Mesir - Semuanya bermula di 2011, ketika mantan PM Tzipi Livni yang pada
waktu itu menjabat Menteri Kehakiman dengan didampingi Bernard
Henry-Levi tengah mengadakan konperensi pers. Dalam konpers itu,
keduanya dikutip bersepakat tentang satu isu krusial bagi Israel, Mesir
akan menyelenggarakan pemilu demokratisnya yang pertama pasca kejatuhan
diktator Mubarak. Katanya, “Jika Ikhwanul Muslim menang di
Mesir, adalah hal yang tidak diinginkan demokrasi karena demokrasi tidak
hanya kotak suara namun juga nilai." Ketika didesak wartawan apakah dia akan mendesak militer ikut campur maka Livni tanpa ragu menjawab, “Saya akan desak militer mencegah Ikhwan berkuasa dengan segala cara.”
Dua
tahun kemudian, Mursi benar-benar jatuh. Junta militer dibawah komando
Jenderal super bengis Abdel Fattah as Sisi mengkudeta Presiden Muhammad
Mursi yang terpilih secara demokratis. Memperbaharui komitmennya -kutip
Jason Ditz-, seorang pejabat tinggi Israel mengatakan, “Menjaga Mesir tetap “stabil” adalah harga mati, demokrasi dan HAM adalah masalah minor yang menempati kursi belakang.” Dukungan Israel atas militer Mesir tentu bukan karena Israel mencintai mereka namun militer Mesir dipandang sebagai satu-satunya
sekutu di Timur Tengah yang dipandang kredibel melindungi kepentingan
politik dan keamanan Israel dengan berapapun harga sosial, politik, dan
ekonomi yang dipertaruhkan.
Selanjutnya, Israel via PM Benyamin Netanyahu segera memainkan backstage diplomacy
yang sangat intense dengan junta militer Mesir. Tidak terhitung berapa
kali pertemuan dan komunikasi intensif terjalin antara kedua pihak.
Targetnya, Israel menjamin AS tidak menjatuhkan sanksi atas Mesir,
sekalipun melanggar prinsip demokrasi dan aturan hukum sendiri. UU AS
secara gamblang melarang pemerintah menjalin ataupun mendukung rejim
yang mengkudeta pemerintahan yang dipilih secara demokratis.
Tekanan
politik atas AS ini tentu dalam kalkulasi Netanyahu bukan pekerjaan
yang terlampau sulit. Faktanya, Netanyahu dimata para elit politik
Amerika lebih dihormati ketimbang Presiden Obama sendiri. Analis
politik, Dr Sarah Marusek mencatat PM Benyamin Netanyahu mendapat
sebanyak 29 kali standing ovation (tepuk tangan kehormatan) dari anggota Konggres ketika berkunjung ke AS, EMPAT KALI
lebih banyak dari Obama dalam pidato kenegaraannya setahun lalu.
Ketika
Obama hanya mengirimkan isteri dan anaknya dalam jamuan makam malam
menyambut Netanyahu sebagai bentuk ‘silent protest’ atas sikap ignorance
sang tamu. Ketua Parlemen, Nancy Pelosi beserta anggota Konggres
lainnya tak pelak mengecamnya dan sebagai gantinya menyambut Netanyahu
lebih meriah. Ini tentu pesan politik penting (strong political message) tentang siapa sejatinya policy maker di AS.
Maka
berselang tidak lama, orkestrasi mesin kebohongan dan penyesatan
Zionis-pun dimainkan. Organisasi lobby raksasa Israel di Washington,
AIPAC (American-Israel Public Affairs Committee) segera berkirim surat
kepada seluruh anggota Kongres untuk memblok proposal inisiatif Rand
Paul bagi amandemen penghentikan bantuan militer Mesir.
Insiatif
amandemen anggota Republikan ini, “Mendorong instabilitas di Mesir, merusak kepentingan strategis AS dan berdampak buruk kepada sekutu kita, ISRAEL.”
Kata Israel adalah magic spell (mantera ajaib) bagi struktur dan
hirarki politik di Amerika, tidak terkecuali sang demokrat, Obama. Lagi
pula, siapa yang cukup punya nyali menantang raksasa AIPAC dengan SDM
dan dukungan dana hampir tak terbatas. Faktanya, setiap bakal kandidat
konggres atau presiden Amerika harus mengikuti tes uji kelayakan (fit and proper test)
dan mendapat restu lembaga ini sebelum maju dalam bursa pencalonan.
Seperti sudah ditebak, inisiatif amandemen inipun kandas. Skor 86-13
untuk kemenangan anti amandemen.
Di tingkat civil society,
banyak media pro Zionis di AS yang tanpa malu mendukung kudeta untuk
pelbagai alasan. Ambil contoh, Wall Street Journal. Kita tentu patut
hati-hati dengan edisi Indonesianya. Ulas media ini, merespon seruan
penghentian bantuan AS atas Mesir. “AS perlu memisahkan antara attitude dengan policy”, dan lebih berpihak kepada real politics. Attitude adalah sesuatu indah namun belum tentu realistis dijalankan sebagai policy.
Bret Stephens misalnya, memberi ulasan inusiatif: mendukung
‘kediktatoran Mursi” dalam proses adalah hal yang tidak realistis disaat
jutaan massa (sekalipun tanpa verifikasi) menentangnya. Selanjutnya,
membebaskan segera Mursi dan tahanan politik Ikhwan lainnya bagus namun
tidak realistis, karena ini artinya, memberi kesempatan ikhwan melakukan
konsolidasi politik bagi kepentingan anti junta militer. Demikian pula,
menghentikan bantuan akan memberi kesempatan Rusia masuk menggantikan
posisi Amerika dengan bantuan Arab Saudi. Selanjutnya, Bret menarik
konklusi yang menjijikkan karena minus moral dan etik. Konklusi ini
tentu bertentangan dengan fakta bencana kemanusiaan yang diakibatkan dan
seolah menggambarkan dirinya lahir dan hanya hidup di negeri seperti
Korea Utara yang minus modern civility.
Simpulnya, “Apa
yang realistis dan kita inginkan adalah militer sukses menundukkan
Ikhwanul Muslimin secepat mungkin dan menyakinkan. Fakta kemenangan
militer memaksa kemurahatian kita karena ini akan memberi kesempatan
rakyat Mesir kembali kepada kehidupan normal. Kemenangan militer
mencegah ancaman politik dan senjata. Kemenangan militer akan memberi
kesempatan pemerintahan sipil yang diangkat menjalankan peran politiknya
yang penting, menyelesaikan peta diplomatic sehingga negara-negara
tetangganya tahu apa yang harus dilakukan.”
by: Ahmad Dzakirin
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda