Bismillaahirrahmaanirrahii m. . .
... Di daerah Hijr yang terletak antara Hizaj dan Syam, dimana tempat tersebut sekarang disebut “Madaa’in Shalih” ada sebuah kabilah yang tinggal, namanya kabilah Tsamud. Nenek moyang mereka nasabnya sampai kepada Saam bin Nuh.
... Di daerah Hijr yang terletak antara Hizaj dan Syam, dimana tempat tersebut sekarang disebut “Madaa’in Shalih” ada sebuah kabilah yang tinggal, namanya kabilah Tsamud. Nenek moyang mereka nasabnya sampai kepada Saam bin Nuh.
Kehidupan mereka makmur, mereka memahat
gunung dan menjadikannya sebagai rumah. Mereka menempati rumah itu di
musim dingin untuk melindungi mereka dari hujan dan angin kencang.
Mereka juga membuat istana pada tanah-tanah yang datar yang mereka
tempati di musim panas. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan kepada
mereka nikmat yang begitu banyak, Dia memberikan kepada mereka tanah
yang subur, air tawar yang melimpah, kebun-kebun yang banyak,
tanaman-tanaman, dan buah-buahan. Akan tetapi, mereka membalas nikmat
tersebut dengan sikap ingkar, mereka kafir kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dan tidak menyembah-Nya, yang mereka sembah malah patung dan
menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah. Kepada patung-patung itu,
mereka berdoa, mempersembahkan korban, dan memberikan sikap tadharru’
(perendahan diri) kepadanya.
.
.
Maka Allah ingin memberi mereka
hidayah dengan mengutus seorang nabi di antara mereka, yaitu Nabi Shalih
‘alaihissalam. Ia adalah seorang yang mulia, bertakwa dan dicintai di
kalangan mereka.
.
.
Mulailah Nabi Shalih ‘alaihissalam mengajak
mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan
menyembah patung-patung, ia berkata kepada mereka, “Wahai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan yang berhak disembah bagimu
selain Dia.” (Al A’raaf: 73)
.
.
Tetapi kaumnya malah mengatakan,
“Wahai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara
kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa
yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul
dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan
kepada kami.” (QS. Huud: 62-63)
.
.
Meskipun begitu, Nabi Shalih
‘alaihissalam tidak membalas ejekan mereka dan tetap terus mendakwahi
mereka. Beliau mengingatkan mereka dengan peristiwa yang menimpa
umat-umat sebelum mereka berupa pembinasaan yang disebabkan kekafiran
dan sikap keras mereka. Beliau berkata, “Dan ingatlah olehmu di waktu
Allah menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) setelah kaum
‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di
tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk
dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Al A’raaf: 74)
.
.
Nabi Shalih ‘alaihissalam juga mengingatkan nikmat-nikmat Allah kepada
mereka, “Apakah kamu akan dibiarkan tinggal di sini (di negeri kamu ini)
dengan aman,–Di dalam kebun-kebun serta mata air,–Dan tanam-tanaman dan
pohon-pohon kurma yang mayangnya lembut.–Dan kamu pahat sebagian dari
gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin;–Maka bertakwalah
kepada Allah dan taatlah kepadaku;–Dan janganlah kamu menaati perintah
orang-orang yang melewati batas, – Yang membuat kerusakan di muka bumi
dan tidak mengadakan perbaikan“. (QS. Asy Syu’ara: 146-152)
.
.
Selanjutnya beliau menerangkan kepada mereka jalan yang lurus, yaitu
beribadah hanya beribadah kepada Allah, dan bahwa sekiranya mereka mau
meminta ampun dan bertaubat kepada Allah, niscaya Allah akan mengampuni
dan menerima taubat mereka, Beliau berkata, “”Wahai kaumku, sembahlah
Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan yang berhak disembah selain
Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertaubatlah
kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Huud: 61)
.
.
Maka berimanlah
segolongan kaumnya yang fakir, sedangkan golongan yang kaya tetap kafir
dan bersikap sombong sambil mendustakan, mereka berkata, ““Bagaimana
kita akan mengikuti seorang manusia (biasa) di antara kita? Sesungguhnya
kalau kita begitu, kita benar-benar berada dalam keadaan sesat dan
gila,–Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sebenarnya
dia adalah seorang yang sangat pendusta lagi sombong.” (QS. Al Qamar:
24-25)
.
.
Ketika itu Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di
antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah
beriman di antara mereka, “Tahukah kamu bahwa Salih diutus (menjadi
Rasul) oleh Tuhannya?”
Maka golongan yang beriman tetap
percaya dengan apa yang dibawa Nabi Shalih, mereka berkata,
“Sesungguhnya Kami beriman kepada wahyu, yang Shalih diutus untuk
menyampaikannya.” (QS. Al A’raaf: 75)
.
.
Sedangkan orang-orang
kafir tetap di atas kesesatannya dan dengan tegas mereka berkata,
“Sesungguhnya Kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu
imani itu.” (QS. Al A’raaf: 76)
.
.
Ketika Nabi Shalih melihat
mereka tetap berada di atas kekafiran dan kesesatannya, maka ia berkata,
““Wahai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata
dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka
siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku
mendurhakai-Nya. Maka kamu hanya menambah kerugian kepadaku.” (QS. Huud:
63)
.
.
Nabi Shalih ketika itu berdakwah kepada kaumnya dengan
akhlak dan adab yang mulia, Beliau berdakwah kepada mereka dengan
hikmah, nasihat yang baik, dan terkadang dengan berdebat pada saat
dibutuhkan berdebat untuk menguatkan bahwa beribadah kepada Allah itulah
yang benar dan merupakan jalan yang lurus.
Akan tetapi kaumnya
tetap saja berada di atas kekafiran, bahkan mereka sampai membuat makar
untuk Nabi Shalih ‘alaihissalam agar manusia tidak ada yang beriman.
Pernah suatu hari Nabi Shalih mengajak mereka beribadah kepada Allah dan
menerangkan nikmat-nikmat Allah yang besar, dan bahwa nikmat tersebut
harus disyukuri dan diingat, tetapi mereka malah mengatakan kepadanya,
“Kamu tidak lain hanya seorang manusia seperti kami; maka datangkanlah
sesuatu mukjizat, jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar”.
(QS. Asy Syu’araa: 54)
.
.
Maka Nabi Shalih menanyakan kepada
mereka mukjizat yang mereka inginkan, lalu mereka menunjukkan kepada
sebuah batu besar yang berada di samping mereka, agar dari batu tersebut
keluar onta yang bunting dan mereka sebutkan pula sifat-sifat onta yang
mereka inginkan agar Shalih tidak mampu mewujudkannya, lalu Nabi Shalih
berkata kepada mereka, “Bagaimana menurut kalian, jika aku memenuhi
permintaan kalian, apakah kalian mau beriman kepadaku, membenarkanku,
dan beribadah kepada Allah yang telah menciptakan kalian?” Mereka
menjawab, “Ya.” Bahkan mereka berjanji demikian kepada Nabi Shalih.
.
.
Maka Nabi Shalih berdiri dan shalat, kemudian berdoa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala meminta agar Allah mewujudkan permintaan mereka.
.
.
Setelah beberapa saat kemudian, muncullah seekor onta betina yang
bunting dan besar dari batu itu sebagai bukti yang jelas dan dalil yang
kuat terhadap kenabian Shalih. Maka ketika kaum Shalih melihat onta itu
dengan bentuk yang menakjubkan, sebagian kaumnya beriman, tetapi
kebanyakan mereka kafir dan tetap di atas kesesatannya. Selanjutnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Shalih agar memerintahkan
kaumnya tidak menyakiti onta itu, maka Shalih berkata kepada kaumnya,
“Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu. Onta
betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi
Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun, (yang
karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al A’raaf: 73)
.
.
Keadaan tetap terus seperti itu hingga berlalu waktu yang panjang,
ketika itu onta tersebut meminum air sumur pada hari tertentu, sedangkan
mereka meminum air sumur pada hari yang lain secara bergiliran, dan
pada hari ketika onta meminum air sumur sedangkan mereka tidak, maka
mereka memerah susunya, lalu onta itu mengeluarkan susu yang cukup buat
mereka semua, akan tetapi setan menghasut mereka, ia menghias kepada
mereka jalan yang buruk sehingga mereka pura-pura tidak tahu peringatan
Nabi Shalih kepada mereka, hingga akhirnya mereka sepakat untuk membunuh
onta itu. Saat itu, jumlah orang yang sepakat untuk membunuhnya
Sembilan orang sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala di surat An Naml:
48,
.
.
“Dan di kota itu ada sembilan orang laki-laki yang membuat
kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan.” (QS. An
Naml: 48)
.
.
Selanjutnya mereka bersepakat dengan kaum mereka yang
lain untuk melaksanakan niat buruk itu. Saat itu, yang bertindak
langsung untuk membunuhnya adalah orang yang paling celaka di antara
mereka dan paling besar kerusakannya, ada yang mengatakan, bahwa namanya
adalah Qudar bin Salif.
.
.
Maka pada pagi hari, kaum Shalih
berkumpul di suatu tempat yang luas menunggu kehadiran onta itu untuk
mewujudkan niat jahat mereka itu. Tidak lama kemudian, onta yang besar
itu pun lewat, lalu salah seorang di antara mereka maju dan memanahnya
dengan panah yang tajam yang mengenai betisnya, sehingga onta itu jatuh
ke tanah, maka Qudar bin Salif menusuknya dengan pedang hingga onta itu
pun mati. Ketika itu Nabi Shalih ‘alaihissalam mengetahui perbuatan yang
dilakukan kaumnya itu yang ditambah dengan sikap mengejek beliau
‘alaihissalam dan mengolok-oloknya dengan berkata, “Wahai shalih,
datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada Kami, jika (betul) kamu
termasuk orang-orang yang diutus (Allah).” (QS. Al A’raaf: 77)
.
.
Maka Allah mewahyukan kepadanya bahwa azab akan turun menimpa kaumnya
setelah berlalu tiga hari, Shalih pun berkata kepada kaumnya,
““Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah
janji yang tidak dapat didustakan.” (QS. Huud: 65)
.
.
Meskipun
mereka sudah diancam, tetapi mereka malah mendustakannya bahkan mengejek
beliau. Maka ketika malam harinya segolongan orang-orang kafir dari
kaum Shalih berkumpul dan bermusyawarah untuk membunuh Nabi Shalih agar
mereka dapat bebas darinya sebagaimana mereka dapat bebas dari onta itu,
hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
.
.
Mereka berkata, “Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita
sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya
di malam hari, kemudian kita katakan kepada ahli warisnya (bahwa) kita
tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah
orang-orang yang benar”.–Dan mereka merencanakan makar dengan
sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak
menyadari.” (QS. An Naml: 49-50)
.
.
Akan tetapi Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyegerakan azab untuk sembilan orang itu, Dia mengirimkan
kepada mereka batu besar dan membinasakan mereka.
.
.
Selanjutnya
setelah berlalu tiga hari, maka orang-orang kafir keluar pada pagi hari
dari hari ketiga sambil menunggu benarkah azab dan siksaan akan menimpa
mereka, maka tidak beberapa lama datanglah suatu suara keras yang
mengguntur dari langit dan goncangan bumi yang keras dari bawah mereka,
sehingga nyawa mereka melayang, lalu mereka mati bergelimpangan di
rumahnya, seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Allah
Ta’ala berfirman, “Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh
disebabkan kezaliman mereka. Sesungguhnya pada yang demikian itu
(terdapat) pelajaran bagi kaum yang mengetahui.–Dan telah Kami
selamatkan orang-orang yang beriman dan mereka itu selalu bertakwa.”
(QS. An Naml: 52-53)
.
.
Demikianlah Allah mengazab kaum Shalih
karena kekafiran dan sikap keras kepala mereka, dan karena mereka berani
membunuh onta Allah itu serta mengolok-olok Nabi-Nya dan tidak beriman
kepadanya. Maka setelah pembinasaan itu, Nabi Shalih dan kaumnya yang
beriman berdiri memperhatikan mereka, Shalih berkata, “Wahai kaumku,
sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku
telah memberi nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang
yang memberi nasihat.” (QS. Al A’raaf: 79)
.
.
ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Tabuk pada tahun ke-9 H, beliau
melewati perkampungan Tsamud (sekarang dikenal dengan nama “Maad’in
Shaalih”), lalu beliau memerintahkan para sahabatnya untuk tidak
melewatinya kecuali dalam keadaan menangis dengan tunduk dan takut
karena khawatir mereka ditimpa seperti yang menimpa penduduknya, beliau
bersabda,
.
.
لاَ تَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلاَءِ الْقَوْمِ الْمُعَذَّبِينَ
إِلاَّ أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلاَ
تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَهُمْ
.
“Janganlah kamu masuk ke (perkampungan) kaum yang diazab ini, kecuali dalam keadaan menangis. Jika tidak bisa menangis, maka janganlah memasukinya agar tidak menimpa kamu apa yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Janganlah kamu masuk ke (perkampungan) kaum yang diazab ini, kecuali dalam keadaan menangis. Jika tidak bisa menangis, maka janganlah memasukinya agar tidak menimpa kamu apa yang menimpa mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Beliau juga memerintahkan mereka agar tidak meminum airnya.
Selesai dengan pertolongan Allah dan taufiq-Nya, wa shallallahu ‘alaa
nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Maraaji’:
.
.
• Al Qur’anul Karim
• Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah
• Qashashul Anbiya’ (Ibnu Katsir)
• dll.
.
.
Sumber: Kisahmuslim.com dan Asysyariah.com
Gambar: Bangunan kaum Tsamud yang berada di wilayah Mada’in Shalih
-------------------------- --------------
♥♥Jika terdapat kesalahan dalam ketikan / isi yang tidak disengaja, admin mohon maaf sebesar-besarnya♥♥
-
-
::: Silahkan dishare / dibagikan jika postingan ini bermanfaat :::
---
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda