Australia |
JAKARTA - Pernyataan Perdana Menteri Australia Tony
Abbott perihal bantuan Australia kepada Indonesia pasca-tsunami di
Aceh, menuai kontroversi. Sebab, bantuan itu dikaitkan dengan keinginan
pembatalan pelaksanaan hukuman mati atas dua warganya.
Dua warga Australia, Andrew Chan (31) dan Myuran
Sukumaran (33), yang memimpin kelompok perdagangan narkoba dengan julukan Bali
Nine, berada di antara kelompok narapidana yang akan menghadapi regu tembak
pada gelombang eksekusi mati berikutnya.
PM Australia Tony
Abbott memang mendesak Indonesia untuk mengingat kontribusi besar Canberra
dalam bantuan setelah tsunami dahsyat tahun 2004 di Aceh dan membayar kemurahan
hati itu dengan membatalkan eksekusi mati dua warganya.
"Australia telah
mengirim bantuan miliaran dollar," katanya seraya menambahkan, Australia selalu
ada untuk membantu Indonesia sehingga berharap Indonesia bisa membalas dengan
cara membatalkan eksekusi mati.
Jika tetap mengeksekusi dua
warganya, ancam dia, maka Australia akan
sangat kecewa dan tidak akan berdiam diri.
"Australia seolah
tidak tulus dan ikhlas dalam menyampaikan bantuan. Bantuan diberikan seolah
untuk menciptakan ketergantungan Indonesia terhadap Australia. Saat ini, ketika ada kepentingan Australia, ketergantungan itu yang
digunakan," kata Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional
Universitas Indonesia, Kamis (19/2/2015).
Menurutnya, Abbott telah memberi
persepsi yang salah terhadap bantuan Australia untuk
para korban tsunami di Aceh. Pernyataan Abbott juga bakal menguatkan persepsi
masyarakat Indonesia bahwa bantuan dari luar negeri membawa kepentingan dari
negara tersebut.
"Tidak ada makan siang yang gratis," ujarnya.
Ia
menambahkan, Abbott bukanlah Perdana Menteri atau pengambil kebijakan ketika Australia memberi bantuan ke Indonesia
pasca-tsunami Aceh pada 2006.
"Namun, sekarang telah
disalahmanfaatkan oleh Abbott, seolah bantuan tersebut dapat ditukar dengan
pembatalan pelaksanaan hukuman mati," ungkapnya seraya menyikapi serius
soal Abbott yang mempermasalahkan adanya warga Australia yang
meninggal dunia saat bantuan tsunami.
Pernyataan itu seolah menunjukkan
ingin ada barter nyawa dari korban tsunami kemarin dengan dua terpidana mati
Bali Nine saat ini.
"Tidak seharusnya nyawa
warga Australia yang memberi bantuan di Aceh dibarter
dengan nyawa dua warga Australia yang
akan menjalani hukuman mati karena melakukan kejahatan yang serius di
Indonesia," paparnya.
Hikmahanto menilai, pernyataan
kontroversi dilepas Abbott sebagai upaya terakhir pemerintah Australia jelang pelaksanaan hukuman mati dua
warganya.
Selain itu, konstelasi
perpolitikan internal mengharuskan Abbott untuk memiliki keunggulan dalam
berbuat agar ia dapat mempertahankan kursi perdana menterinya.
"Jurus 'dewa mabuk' pun
dilakukan. Isu pelaksanaan hukuman mati di Indonesia telah dijadikan komoditas
politik oleh para politisi Australia,"
imbuhnya.
Rabu lalu,
Jaksa Agung, HM Prasetyo mengumpulkan sejumlah kepala kejaksaan tinggi untuk
membahas pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua.
Kejati Bali sudah siap, termasuk
mengirimkan narapidana mati ke LP Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Namun akhirnya, pemerintah
Indonesia bersedia menunda eksekusi terpidana mati Myuran dan Andrew. Menteri
Luar Negeri Australia Julia Bishop pun mengucapkan terima
kasih kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla karena penundaan eksekusi mati. Ucapan
terima kasih tersebut dikemukakan Bishop saat menghubungi Jusuf Kalla melalui
telepon.
"Menlu berterima kasih
karena pemerintah Indonesia sudah menunda eksekusi tersebut," kata juru
bicara Wapres, Husain Abdullah, kemarin.
Menurutnya, Jusuf Kalla
menjelaskan penundaan eksekusi terpidana mati lantaran masalah teknis semata.
Penundaan tidak berkait dengan tekanan Australia selama ini. "Beliau bisa
menerima. Intinya pemerintah Australia siap bekerja sama dengan
Indonesia," ucap Abdullah.
Abdullah menambahkan, keduanya
juga berkomitmen untuk memerangi narkoba. Kedua negara menyadari narkoba
berbahaya bagi masa depan bangsa. "Apalagi sudah banyak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika ini," ujarnya.
Menyangkut pernyataan Perdana
Menteri Australia Tony Abbott yang mengaitkan bantuan Australia kepada Indonesia dengan pelaksanaan
hukuman mati terhadap dua warga negara terpidana mati tersebut, Bishop
menyebut, pihaknya tidak bermaksud pamrih.
"Tadi siang sekitar pukul 12.00, Menlu Australia (Julie Bishop) menelepon Jusuf Kalla
sebagai wapres. Beliau berusaha memberi penjelasan bahwa pemerintahannya itu
tak bermaksud ada pamrih saat menyinggung soal tsunami," tambah Abdullah.
Ia mengemukakan, tsunami pada
2004 lalu tidak berkait dengan dua warga negara Australia yang akan dihukum mati di Indonesia.
Menlu tidak mau pernyataan tersebut disalahtafsirkan dan membuat hubungan
Indonesia-Australia
memburuk.
Atas pernyataan Bishop, Kalla
menerima dengan baik penjelasan itu. Mantan Menko Kesra itu berencana
menyampaikan masalah itu kepada Presiden Joko Widodo.
Kejagung akan mengeksekusi 11
terpidana mati yang sudah ditolak permohonan grasinya. Kesebelas terpidana mati
itu, Syofial alias Iyen bin Azwar (WNI) kasus pembunuhan berencana, Mary Jane
Fiesta Veloso (WN Filipina) kasus narkotika, Myuran Sukumaran alias Mark (WN Australia) kasus
narkotika, Harun bin Ajis (WNI) kasus pembunuhan berencana, Sargawi alias Ali
bin Sanusi (WNI) kasus pembunuhan berencana, dan Serge Areski Atlaoui (WN
Prancis) kasus narkotika.
Martin Anderson alias Belo (WN
Ghana) kasus narkotika, Zainal Abidin (WNI) kasus narkotika, Raheem Agbaje
Salami (WN Cordova) kasus narkotika, Rodrigo Gularte (WN Brazil) kasus
narkotika, dan Andrew Chan (WN Australia) kasus
narkotika.
sumber: Tribunnews
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda