Flashback - 21 September 1998. Sebuah artikel menarik ditulis oleh Dahlan Iskan
yang saat itu menjabat sebagai direktur Jawa Pos. Tulisannya berjudul
Massa Santun di Dunia yang Bergetah dan dimuat di Harian Suara
Indonesia. Isinya merupakan kekaguman Dahlan Iskan terhadap fenomena
yang disaksikannya.
...
...
Berikut beberapa kalimat yang Dahlan tuliskan
Menyaksikan deklarasi Partai Keadilan di Gelora Pancasila Surabaya Minggu kemarin, bulu kuduk saya merinding. Susana religius yang teduh lebih mendominasi daripada suasana hingar-bingar yang biasa tampak di sebuah forum rapat besar partai.
Dari jalannya acara terlihat mereka adalah kelompok yang sangat terorganisasi. Misalnya saja bagaimana acara seperti itu sekaligus dimanfaatkan untuk mendapatkan daftar anggota lengkap dengan riwayat hidup mereka. Formulir dibagi dengan sistematis dan dikumpulkan dengan cara yang sistematis pula.
Seorang wartawan ‘nyeletuk’ bahwa mereka inilah kelompok reformis sejati.
…Yang kita tunggu, bagaimana ketika mereka bertekad untuk berkiprah di panggung politik, yang bukan hanya banyak getah lama tapi juga akan muncul getah-getah baru…
*************
31 Maret 2003. Media Indonesia dalam editorialnya memuat tulisan berjudul Ketertiban Sejuta Umat. Media milik Surya Paloh tersebut kagum dengan aksi massa yang dilakukan PKS.
Berani membawa bayi berdemonstrasi, di antara ratusan ribu orang di Bundaran Hotel Indonesia, jelas menunjukkan tingginya jaminan dan kepercayaan bahwa unjuk rasa itu akan berlangsung tertib dan damai. Jelas memperlihatkan perbedaan kelas dan cita rasa dibanding berbagai demonstrasi yang silih berganti terjadi di negeri ini. Sampai kemudian, Partai Keadilan memperlihatkan kepada publik contoh berdemonstrasi yang baik dan benar. Tentu, ada faktor lain. Yaitu, faktor pemimpin. Hanya komunitas dengan pemimpin yang memiliki visi dan disiplin sosial yang tinggi yang akan menghasilkan pengikut yang juga taat kepada tata tertib. Itulah sebabnya, demonstrasi yang satu berbeda dengan demonstrasi yang lain, tergantung dari siapa pemimpinnya. Karena lebih banyak pemimpin yang amburadul maka lebih banyak pula demonstrasi yang amburadul.
***************
30 Januari 2013. Sekitar jam 19.30, Presiden PKS Lutfhi Hassan Ishaq menjadi tersangka suap oleh KPK tanpa pernah menjalani pemeriksaan dan hanya berdasarkan pengakuan seseorang. Sudah berubahkan partai ini?
Hingga kini aksi-aksi unjuk rasa yang mereka lakukan tak amburadul. Anak-anak pun masih ikut serta. Ada yang berjalan dan digendong ayah ibunya. Mengulang kata Media Indonesia: Hanya komunitas dengan pemimpin yang memiliki visi dan disiplin sosial yang tinggi yang akan menghasilkan pengikut yang juga taat kepada tata tertib.
PKS memang tak berubah. Tapi media massa yang kini justru berbalik 180 derajat. Hari ini, PKS seperti menjadi common enemy media. Apapun yang dilakukan PKS dan menyangkut PKS, media memberitakannya dengan cita rasa negatif. Tak mudah bagi kita untuk menemukan berita-berita positif tentang PKS di media mainstream, seperti yang pernah ditulis Dahlan Iskan dan Media Indonesia
Media mainstream sudah terjangkit virus jurnalisme su’uzhon. Jurnalisme penuh prasangka; jurnalisme prejudice. PKS adalah partai paling sering terserang virus jurnalisme su’udzon. Apapun yang dilakukan oleh PKS, media berlomba-lomba memberitakannya dengan cita rasa negatif dan sarat prasangka buruk. Dan jika ada peluang sekecil apapun untuk menjatuhkan citra PKS, maka media pun dengan penuh semangat memanfaatkannya.
Pada titik ini, biasanya yang paling media bidik adalah soal dugaan korupsi. Media akan berusaha mengaitkan tokoh-tokoh PKS dengan kasus korupsi. Berbagai cara mereka lakukan dalam pemberitaannya, meski dengan data dan fakta yang sangat minim. Tak jarang, mereka menabrak prinsip-prinsip dasar jurnalistik.
Ingat kasus Rama Pratama yang dihubungkan dengan Dhana Widyatmika, pegawai Ditjen Pajak yang menjadi tersangka korupsi? Rama yang berbisnis dengan Dhana kemudian berusaha diseret-seret untuk masuk ke dalam kasus tersebut. Dan hingga kini, Rama terbukti tak terlibat. Tapi media massa sudah kadung memberitakan secara besar-besaran. Opini pun terbentuk bahwa Rama yang politisi PKS diduga terlibat.
Hal serupa juga dialami oleh Anis Matta yang menjadi wakil ketua DPR dan Tamsil Linrung yang berada di pimpinan Banggar DPR. Keduanya diperiksa sebagai saksi oleh KPK dalam kasus korupsi yang menjerat politisi PAN Wa Ode Nurhayati. Pemeriksaan keduanya menjadi santapan lezat dan momentum tepat untuk memberitakan bahwa PKS juga bisa korupsi. Seperti biasa, setelah diperiksa, sampai detik ini, keterlibatan kedua elit PKS itu tak terbukti sama sekali.
Tapi bagi media, itu tak terlalu penting. Yang paling utama adalah framing (kerangka) opini yang terbentuk akibat dari pemberitaan yang dibuat bahwa PKS korupsi. Bagi media, diperiksanya tokoh PKS atau bahkan hanya disebut namanya saja, sudah menjadi barang mewah. Sebuah kesempatan langka yang harus dimanfaatkan dengan baik untuk memojokkan PKS. Karena itu, secara gencar harus diberitakan kepada publik. Persoalan kemudian akhirnya tak terbukti korupsi, tak perlu diambil pusing.
Prinsip jurnalisme su’uzhon sangat sederhana: ''Asumsikan tokoh-tokoh PKS adalah pelaku korupsi sampai sudah jelas ternyata pelakunya bukan mereka. Bila belum ada kejelasan, tetaplah berasumsi seperti itu bahwa mereka pelakunya. Dan jika ternyata bukan mereka, tak perlu meminta maaf.''
Dan Rabu malam lalu, saya teramat yakin awak media mainstream melonjak kegirangan ketika secara tiba-tiba KPK menetapkan Luthfi Hassan Ishaq sebagai tersangka. Sekali lagi: tersangka! Tanpa proses pemeriksaan sebelumnya oleh KPK.
Apakah PKS telah terkena getah di dunia yang bergetah? Waktu yang akan membuktikan.
Wallahu a’lam Bishshowab.
Oleh : Erwyn Kurniawan
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda