SITTWE - Melarikan diri dari kekerasan yang melanda mereka, ribuan
pengungsi Muslim Rohingya kini juga menghadapi kondisi yang memilukan di
pengungsian ataupun ombak yang ganas tatkala mereka coba mencapai
negara lain.
"Saya tidak bisa tinggal di kamp, saya harus pergi," kata Mamuda, seorang Muslim Rohingya, kepada NBC News dibarak penampungan berdinding bambu tipis, sambil menggendong anaknya yang masih kecil dan melihat jenazah suaminya, Nasir, yang akan dimakamkan, demikian lansir onislam.net.
"Dia pulang dengan luka tembak," kata wanita 27 tahun, yang berencana untuk melakukan perjalanan laut berbahaya sepanjang 1.000 mil ke Malaysia secepat yang dia bisa.
"Dia terus berkata,'Ini sangat rasa sakit, sangat sakit,'sampai ia pingsan."
Menurut Mamuda, polisi menembak Nasir setelah ia dan pengungsi Rohingya lainnya mencoba untuk menghentikan mereka dari mencapai lokasi bentrokan sebelumnya.
Mamuda dan keluarganya di antara puluhan ribu yang tinggal di kamp pengungsian di Myanmar setelah melarikan diri dari kekerasan sektarian yang melanda kampung halaman mereka.
Sebuah laporan Human Rights Watch yang dirilis pada April menuduh bahwa Rohingya telah menjadi korban "kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis."
Hidup dalam apa yang mereka gambarkan sebagai "kamp penjara", kamp pengungsi Rohingya terbuat dari campuran tenda dan gubuk-gubuk bambu.
Saat musim hujan ditambah dengan kurangnya perawatan medis, telah membuat sejumlah kamp terkena banjir dan didera oleh penyakit.
Banyak Rohingya kini telah tinggal di kamp-kamp ini untuk lebih dari satu tahun, dengan sedikit atau tanpa akses perawatan kesehatan, pendidikan atau pekerjaan dan gerakan mereka dibatasi oleh penjaga bersenjata.
Kondisi itu tidak sama dengan kamp-kamp pengungsi yang disediakan bagi umat Buddha Myanmar. Sebuah kamp Buddha Rakhine yang terletak lebih dekat ke Sittwe jauh lebih dekat ke kota, di mana layanan sekolah dan medis jelas disediakan. Gerakan mereka tidak dibatasi oleh penjaga.
Kematian di Laut
Melihat tidak ada harapan perubahan, banyak muslim Rohingya terpaksa untuk mempertimbangkan perjalanan perahu berbahaya ke Thailand atau Malaysia.
"Hidup di sini sangat berbahaya dan tidak ada masa depan," kata Aung Win, seorang tokoh masyarakat Rohingya yang tinggal di dekat kamp penggungsian dan sering mengunjungi kamp-kamp, di mana demam berdarah, TBC dan diare menjadi penyakit yang sering ditemui.
"Orang-orang muak dengan kondisi ini."
Namun, beberapa Muslim Rohingya masih memimpikan mereka bisa kembali ke kampung halaman mereka suatu hari nanti.
"Jika pemerintah mengizinkan kami untuk kembali ke desa lama kami, kami akan pergi," kata Mahmoud Hussein, seorang pengemudi perahu Rohingya yang tinggal di kamp That Kay Bin sejak Agustus 2012.
Hussein, yang pernah bekerja untuk pemilik kapal Rakhine, sekarang tinggal di gubuk pengungsian seluas 4x4 meter, yang ia tempati dengan sembilan anggota keluarga lainnya.
Ia mengatakan ia berencana untuk menggunakan pengetahuan tentang rute kapal untuk melarikan diri segera setelah hujan berhenti.
"Saya akan pergi ke laut dan pergi ke mana pun Allah membawa saya," kata Hussein. [muslimdaily]
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda