Reaksi Presiden SBY terhadap pernyataan Luthfi Hasan Ishaaq di
Pengadilan Tipikor, soal kedekatannya dengan Bunda Putri, menuai reaksi.
Yang sangat menarik, cara Presiden Keenam itu bereaksi dan reaksi
publik menanggapinya.
SBY terkesan, lepas kendali. Begitu mendarat di Halim Perdana Kusumah, yang disampaikannya kepada publik melalui pers pelipu...t kegiatan Kepala Negara, bukanlah masalah kebangsaan. Atau soal tugas dan pekerjaan yang baru saja dilakukannya di luar ibukota NKRI. SBY terjebak hasil permainan politiknya sendiri. Pada akhirnya memunculkan penilaian dari publik - baik pengamat politik maupun para politisi sendiri bahwa Presiden SBY merasa sangat terganggu.
Publik yang tadinya tidak menilai pernyataan Luthfi Hasan soal Bunda Putri sebagai sebuah isu penting, tiba-tiba dibuat terkejut dan penasaran. Dari sikap penasaran dan terkejut, akhirnya muncul sikap yang 'menyalahkan' Presiden SBY. Sekalipun sikap 'menyalahkan' itu tidak berarti sebuah pembelaaan terhadap Luthfi Hasan dalam kasus korupsi, tetapi penyikapan publik tersebut menjadi sebuah fakta bahwa publik semakin tidak takut (lagi) mengeritik seorang Presiden termasuk lembaga Kepresidenan. Bahkan publik tidak ragu lagi berseberangan dengan SBY.
Legitimasi SBY sebagai Presiden di mata publik, sedang memudar. Lembaga Kepresidenan yang merupakan simbol negara, ikut menjadi sasaran kritik. Di antaranya dengan mempersoalkan kredibilitas dan akuntabilitas orang-orang yang direkrut SBY untuk bekerja di lembaga tersebut. Publik tidak hanya kritis terhadap Presiden melainkan dalam menghadapi isu korupsi, publik semakin curiga jangan-jangan virus korupsi memang sudah menular sampai ke lingkar satu Istana Kepresidenan.
Kecurigaan muncul, karena cara Presiden SBY menanggapi pernyataan mantan Presiden PKS itu, begitu reaktif. Kelihatannya, Presiden SBY - sewaktu masih berada di dalam pesawat menuju Jakarta, sudah diprovokasi oleh orang-orang kepercayaannya tentang apa yang dilaporkan media.
Tujuan awalnya hanya ingin membisiki atau memberi masukan tentang situasi nasional sebagaimana dilaporkan oleh media. Tetapi cara para orang kepercayaan itu atau lingkar satu lembaga kepresidenan itu, sedemikian dramatis dan melankoli. Seakan-akan, dunia akan kiamat, pemerintahan SBY akan bubar bila Presiden tidak segera memberi reaksi.
Ada hal yang tidak disadari oleh Presiden SBY bahwa sosok yang disebut 'Bunda Putri' itu, sebetulnya merupakan wanita 'misterius'. Sebab indentitasnya tidak pernah diungkap oleh Luthfi Hasan. Namun reaksi Presiden yang memperlihatkan tingkat kemarahannya yang begitu tinggi, memberi kesan wanita misterius itu memang nyata. Bunda Putri itu memang manusia nyata bersahabat baik dengan SBY dan bukan sosok jadi-jadian.
Situasinya mungkin akan sangat berbeda, kalau cara Presiden menanggapi kedekatannya dengan Bunda Putri itu, tidak seperti seorang orang kebakaran jenggot. Caranya tidak perlu diajarkan karena Presiden SBY merupakan orang cerdas yang memiliki kemampuan mengelak yang begitu tinggi.
Presiden bisa memberi kepercayaan kepada Jurubicaranya, Julian Pasha. Misalnya dengan mengatakan "Bapak Presiden hanya bisa tersenyum bahkan tertawa terkekeh-kekeh, ketika mendengar ceritera soal Bunda Putri. Sebab Bunda Putri bukan hanya julukan yang diciptakan oleh Presiden PKS, tetapi sudah menjadi prosedur standar oleh Bapak Presiden bahwa sebagai pejabat negara, beliau tidak pernah melakukan interaksi dengan sosok yang wujudnya tidak nyata....."
Jelas, jika pernyataan Presiden bernada seperti itu, akan membuat media-media berpikir ulang untuk melakukan blow up atas reaksi Presiden. Pers tak akan ikut tergoda untuk melakukan investigasi tentang siapa sebetulnya sosok yang diberi nama Bunda Putri itu.
Luthfi Hasan, bekas Presiden PKS (Partai Keadilan Sejahtera) itu juga tidak memperlihatkan ke sidang majelis pengadilan Tipikor tentang bentuk wajah sang 'Bunda Putri' melalui foto atau lukisan. Majelis hakim juga tidak berupaya menggali lebih jauh tentang siapa sosok bernama Bunda Putri. Bahkan namanya pun tidak disebut sekalipun hanya dalam bentuk inisial.
Hal yang aneh, sosoknya masih misterius namun reaksi Presiden SBY sangat serius. Maka sangat wajar jika reaksi public lebih banyak memojokkan Presiden SBY. Bahkan di balik itu mungkin juga publik semakin curiga terhadap SBY.
Sikap publik yang menyalahkan Presiden SBY itu, tidak lahir begitu saja. Melainkan melalui sebuah proses. Sebuah akumulasi ketidak puasan.Tumpukan berbagai ketidak-puasan.. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja SBY sebagai pemimpin bangsa, tidak bisa dibilang sebagai politisasi atas sebuah isu murahan. Ketidakpuasan masyarakat terhadap pemimpinnya, mengemuka karena baru di era Presiden SBY, persoalan yang melilit bangsa, datang tak pernah berhenti termasuk korupsi yang melibatkan elit penguasa.
Masyarakat menginginkan SBY tampil sebagai pemimpin bangsa yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Namun yang ditunjukkan oleh Presiden, ia lebih suka dilihat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, politisi partisan.
Sebagai pemimpin bangsa, SBY yang bergelar doktor dan diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia berprilaku sebagai negarawan. Sementara SBY lebih menonjolkan karakter seorang jenderal didikan luar yang sedang bermain politik.
Benar bahwa SBY merupakan manusia biasa yang bisa membuat kekeliruan atau berhak menggunakan hak emosionalnya sebagai bagian dari hak azasinya. Tetapi sebagai seorang pemimpin bangsa, SBY semestinya sadar yang membedakanya dirinya sebagai manusia biasa dibandingkan rakyat Indonesia adalah soal jabatan yang melekat dalam dirinya.
Dengan jabatan Presiden, SBY yang diberi berbagai kelengkapan kerja yang istimewa serta perlakuan protokoler yang tidak sama dengan rakyat biasa, maka SBY bukan lagi manusia biasa dari bumi Indonesia. SBY menyandang predikat seorang Pribadi Yang Sangat Istimewa atau VVIP (Very Very Important Person). Status inilah yang dilupakan Presiden SBY.
Masalah lain yang dilupakan Presiden SBY, terletak pada soal agenda politik. PKS jelas berbeda dengan SBY baik selaku Presiden maupun Ketua Umum Partai Demokrat.
Sekalipun PKS berada dalam Kabinet Koalisi pimpinan SBY, tetapi keberadaan Menteri asal PKS tidak menjamin bahwa PKS termasuk Luthfi Hasan mempunyai agenda politik yang sama dengan SBY. PKS dalam kabinet koalisi, bisa diibaratkan dengan macan tidur yang sedang kenyang yang dikurung di dalam "sangkar".
Walaupun PKS menjadi bagian dari pemerintahan pimpinan Presiden SBY, keikut sertaan itu tidak menjamin bahwa PKS akan terus mendukung kepresidenan SBY. PKS juga ingin menggantikan Demokrat. Kader PKS juga mengincar kursi Presiden.
Presiden SBY juga lupa dengan terbongkarnya kasus impor daging telah menimbulkan ketersinggungan dan kecurigaan . Akibat terbongkarnya korupsi dalam perdagangan dan impor daging, telah menempatkan kader PKS yang menduduki posisi Menteri Pertanian, Suswono, seperti pejabat PKS yang diberi kursi dengan bantalan bara api. Dan yang dianggap menyediakan kursi dan bara api itu, tak lain adalah partai Demokrat pimpinan SBY.
Bukan sekali dua kali, PKS sebagai mitra koalisi pemerintahan SBY, disudutkan Demokrat, partainya SBY. PKS pernah disebut-sebut akan dikeluarkan dari koalisi atau kader PKS yang tidak ingin terlibat masalah diberi kesempatan untuk pindah ke Partai Demokrat.
Hal-hal ini dilupakan oleh SBY. PKS sebetulnya bertindak resipokral. Hanya saja, sikap itu bukan hal yang membuat SBY senang. Oleh sebab itu apapun yang muncul dari kasus Bunda Putri ini, tidak cukup dilihat dari apa yang diucapkan oleh Luthfi Hasan maupun reaksi Presiden SBY. [mdr/inilah.com]
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda