Palestine - George Habash lahir pada tanggal 2 Agustus 1926 di Lydda,
Palestina. Ia berasal dari keluarga Kristen yang cukup berada. Mereka tinggal
di tengah-tengah lingkungan umat Islam Palestina yang sangat toleran dan
inklusif, di mana semua umat yang berbeda agama dan keyakinan bisa hidup dengan
penuh kedamaian selama berabad-abad lamanya.
Suasana yang penuh perdamaian dan toleransi ini berubah total
setelah meletusnya perang Arab-Israel tahun 1948. Habash sekeluarga diusir oleh
tentara Zionis yang picik dan rasis, yang tak menghendaki bangsa selain Yahudi,
baik yang beragama Islam maupun Kristen hidup di Palestina. Dan bukan hanya
keluarganya, hampir semua orang Kristen Palestina juga diusir oleh kaum Zionis
Yahudi dari tanah airnya. Sikap picik kaum Yahudi ini, yang selalu menonjolkan
sikap anti inklusif dan anti pluralisme dan mau benarnya sendiri, akhirnya
membangkitkan perlawanan dari Habash.
Setelah melihat penderitaan bangsanya, baik yang Islam maupun
Kristen, akhirnya Habash membentuk organisasi bersenjata yang bertujuan untuk
menumpas kaum rasis Zionis dan berjuang membebaskan tanah Palestina,
mengembalikan Palestina sebagai tanah yang penuh kedamaian dan toleransi
seperti saat dihuni kakek buyutnya dulu. Habash adalah seorang dokter. Semasa
masih kuliah di Beirut ia bertemu Wadi Haddad yang juga penganut Kristen.
Mereka kemudian mendirikan ANM (Arab Nationalist Movement) pada tahun 1951.
Setelah berakhirnya perang tahun 1967, banyak orang Arab yang merasa kecewa
dengan kepemimpinan Nasser. Habash juga merasakan perlu adanya reformasi. Ia
kemudian membubarkan ANM dan membentuk PFLP (Popular Front for the Liberation
of Palestine).
Pada masa kejayaannya, PFLP merupakan faksi terbesar kedua di
PLO setelah Al-Fatah yang dipimpin oleh Arafat. Ia termasuk tokoh yang sangat
keras menentang kaum Zionis dan segala upaya perdamaian dengan mereka.
Sepanjang hidupnya ia mengambil sikap oposan terhadap Yasser Arafat yang
dianggapnya lebih lunak. Karena sikap kerasnya terhadap kaum Zionis, bahkan
rekan-rekannya anggota PLO yang muslim sering mengkritik Habash. Bersama dengan
rekan setianya Wadi Haddad, ia mempelopori perjuangan bersenjata melawan kaum
rasis Zionis dan sponsornya, terutama negara rasis Amerika, yang pada saat itu
juga giat menindas orang kulit hitam di negaranya, yang sampai- sampai
menewaskan Martin Luther King Jr. pejuang hak asasi kulit hitam.
Hingga tahun 1960-an, keadaan di Amerika Serikat memang tak jauh
berbeda dengan di Afrika Selatan, terlebih lagi di negara-negara bagian di
Selatan. Tak ada itu kata inklusif dan pluralisme di dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat di sana. Kenyataannya adalah orang hitam dilarang bersekolah
di sekolah kulit putih, naik bis umum dipisah bangkunya, makan di restoran, di
kantin universitas dipisah ruangnya, ruang tunggu di bandara dipisah. Bahkan
beribadah kepada Tuhan pun wajib di gereja yang terpisah. Suatu hal yang
mustahil terjadi di dunia Islam. Negara rasis dalam artinya yang paling tulen,
persis seperti di Afrika Selatan zaman Pieter Botha. Bacalah misalnya biografi
Martin Luther King Jr. dan Malcolm X.
Hingga tahun 1990-an pun, setelah selesainya perang dingin,
ratusan gereja orang kulit hitam dibakar di Amerika setiap tahunnya. Dan
investigasi untuk menangkap pelakunya selalu macet diblokir di tengah jalan
karena banyak di antara aparat hukum dan pemerintahan yang bersimpati. Bahkan
organisasi semacam The Institute on Religion and Democracy, a conservative
watchdog group based in Washington, DC. secara terbuka mendukung
pembakaran-pembakaran tersebut. Karena memang sealiran, maka dengan nyaman saja
Amerika hingga kini tetap dengan total mendukung Israel. Dari PFLP tadi
terlahir juga organisasi sempalan DFLP yang beraliran lebih militan lagi, yang
dipimpin Nayef Hawatmeh. Sebagaimana Habash, Hawatmeh ini seorang pejuang
Palestina yang beragama Kristen juga.
Meski demikian, PFLP yang dipimpin Habash tadi lebih populer
karena perjuangannya yang sangat gigih melawan kaum Yahudi. Selama masa
kepemimpinan Habash sebagai Sekjen PFLP, faksi ini dikenal sebagai salah satu
organisasi bersenjata Palestina yang paling berbahaya karena sikap mereka yang
sangat militan menentang kaum Zionis dan segala kebijaksanaan rasis mereka.
PFLP melakukan banyak serangan bersenjata ke berbagai belahan dunia, dengan
sasaran utama kaum rasis Yahudi beserta para sponsornya. Dalam perjuangannya
mereka juga sering menjalin kerjasama dengan para pejuang dari Amerika Latin,
seperti dengan Sandinista misalnya.
Semenjak tahun 1980-an, kesehatan Habash mulai memburuk, dan
pengaruhnya di PLFP mulai berkurang. Pada tahun 1990-an PFLP juga mulai kalah
pengaruh dengan organisasi seperti Hamas dan Jihad Islam yang juga tak kalah
militannya. Pada tahun 2000 posisi Habash sebagai Sekjen akhirnya digantikan
oleh Abu Ali Mustafa. Walau pengaruhnya saat ini sudah semakin menyurut, nama
Habash tetap populer di banyak kalangan rakyat Palestina yang menghargai
ideologi revolusionernya, prinsipnya yang kuat, serta gaya hidupnya yang
mencerminkan sikap kaum intelektual. Pada pemilu Palestina tahun 2000 PFLP
masih sempat merebut angka 4,2 persen. Pemerintah Iran juga merupakan pendukung
PFLP, organisasi yang didirikan dan dipimpin oleh orang Kristen Palestina
tersebut.
Meski demikian, bagi musuh bebuyutannya, yakni Israel dan
Amerika, tentu saja Habash sangat tidak populer. Bagi kedua negara tersebut
Habash adalah one of the most lethal terrorists of the 20th century. Hal yang
saat ini ditujukan ke berbagai organisasi Islam. Dan tahukah Anda apa salah
satu tujuan utama organisasi-organisasi Islam itu melakukan berbagai serangan
ke posisi Amerika dan Israel? Sama dengan Habash, yakni membebaskan tanah
Palestina dari kaum rasis Yahudi beserta sponsornya. Mengembalikan Palestina ke
masa yang penuh toleransi dan perdamaian seperti sebelum berdirinya negara
Zionis Israel, di mana umat Islam dan Kristen dan juga semua agama yang ada di
Palestina lainnya bisa hidup berdampingan dengan damai satu sama lain selama
berabad lamanya. Dan kita tahu bahwa berdirinya negara Yahudi itu telah merusak
suasana perdamaian dan penuh toleransi tersebut. Kekacauan di Timur Tengah pun
tetap terjadi hingga sekarang.
Habash beserta anak buahnya pun sangat mendukung perjuangan umat
Islam tersebut. Demikian pula Edward Said. Demikian pula semua orang Kristen di
Palestina, termasuk Hanan Asrawi, juga Suha Tawil, istri Arafat, yang juga
beragama Kristen. Istri Arafat memang beragama Kristen, suatu hal yang tentunya
sangat mustahil terjadi di Israel sampai kiamat. Apakah mungkin seorang PM
Israel mempunyai istri orang Palestina yang beragama Kristen? Mustahil ia akan
bakal dipilih oleh rakyat Israel yang rata-rata picik dan rasis itu. Apalagi
bila istrinya beragama Islam.
Semakin menyurutnya dukungan kepada PFLP pada saat ini antara
lain karena jumlah orang Kristen di Palestina menyusut drastis semenjak masa
pendudukan Israel. Mereka yang kebetulan studi di luar negeri dilarang pulang
kembali dan dicabut kewarganegaraannya. Banyak pula yang mengalami tekanan dan
intimidasi sehingga mereka lalu mengungsi. Pada tahun 1930-an, penduduk
Palestina sekitar 20% adalah umat Kristen, sekarang tinggal 1,6%. Sedangkan
penduduk Yerusalem dulu malah mayoritas adalah orang Kristen, di atas 51%,
sekarang mereka tinggal 2%. Jadi, sebelum berdirinya negara Israel, secara de
facto Yerusalem sebenarnya sudah dikuasai orang Kristen, yakni Arab-Kristen.
Apalagi, dalam bidang pendidikan, sosial dan ekonomi umat Kristen Palestina
lebih makmur dibandingkan dengan umat Islamnya.
Oleh karena itu, orang Yahudi biasanya lebih suka merampas tanah
dan menyita rumah-rumah milik umat Kristen Palestina karena tentu saja lebih
bagus dan besar. Juga merampas tanah- tanah milik gereja untuk dijadikan
pemukiman Yahudi. Tentang masalah ini lihat antara lain Jonathan Cook, Israel’s
Purging of Palestinian Christian dan Donald Wagner Palestinian Christian: A
Historic Community at Risk? Tulisan Donald Wagner itu dibuka dengan tewasnya
Johnny Thaljiya, seorang remaja Palestina yang baru berusia 17 tahun, sesaat
setelah ia pulang menghadiri misa di gereja.
Karena kebodohan mayoritas orang Kristen di Amerika dan Eropa
yang tak paham apa- apa tentang Timur Tengah, maka mereka malah mendukung
negara Israel yang rasis, mendukung pembantaian saudara seagamanya sendiri.
Rata-rata umat Kristen di Indonesia juga mendukung Israel yang membantai
saudara sesama Kristen mereka sendiri, sebuah kebodohan yang sama. Karena
kurang info dan menelan mentah- mentah propaganda di TV dan media.
Akibatnya, umat Kristen Palestina sekarang sudah hampir punah,
setiap tahun semakin berkurang jumlahnya. Walau umatnya sudah berkurang
drastis, semua pemimpin gereja di Palestina dari beragam aliran tetap solid
mendukung perjuangan PLO, Hamas, PFLP dan organisasi-organisasi Palestina
lainnya. Bahkan, para pendeta Kristen Arab Palestina itu dengan terang-terangan
mendoakan para pejuang Hamas agar bisa masuk surga, walau jelas-jelas mereka
itu beragama Islam. Suatu hal yang tentunya membuat sengit pemerintah Israel
dan kaum fundamentalis Amerika, termasuk juga kalangan persnya, kepada para
pemimpin gereja tersebut. Lalu memfitnah mereka dengan beragam dakwaan, antara
lain menjuluki Patriarch Yerusalem, Michel Sabbah, sebagai Islamic Patriarch.
Oh ya, tentu saja jangan pernah berharap berita tentang dukungan
Patriarch Yerusalem kepada para pejuang Palestina itu akan diulas oleh di
tivi-tivi. Yang akan diulas besar-besaran oleh mereka tentu saja adalah intimidasi
dan teror orang Islam kepada umat Kristen Palestina. Hanya orang dungu yang
akan percaya dengan berita-berita propaganda semacam itu. Buat apa Arafat
meneror Suha Tawil istrinya sendiri beserta keluarga besarnya? Mereka keluarga
yang harmonis. Sialnya, ratusan juta orang dungu di Eropa dan Amerika pada umumnya
dengan patuh akan mengangguk-angguk takzim menelan mentah-mentah propaganda
tersebut.
George Habash meninggal di Amman, Yordania, tanggal 26 Januari
2008 pada usia 81 tahun. Upacara pemakamannya diadakan di sebuah gereja di kota
Amman. Ia meninggal dengan tenang di antara umat Islam yang selama ini dengan
setia berjuang bersamanya. Pada saat meninggalnya, Presiden Palestina Mahmud
Abbas, yang tentu saja seorang muslim, mengumumkan masa berkabung selama tiga
hari untuk menghormatinya. Pemimpin Hamas di Gaza, Ismail Haniya, juga turut
berkabung dan mengatakan bahwa Habash sepanjang hidupnya telah berjuang demi
membela tanah Palestina. Ini tentunya membuktikan kebesaran hati dan sikap
inklusif dari Hamas, organisasi yang oleh propaganda Amerika dan Yahudi selalu
dikatakan sebaliknya. Rakyat di kota-kota di Tepi Barat juga turun ke jalan
untuk turut mengenang perjuangannya. Sebaliknya, pemerintah Israel yang rasis
itu malah melarang rakyat Palestina untuk mengadakan upacara berkabung.
Demikianlah sekilas riwayat hidup George Habash beserta
perjuangannya menentang kaum rasis Zionis.
Sumber: helmijuni.blogspot.com
---
Komentar anda
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda