai penguat apa yang kami ucapkan tentang mereka.
Beliau berkata,
”Sesungguhnya kami tidak mengingkari
keutamaan dan kedudukan Anda wahai Abu Bakar. Akan tetapi kami dalam hal
ini mempunyai hak karena kami adalah kerabat (keluarga) Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
”Jika kita mau mengkaji
kitab-kitab akidah milik orang-orang Syi’ah, maka kita akan menemukan
adanya kesesuaian atas riwayat-riwayat yang mereka sampaikan. Kita pun
bisa langsung menukil ajaran mereka yang kita anggap sebagai ajaran yang
sangat berbahaya yaitu masalah imamah, ajaran mengkafirkan para sahabat
dan tiga orang khulafa rasyidin. Mereka terus mengkafirkan kaum
muslimin sejak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat sampai hari
ini.
llah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda, ”Wahai
Ali, Sesungguhnya kelak setelah aku wafat, engkau itu akan dizhalimi.
Barangsiapa yang menzhalimimu, sama dengan dia telah menzhalimi aku;
barangsiapa yang bersikap adil terhadapmu, sama dengan dia telah
bersikap adil terhadap aku; dan barangsiapa yang menolakmu, sama dengan
menolak aku.”
Imam Shadiq AS berkata, ”Orang yang menolak imam terakhir kami, sama dengan menolak imam pertama kami.”
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Para imam setelah
aku ini ada berjumlah dua belas orang. Imam yang pertama adalah Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib AS, dan imam yang terakhir adalah Al Mahdi.
Menaati mereka sama dengan menaati aku dan bermaksiat kepada mereka sama
dengan bermaksiat kepada aku. Barangsiapa yang menolak salah seorang
dari mereka, sama dengan menolak aku.” Imam Shadiq berkata, ”Barangsiapa
yang meragukan tentang kekufuran musuh-musuh kami dan sikap zhalim
mereka terhadap kami, maka dia dianggap telah kafir.”[1]
5. Dakwaan Wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Ali
Dakwaan adanya wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
untuk Ali menjadi khalifah setelah beliau wafat –seperti keyakinan
Syi’ah- sungguh telah merampas hak kaum muslimin untuk memilih pemimpin
dari kalangan mereka sendiri. Itulah wujud pengamalan terhadap perintah
musyawarah yang telah dijadikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai
ciri khas kaum muslimin,”Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka,” (QS Asy Syura [42]: 38).
Seolah-olah
dengan adanya wasiat itu, umat Islam terbelakang selamanya, sehingga
Allah Subhanahu Wa Ta’ala harus menentukan siapa orangnya yang berhak
mengurusi dan memimpin umat Islam. Juga diharuskan orang yang memimpin
umat Islam ini datang dari rumah tertentu dan dari keturunan tertentu
dari keluarga rumah ini. Padahal semua manusia adalah sama. Yang jelas
bahwa yang berhak memimpin umat Islam adalah orang yang diterima
(diridhai) oleh umat Islam dan dia mampu untuk memikul amanah ini dan
menakhodai umat ini.
Saya yakin jika Negara Islam yang
dipersepsikan oleh Ahlu Sunnah adalah bentuk Negara Islam ideal yang
telah digambarkan oleh Al Qur`an dan As Sunnah yang shahih. Yaitu sangat
sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat dunia pada saat ini bahwa
rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri, tidak menganut teori negara
Teokrasi atau sebuah sistem yang mana negara dikuasai oleh pemerintahan
berasaskan agama (tertentu) atas nama Pemerintahan Langit yang
membelenggu leher masyarakat dan hati nurani mereka. Semua lapisan
masyarakat tidak kuasa atas diri mereka sendiri kecuali harus
mengatakan, ”Kami mendengar dan kami taat!”
Keyakinan Syi’ah
ini dibantah oleh takdir Allah, di mana Imam yang ke-12 mereka sedang
bersembunyi, seperti yang mereka yakini. Akhirnya, umat manusia
ditinggalkan tanpa imam maksum lebih dari 11 abad. Bagaimana mungkin
Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan membiarkan umat manusia tanpa imam yang
akan membimbing mereka? Ternyata mereka (orang-orang Syi’ah) berkata,
”Kami masih mempunyai Al Qur`an dan As Sunnahuntuk membimbing kami”
ketahuilah, justru kami (Ahlu Sunnah) sejak dahulu sudah mengatakan hal
ini.
6. Superioritas Kelompok Tertentu atas Seluruh Umat Manusia
Keyakinan orang-orang Syi’ah dibangun atas dasar rasa superioritas
(merasa paling lebih) dari seluruh makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Mereka merasa mempunyai karunia yang sangat besar jika dilihat dari
penciptaannya. Mereka ini berhak untuk mengatur orang lain walaupun
mereka tidak memilihnya. Hal ini dikarenakan telah menjadi keputusan
langit.
Pemikiran seperti ini sangat bertentangan dengan ajaran
Islam secara umum. Hal ini disebabkan seluruh manusia adalah sama
seperti deretan sisir. Hanya ada satu Rabb bagi seluruh umat manusia dan
memiliki nenek moyang yang sama yaitu Adam ‘Alaihis Salam. Mereka semua
diciptakan dari bahan yang sama, yaitu sperma. Oleh karena itu, tidak
ada rasa superioritas seorang manusia atas manusia yang lain kecuali
dengan taqwanya.
Hal ini seperti yang telah dijelaskan di dalam Al Qur`an;
Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak pernah mengakui imamah Ali
dan 12 imam mereka. Hal ini seperti yang kami kutip dari penghulu ahli
hadits Abi Ja’far Ash-Shaduq Muhammad bin Ali bin Husein bin Babawaih Al
Qummi yang meninggal dunia pada tahun 381 Hijriyah yang merupakan ahli
hadits kedua dari tiga ahli hadits (Syi’ah) yang juga dia itu adalah
pengarang kitab yang berjudul, “Man La Yahdhuruh Al Faqih”, salah satu
kitab dari empat kitab rujukan Syi’ah di dalam masalah pokok-pokok
ajaran mereka.
Dia berkata, ”Kami berkeyakinan pada
orang-orang yang menolak imamah Ali bin Abi Thalib dan seluruh imam
setelah beliau adalah seperti orang-orang yang menolak nubuwah
(kenabian) para nabi. Kami juga berkeyakinan bahwa orang-orang yang
mengakui imamah Ali dan menolak satu dari imam setelah Ali adalah
seperti orang-orang yang mengakui/beriman kepada para nabi akan tetapi
mereka menolak Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”Dia juga
berkata di dalam “Risalat Al I’tiqadat”, bahwasanya Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ”Barangsiapa yang menolak imamah
Ali setelah aku (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam), artinya dia
telah menolak kenabianku dan barangsiapa yang menolak kenabianku,
artinya dia telah menolak rububiyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
guhnya manusia itu diutamakan atas yang lainnya hanya karena amal
perbuatan, dan bukan karena faktor keturunan. Sebab siapa yang amalnya
lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepat langkahnya meraih
ridha-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
“Wahai
manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Mahateliti,” (QS Al Hujurat [49]: 13).
Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan bahwa yang akan
menghukumi umat manusia di hari Kiamat adalah Al Mizan yang tidak akan
menzhalimi seorang pun. Manusia lah yang memilih para pemimpin dalam
bingkai musyawarah. Manusia berbaiat kepada para pemimpin dengan syarat
jangan melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hak-hak
manusia.
Hanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saja
satu-satunya orang yang dipilih oleh wahyu, ”Allah lebih mengetahui di
mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya,” (QS Al An’am [06]: 124).
Selain beliau, hanya manusia biasa dan tidak dipilih oleh wahyu.
Kemudian kenyataan sejarah menunjukkan bahwa orang-orang yang mengaku
berhak menduduki sebuah jabatan pemerintahan atas dasar nash (Al
Qur`an/As Sunnah), ternyata mereka itu tidak menduduki jabatan apa-apa.
Justru mereka hidup seperti manusia pada umumnya (rakyat biasa),
mendapatkan persamaan di dalam hukum. Kecuali Ali bin Abi Thalib yang
dibaiat oleh kaum muslimin menjadi khalifah. Karena jika dilihat dari
sisi keilmuan, beberapa imam ‘maksum’ keturunan Ali tidak dikenal
sebagai orang yang unggul kecerdasannya dan layak menjadi imam. Namun
ada sebagian dari keturunan Ali termasuk ke dalam tokoh besar di bidang
fiqih, seperti Muhammad Al Baqir dan Ja’far Ash-Shadiqseperti imam-imam
fiqih lainnya.
7. Penyebaran Bid’ah di Kalangan Syi’ah
Di antara yang harus diperhatikan dari Syi’ah yaitu terjadinya
penyebaran bid’ah yang mengandung kemusyrikan di kalangan para pengikut
Syi’ah. Mereka menyembah kuburan dan situs-situs para imam dan syaikh
mereka. Mereka berani bersujud ke kuburan, meminta pertolongan kepada
ahli kubur dan berdoa meminta kebaikan untuk para peziarahnya dan supaya
terbebas dari segala macam marabahaya. Menurut mereka bahwa para ahli
kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat dan bahaya, bisa membuat miskin
dan kaya seseorang dan bisa membuat seseorang senang maupun sengsara.
Saya (Syaikh Yusuf Al Qardhawi) pernah melihat dengan mata kepala
sendiri bagaimana para peziarah kuburan Imam Ridha bersujud sambil
merangkak ke arah kuburan beliau dari jarak sepuluh meteran. Tentu hal
ini bisa terjadi dikarenakan kerelaan dan anjuran dari para ulama
Syi’ah.
Hal ini berbeda dengan perilaku orang-orang awam Ahlu
Sunnah pada saat mereka melakukan ziarah ke kuburan para wali dan Ahlul
Bait yang kedapatan berperilaku menyimpang dan bid’ah. Akan tetapi,
perilaku ini ditolak keras oleh para ulama Ahlu Sunnah. Inilah perbedaan
yang mendasar antara kami (para ulama Ahlu Sunnah) dengan mereka (para
ulama Syi’ah). Yaitu para ulama Ahlu Sunnah mengecam perilaku munkar
yang dilakukan oleh orang-orang awam. Bahkan ada sebagian para ulama
Ahlu Sunnah yang mengafirkan perilaku orang-orang awam ini. Akan tetapi
perilaku munkar dan syirik yang dilakukan oleh orang-orang awam Syi’ah
adalah diridhai dan mendapat dukungan dari para ulama mereka.
8. Syi’ah Membelokkan (Distorsi) Sejarah
Sesungguhnya Syi’ah telah menjelek-jelekkan para sahabat, tabiin, dan
para pengikut mereka. Juga mereka berani merubah alur sejarah umat Islam
sejak zaman yang paling baik (zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan para sahabatnya dan generasi setelah ini). Yaitu zaman
terjadinyafutuh (pembebasan negeri dengan cara damai) dan kemenangan
gilang gemilang serta berbondong-bondongnya umat manusia masuk Islam.
Juga terbangunnya kebudayaan yang mengacu kepada ilmu pengetahuan, iman
dan akhlaq juga umat Islam ini mempunyai sejarah yang sangat gemilang.
Sekarang umat Islam mencoba untuk bangkit kembali dengan cara berkaca
kepada sejarahnya, menyambungkan masa sekarang dengan zaman dahulu.
Menjadikan kemuliaan para pendahulu umat Islam sebagai figur untuk
mendorong generasi muda kini untuk maju dan jaya. Sedangkan sejarah
orang-orang Syi’ah dipenuhi dengan kegelapan. Inilah yang mendorong saya
untuk menulis sebuah buku berjudul, “Tarikhuna Al Muftara ‘Alayhi”
-Sejarah Kita yang Diselewengkan-.
Buku ini mengupas sejarah
yang benar dan membantah seluruh tuduhan busuk orang-orang Syi’ah. Buku
saya ini membuat orang-orang Syi’ah gerah. Kemudian salah seorang Syi’ah
menulis sebuah buku membantah buku saya ini. Dia berkata; ”
”Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di
antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka
saling bertanya,” (QS Al Mu`minun [23]: 101). 9. Ajaran Taqiyyah (Bermuka dua)
Di antara ajaran Syi’ah yang menyangkut akhlaq adalah menjadikan
Taqiyyah sebagai dasar dan pokok ajaran di dalam berinteraksi dengan
orang lain. Mereka selalu melakukan Taqiyyah, yaitu menampakkan sesuatu
yang berbeda dengan yang ada di dalam hati. Mereka itu mempunyai dua
wajah. Wajah yang pertama dihadapkan ke sekelompok orang dan wajah yang
lainnya dihadapkan ke kelompok yang satunya lagi. Mereka juga mempunyai
dua lidah.
Mereka berdalih dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala;
Yusuf Al Qardhawi ini Wakil Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau Wakil Bani Umayyah?”[2]
Akan tetapi, dengan sangat jelas ayat menerangkan bahwa dibolehkannya
Taqiyyah adalah pada saat darurat yang memaksa seorang muslim harus
melakukan hal ini (Taqiyyah) karena takut dibunuh atau ada bahaya besar
yang mengancamnya. Keadaan seperti ini masuk ke dalam pengecualian,
seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala;
”Janganlah
orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan
orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak
akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri
dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka,” (QS Ali Imran [03]: 28).
ecualian ini tidak bisa dijadikan sebagai acuan di dalam bermuamalah.
Hal ini (Taqiyyah) boleh dilakukan pada saat darurat, yang mana keadaan
darurat bisa menghalalkan sesuatu yang terlarang. Akan tetapi tetap
harus dihitung secara cermat. Untuk orang lain yang tidak terpaksa,
tidak boleh melakukan hal ini. Karena sesuatu yang terjadi atas dasar
pengecualian tidak bisa dikiaskan.
Akan tetapi Syi’ah Imamiyah
menjadikan Taqiyyah ini sebagai dasar di dalam muamalah mereka karena
para imam mereka membolehkan hal tersebut. Dari Ja’far Ash Shadiq
bahwasanya dia telah berkata ”Taqiyyah adalah agamaku dan agama
leluhurku.” Ibnu Taimiyyah berkata mengomentari ucapan ini, ”Allah
Subhanahu Wa Ta’ala telah menyucikan Ahlul Bait dari hal ini dan mereka
tidak memerlukan Taqiyyah. Karena mereka adalah orang-orang yang paling
jujur dan paling beriman. Oleh karena itu, agama mereka adalah Taqwa dan
bukan Taqiyyah.”[3]
__________________________________
[1] Padahal semua ini adalah hadits-hadits palsu yang dibuat oleh mereka sendiri. [2] Buku ini ditulis oleh seorang Syi’ah asal Mesir yang bernama Dr. Ahmad Rasim An Nafis.\ [3] Lihat kitab Al Muntaqa min Minhajil I’tidal, karya Imam Adz Dzahabi hal. 68.
Sumber: Fatawa Mu'ashirah
”Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman,” (QS An Nahl [16]: 106).
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda