Jakarta - Ada
yang spesial di Ruang Auditorium FISIP UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, pada hari Kamis, 10 Oktober 2013. Sebuah seminar nasional
bertajuk Indonesia, Islam dan Liberalisme diselenggarakan
atas kerja sama antara LDK Komda FISIP dan Fak. Psikologi. Seminar yang
digelar sejak pukul 13.00 WIB itu berhasil menyedot perhatian mahasiswa
UIN Jakarta, terutama dari kedua fakultas tersebut.
Peserta yang datang ke acara seminar melampaui target yang telah
ditetapkan panitia, yaitu sebanyak 200 orang. Sebagian peserta bahkan
terpaksa harus rela tidak kebagian tempat duduk. Meski demikian, hal
tersebut tidak mengurangi antusiasme mereka dalam mengikuti jalannya
acara.
Sedianya, seminar ini menghadirkan empat orang narasumber, yaitu
Bachtiar Nasir (MIUMI), Shaleh Daulay (Muhammadiyah, pengajar di FISIP
UIN Jakarta), Akmal Sjafril (aktivis #IndonesiaTanpaJIL, penulis buku Islam Liberal 101),
dan Ahmad Baso (PBNU). Kecuali Ahmad Baso yang berhalangan hadir,
ketiga narasumber lainnya memaparkan perspektif dan pengalamannya
masing-masing dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok pengusung
wacana Islam liberal.
Bachtiar Nasir, yang juga dikenal sebagai juri dalam acara kompetisi tahfizh Qur'an
di salah satu stasiun televisi swasta, mengatakan bahwa Islam liberal
adalah sebuah kerancuan. Sebab, berdasarkan wahyu Allah yang terdapat
pada ayat ke-3 dalam Surah al-Maidah, Islam adalah agama yang telah
sempurna dan telah diridhai oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya.
"Setiap penambahan pada nama 'Islam', dengan sendirinya, senantiasa
bersifat destruktif. Ia mengakibatkan perubahan pada makna Islam itu
sendiri," tukas Bachtiar.
Bachtiar menganalogikan seperti soto betawi yang kemudian dicampur dengan berbagai zat lainnya seperti habbatussauda',
sari kurma dan madu. Tindakan semacam ini justru merusak cita rasa soto
yang sesungguhnya. "Pencampuradukan semacam itu hanya membuat masakan
menjadi tidak keruan. Begitu pula Islam, ketika dicampurkan dengan yang
lain, maka tidak murni lagi," ungkapnya.
Lebih lanjut, Bachtiar juga menegaskan bahwa Islam dan liberalisme sesungguhnya sangat kontradiktif. Sebab, kata "Islam" bermakna "tunduk patuh", sedangkan makna kebebasan dalam kata "liberal" justru bertentangan dengannya.
Akmal Sjafril memulai pemaparannya dengan menjelaskan bahwa istilah
'Islam liberal' bukan hanya rancu, tapi juga tidak jelas batasnya. Jika
'liberal' diartikan 'bebas', maka tugas selanjutnya adalah menjelaskan
batasan-batasan dari kebebasan tersebut. "Dalam konteks sebagai manusia
beradab, maka setiap kebebasan pasti ada batasnya. Tidak ada kebebasan
yang tidak berbatas, kecuali kita bukan manusia, atau kita sudah tidak
beradab," ujarnya.
Menurut Akmal, Islam liberal telah gagal memberikan batasan bagi dirinya
sendiri. Itulah sebabnya, penyimpangan yang dilakukannya terus
berkembang dari masa ke masa. "Islam liberal yang kita hadapi sekarang
jauh lebih ganas ketimbang Islam liberal pada awal 2000-an. Dari masa ke
masa, penyimpangan itu semakin jauh. Ulil Abshar Abdalla, misalnya,
dulu selalu berbicara santun. Sekarang, sudah beberapa kali ia mengatai
lawan debatnya di twitter dengan kata 'tolol'," ungkap Akmal panjang
lebar.
Setelah menampilkan dua buah video, yaitu video yang menampilkan pembelaan Saidiman Ahmad terhadap kaum homoseks dan insiden 'anjinghu akbar'
yang terjadi di Kampus UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, pada tahun 2004
silam, Akmal menyimpulkan bahwa akar permasalahan Islam liberal bukan
pada akal, melainkan pada metode berpikir dan adab. Akmal mengkritik
keras Saidiman yang mengatakan bahwa kaum Nabi Luth as diazab bukan
karena mereka homoseks, melainkan karena mereka telah menyodomi malaikat
yang Allah utus kepada Nabi Luth as.
"Kalau saja Saidiman mau berusaha sedikit untuk mencari di dalam
al-Qur'an, ia akan temukan ayat-ayat dalam Surah al-Hijr yang
menjelaskan kronologis kejadiannya. Malaikat-malaikat yang disebut itu,
sejak awal telah diutus untuk menyampaikan berita akan datangnya azab
Allah. Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa Allah baru hendak mengazab
mereka setelah mereka menyodomi para malaikat. Apalagi, dalam sebuah
artikel yang dimuat di situs JIL, dijelaskan bahwa cerita tersebut
diterima Saidiman dari Ioanes Rakhmat, yang jelas-jelas bukan Muslim.
Jelas, Saidiman telah keliru dalam mengambil referensi, sebab ia
mengutamakan Ioanes Rakhmat ketimbang al-Qur'an, padahal yang
dibicarakannya adalah kisah seorang Nabi," ungkap Akmal panjang lebar.
Shaleh Daulay yang tampil sebagai narasumber terakhir memberikan
perspektif yang tidak kalah menariknya. Menurutnya, yang mengusung
wacana Islam liberal itu sendiri tidak semuanya paham apa yang mereka
bicarakan. "Itulah sebabnya muncul orang-orang yang bicara 'anjinghu akbar'
seperti di rekaman yang tadi kita saksikan. Mereka ini bukan
orang-orang yang paham dengan wacana liberalisme secara akademis," kata
Shaleh.
Shaleh, yang memiliki hubungan dengan beberapa tokoh Islam liberal dan
sempat mengikuti kajian-kajiannya, mensinyalir bahwa para tokoh Islam
liberal itu pun sebenarnya tidak benar-benar liberal sebagaimana yang
mereka citrakan. "Banyak di antara mereka yang masih shalat juga. Abd.
Moqsith Ghazali, misalnya, cara berpikirnya sangat liberal, tapi dia
masih merasa berdosa kalau tidak shalat," ungkapnya.
Pengkotak-kotakan umat dengan predikat fundamentalis, liberalis,
progresif dan sebagainya, menurut Shaleh justru merugikan umat. Sebab,
prasangka yang muncul berikutnya justru membuat umat tidak bisa duduk
bersama dan berdiskusi dengan sehat. Akibatnya, musuh-musuh Islam-lah
yang menangguk keuntungan.
"Kalau mau jadi liberal, silakan saja. Tapi lakukan dengan pertimbangan
akal sehat yang sebenarnya, bukan ikut-ikutan, dan pertanggung jawabkan
pilihanmu kelak di hadapan Allah!", demikian pungkas Shaleh.
Sesi tanya-jawab, meski dibatasi oleh waktu yang sangat ketat,
berlangsung semarak. Berbagai jenis pertanyaan diajukan, antara lain
dari seorang mahasiswi yang mengadukan seorang dosennya kepada Bachtiar
Nasir, sebab sang dosen menyebut dirinya sebagai penganut aliran
libertarian.
Narasumber kedua, Akmal Sjafril, menerima paling banyak pertanyaan.
Pertanyaan pertama adalah seputar keberimanan sebagaimana yang diajarkan
oleh al-Hallaj, yang konon mengajarkan iman tanpa rasa takut.
Singkatnya, manusia semestinya beriman bukan karena takut kepada neraka.
Akan tetapi, Akmal membantah keras pendapat ini.
"Satu hal yang harus kita sepakati dulu adalah bahwa acuan kita adalah
Nabi Muhammad saw, dan bukan al-Hallaj. Kemudian, kita harus ingat bahwa
interaksi manusia dengan Tuhannya dilatari tidak hanya oleh cinta,
melainkan juga dengan takut dan harap. Allah yang menciptakan neraka
memang sengaja menanamkan rasa takut itu kepada manusia. Selain itu,
takut adalah implikasi dari cinta itu sendiri. Tak ada cinta tanpa rasa
takut. Paling tidak, jika kita mencintai sesuatu, maka pada saat yang
bersamaan, kita pun takut jika sesuatu itu meninggalkan kita," ungkap
Akmal.
Pertanyaan kedua yang diterima adalah seputar gerakan #IndonesiaTanpaJIL
itu sendiri. Menurut seorang penanya, nama gerakan ini cenderung
radikal, terkesan hendak memberangus para aktivis JIL dan menutup pintu
diskusi. Terhadap pertanyaan ini, Akmal meminta untuk jangan
mendramatisir masalah dan menghidupkan 'mitos' sebagaimana yang biasa
dilakukan oleh kelompok Islam liberal.
"Seolah-olah di luar Islam liberal itu radikal semua. Ini tidak jujur.
Kenyataannya, #IndonesiaTanpaJIL tidak pernah lari dari diskusi dengan
JIL. Ketika kami diundang untuk berdebat di Hard Rock FM pada tahun 2012
yang lalu, merekalah yang tidak datang. Sudah tidak datang, malah
menyerang panitia. Ini perilaku yang tidak santun dan sangat radikal.
Anehnya, mereka yang menentang JIL sajalah yang selalu dituduh radikal,"
pungkasnya.
Acara berakhir pada sekitar pukul 16.00 WIB. Panitia dan peserta
semuanya menyatakan kegembiraannya atas semaraknya acara seminar. Selain
di lokasi acara, para peserta pun meramaikan dunia maya dengan
tweet-tweet yang menggunakan hashtag #SayNoIslamLib. sumber
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda