Breaking News
Loading...
Rabu, 16 Oktober 2013

Info Post
Saat Saddam Husein tumbang, segera Irak mengadakan revolusi politik dengan dukungan Amerika Serikat (AS). Pemerintahan baru didominasi Syiah. PM baru, Mari al-Maliki, adalah penganut Syiah. Sementara Sunni makin terdesak. Bagi Iran, pemerintahan baru Irak merupakan tanda awal kebangkitan Syiah di Timur Tengah. Banyaknya ulama Sunni yang dieksekusi di Irak menunjukkan revolusi politik yang didukung Iran tersebut bukan kemenangan Islam, tapi kemenangan Syiah dengan dukungan penjajah AS.

Tampaknya, dalam kasus Irak ini, AS lebih menyukai Irak dipimpin Syiah daripada Saddam Husein yang Sunni. Invasi AS ke Irak tahun 2003 kabarnya direstui Iran. Sebab, Irak akan dipersiakan dipimpin dari kaum Syiah. Tidak dipungkiri ada faksi-faksi Syiah yang menentang AS. Hanya saja, perlawanan tidak terlalu signifikan jika dibandingkan pejuang-pejuang Sunni. Jatuhnya Sunni Irak, menjadi keuntungan bersama antara AS dan Iran. Iran, sejak revolusi tahun 1979, sangat berambisi mensyiahkan Irak, sebagai pintu masuk syiahisasi di dunia Arab.


Vali Nasr menganalisis bahwa kemengangan Syiah di Irak merupakan menambah pilar kebangkitan Syiah di Arab. Ia menyebut ada tiga pilar kebangkitan Syiah, Pertama, kemenangan Syiah di Irak, Kedua, pencitraan Iran sebagai pemimpin Arab melawan arus Barat dan Ketiga, dominasi pengaruh Syiah di beberapa Negara, yaitu Lebanon, Saudi, Kuwait, UEA dan Pakistan.

Kini, pilar pertama dan kedua sudah ditangan Iran. Hanya pilar ketiga, Syiah belum menunjukkan kemenangan. Sekarang inilah, Syiah sedang menggarap pilar ketiga. Pasca revolusi Iran tahun 1979, Iran meletakkan Hizbullah di Lebanon, sebagai basis membangun pilar ketiga. Awalnya, Hizbullah adalah sayap Garda Revolusi Iran, pasukan elit pengawal revolusi Iran yang terkenal tangguh. Di Libanon, Hizbullah sukeses mengangkat citra Syiah dan Iran di dunia Islam. Terutama saat tahun 80-an berhasil membunuh seribu lebih tentara Israel.

Namun, kesuksesan Hizbullah tercoreng karena mereka terlibat sengketa dengan Sunni Lebanon, bahkan pernah dengan pengungsi Palestina di Lebanon. Jika benar-benar, berjuang untuk Islam, kenapa Hizbullah berseteru dengan Sunni Lebanon? Bantuan Iran, menjadikan Hizbullah menjadi tentara tangguh, bahkan militer pemerintah Lebanon kalah kuat.

Geliat gerakan Syiah makin mencolok di Timur Tengah setahun ini, yaitu saat berkecamuk perang saudara di Suriah. Presiden Suriah, Bashar Asad, yang berpaham Syiah Nushairiyah konon mendapat dukungan dari Iran melawan rakyatnya sendiri yang mayoritas Sunni. Syiah Nushairiyah adalah pecahan sekte Syiah Ismailiyah, sekte Syiah yang pernah mendirikan dinasti Fatimiyah di Mesir.

Perang saudara di Suriah yang kini masih berkecamuk ternyata bukan hanya sengketa politik, tapi juga ideologis. Krisis Suriah juga membangkitan kaum Syiah di Indonesia. Beberapa bulan lalu di Bandung, Garda Kemanusiaan (GK), dikabarkan berencana mengirim relawan ke Suriah. GK yang diindikasi berpaham Syiah berniat membantu diktator Bashar Asad. Ini tentu mengejutkan, sebab semua aktivis Islam menyeru pengiriman relawan kemanusiaan ke Suriah untuk membantu korabn rakyat yang sedang didzalami Bashar Asad. GK menunukkan kepada kita bahwa memang Syiah sedang menggeliat mempersiapkan kebangkitan.

Mencermati sikap politik Iran terhadap krisis Suriah, kita bisa menyimpulkan bahwa Suriah sedang dipersiapkan untuk menjadi Negara Syiah kedua di Arab setelah Irak. Meski berbeda sekte – Suriah berpaham Syiah Nushariyah dan Iran berpaham Syiah Imamiyah, namun dua sekte ini dikategorikan sama-sama Rafidhah. Yang terkenal ekstrim dan militant itu.

Kondisi Suriah hampir sama dengan Irak. Kaum Sunni terus dibantai oleh tentara Suriah. Jika Suriah dan Irak tetapi dikendalikan Syiah, maka dua Negara ini akan menjadi ancaman besar bagi Negara-negara Arab.

Ambisi Iran untuk menjadikan Iran pemimpin dunia Islam sangat ambisius. Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran, sudah mentitahkan agar mengekspor revolusinya ke Negara-negar Arab dan Islam di dunia.

Ia sadar bahwa resistensi kaum Sunni sangat besar terhadap Syiah. Maka, Khomeini membuat strategi. Dua di antaranya adalah mencitrakan diri sebagai icon perlawanan terhadap Israel dan Barat dan kedua menggunakan metode taqrib (pendekatan madzhab).

Icon perlawan Khomeini terhadap terhadap Israel dan AS masih sulit dirasionalkan. Alasannya, Ayatullah Khomeini sendiri sebelum revolusi sebenarnya tidak terlalu resisten di Barat. Puluhan tahun bahkan sejak remaja ia hidup di Prancis, termasuk di masa pengasingan saat Reza Pahlevi memimpin Iran. Baru menjelang revolusi ia pulang ke Iran. Guru Khomeini sendiri yaitu Ayatullah al-Kashani disebut-sebut adalah agen CIA. Meski Reza Pahlevi, pro-AS, namun kabarnya CIA terlibat dalam revolusi Iran. Selama perang Irak-Iran, Iran diam-diam membeli senjata ke Israel dengan bantuan AS. Kasus ini terkenal dengan “Iran-Gate”.

Sebutan “AS adalah Setan Besar” dari Iran sama sekali tidak membangkitkan AS untuk menginvasi Iran. Padahal Iran sendiri juga menyimpan senjata Nuklir. Bandingkan dengan invasi AS ke Afganistan dan Irak. AS cukup berbekal asumsi, tidak bukti, untuk menyerang kedua Negara itu. Irak dituduh menyimpan senjata kimia. Belakangan tuduhan tidak terbukti. Afganistan diserang tanpa ba bi bu dengan tuduhan melindungi Osama bin Laden.

Ketika pecah perang Irak-Iran selama 8 tahun. Iran mendapatkan keuntungan politis. Pasca perang panjang itu, Irak langsung dimusuhi AS. Bahkan Negara-negara Arab juga terprovokasi Barat memusuhi Irak. Padahal Irak, paling berani melawan Israel. Beberapa rudal Scud-nya mendarat di Tel Aviv, ibukota Israel. Kenyataannya sekarang, Iran tidak pernah terlibat perang langsung dengan AS.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa bantuan-bantuan Iran terhadap Negara-negara Muslim tidak gratis. Sebab di balik bantuan tersebut mereka membawa misi Syiah. Di Palestina, HAMAS, mungkin saja ‘terpaksa’ dibantu Iran melawan Israel. Namun, jika rasio kita menganalisis sepak terjang gerakan politik Iran seperti di atas, maka bantuan itu tidak gratis. Ada misi besar. Yaitu, seperti kata Vali Nasr, menarik simpati untuk membangun imperium Syiah di Timur Tengah. Irak telah menjadi Syiah, berikutnya siapa lagi…? Yang jelas, lembar sejarah Islam tidak pernah lupa bahwa di Perang Salib II, Syiah berkhianat melemahkan tentara Islam. Maka, Gaza-Palestina tidak boleh jatuh ke tangan Israel dan Syiah. Kita ingin Gaza-Paletina di pangkuan Islam.* (sumber:Bumisyam/annajah)
---
Komentar anda

0 komentar:

Posting Komentar

PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda