Entah apa yang ada di benak orangtua yang bisa begitu dengan mudah memperbolehkan anaknya mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya. Apakah dia merasa bangga, kalau anaknya sudah bisa mengemudi sepeda motor atau mobil sendiri?
Saya tidak habis pikir, ada saja orangtua yang malah ikut mendorong anaknya untuk cepat-cepat bisa membawa kendaraan bermotor itu, dengan cara memalsukan umur si anak agar bisa memperoleh SIM! Padahal si anak belum mahir membawa kendaraan bermotor tersebut.
Ada juga yang malah membeli anaknya sepeda motor, dengan alasan agar si anak senang, dan bisa ke sekolah sendiri dengan sepeda motor barunya. Padahal masih sekolah di SMP, alias umurnya belum cukup.
Saya cukup sering juga bertemu dengan anak-anak usia SMP, bahkan SD yang membawa sepeda motor sendiri, atau sambil berboncengan dengan anak-anak lain seusianya. Melawan arus lalu-lintas, tidak pakai helm lagi. Saya bertanya-tanya di dalam hati, “Di mana saja orangtuanya? Apa tidak sayang sama anaknya ini?”
(http://robioktaalfimona.blogspot.com)
Bicara soal sayang anak. Saya pernah bertanya kepada orangtua yang membeli anaknya sepeda motor, padahal anaknya itu masih SMP. Kenapa kok terlalu cepat membeli anaknya itu sepeda motor, dan mengizinkannya mengemudinya sendiri?
Atau orangtua yang membantu anaknya melakukan hal-hal yang manupulatif seperti memalsukan umur anak supaya bisa dapat SIM dan mengendarai mobil sendiri. Kenapa dia melakukan hal itu untuk si anak?
Jawabannya pada intinya sama, yakni karena sayang anak. Atau kasihan sama si anak, sudah lama mendambakan sepeda motor baru sendiri. Sudah lama ingin bisa bawa mobil sendiri.
Dalam hati saya berkata: Ini namanya sayang anak, atau mau membunuh anak sendiri secara tidak langsung? “Anda membayar sesuatu untuk membunuh anak sendiri!” Nanti kalau semua sudah terjadi, menyesal pun tiada gunanya.
Hal yang sama juga adalah pemandangan di jalan raya, ketika satu sepeda motor bisa dipakai oleh satu keluarga. Suami memegang kemudi, istri diboncengan belakang. Dengan tambahan dua orang anak atau lebih! Satu di antara posisi ayah dan ibunya, dan satu lagi duduk atau berdiri di depan ayahnya yang mengemudi. Yang paling bertambah parah adalah, sudah begitu, si ayah dalam mengemudi pun seolah-olah tidak memperhatikan lagi keselamatan mereka sekeluarga. Kalau malam, ada yang sepeda motornya tidak berlampu, atau sambil ngebut, bermanuver di antara truk-truk tronton/trailer, dan lain-lain yang pada intinya sangat berisiko tinggi untuk keselamatan mereka sendiri.
Akibat aksi-aksi konyol seperti itu, sudah sangat sering kita melihat atau mendengar kabar tentang pengendara dan sepeda motornya yang mengalami kecelakaan dengan truk-truk tronton atau trailer yang bobotnya belasan sampai puluhan ton. Sungguh lawan yang sangat tidak sepandan. Tetapi itulah yang paling sering terjadi. Rasanya hampir setiap hari ada kejadian memilukan seperti ini. Tetapi, kok, sepertinya tidak pernah ada yang kapok, dan belajar dari pengalaman kejadian-kejadian tragis seperti ini?
Saya kerap menggeleng-geleng kepala ketika melihat aksi maut dari pengendara sepeda motor yang bisa dengan beraninya bermanuver di antara truk-truk tronton/trailer. Apakah itu mereka sendiri, atau sambil membonceng anggota keluarganya, termasuk anak-anak. Sekali saja mereka gagal, tersenggol badan truk. Hampir pasti akibatnya sangat fatal.
Apakah fenomena ini adalah bagian dari dampak ketidakbecusan pemerintah dalam menyediakan prasarana umum yang memadai di negara ini? Terutama sekali di kota-kota besar?
Seandainya saja, kota-kota seperti Jakarta dan Surabaya punya prasarana angkutan massal seperti MRT yang moderen, bersih, aman dan nyaman, tentu pemandangan-pemandangan yang memiriskan hati itu tidak bakalan ada.
Rakyat (kecil) selalu menjadi tumbal dari ketidakbecusan pemerintah mengurus negara ini.
Kalau yang ini lebih hebat lagi. Di Cina. Aksi konyol, yang tidak patut ditiru
[kompasiana]
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda