Setahun Jadi Tersangka, Emir Moeis Baru Ditahan
Setelah PKS, Giliran PDIP Diobok-obok KPK
Ketua Komisi XI itu Bungkam Ketika Datang dan Pergi, Komisi Antirasuah Kerja Sama dengan Kehakiman AS
Jakarta – Oalah... Temperatur politik Indonesia jelang Pemilu 2014 kian panas. Satu per satu rupa partai politik dicoreng dengan dakwaan penyelewengan uang Negara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagian khalayak, diyakini, memuji gebrakan laskar antirasuah itu.
Namun sisanya, bisa jadi, menduga langkah KPK tersebut aneh—jika tak
ingin disebut berdasar “pesanan”—.
Perhatikan saja, petinggi-petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
sudah “babak belur” dihajar dengan dakwaan korupsi dan Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU). Eh.. Kemarin (11/7), giliran Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) diobok-obok KPK. Politisi PDIP yang duduk di
DPR RI selaku Ketua Komisi XI, Izedrik Emir Moeis, akhirnya ditahan.
Emir ditetapkan sebagai tersangka sejak Juli tahun lalu. Namun, kasus
yang menjerat Ketua Komisi Keuangan DPR itu seakan berjalan di tempat.
Pemeriksaan saksi jarang dilakukan oleh KPK.
Setahun menyandang gelar tersangka, barulah Emir diperiksa. Yang
aneh, seperti halnya kasus Luthfi Hasaan Ishaq, pemeriksaan dilakukan
baru sekali tapi Emir langsung ditahan. Keraguan makin menjadi, setelah
pemeriksaan KPK terhadap Emir hanya efektif satu jam dari total sekitar
enam jam pemeriksaan.
Akibatnya, kuasa hukum Emir, menuding KPK tak memiliki alasan kuat
untuk menahan Ketua Komisi XI DPR itu. ”Jadi omong kosong kalau mereka
menemukan fakta dalam pemeriksaan Pak Emir. Tidak ada. Hanya tanya jawab
satu jam, mas,” kata pengacara Emir, Yanuar P Wasesa, kepada Rakyat
Merdeka Online, di kantor KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan,
Kamis (11/7).
Bahkan, menurut Yanuar, penahanan terhadap Emir Moeis dilakukan
karena KPK terlanjur malu setelah lebih dari satu tahun lalu menetapkan
kliennya sebagai tersangka. Kenyataannya, Emir sama sekali tak pernah
menerima uang dari PT Alstom Indonesia seperti apa yang disangka
penyidik KPK.
“Menurut saya pimpinan ini kadung malu sudah menetapkan tersangka.
Penyelidikan dulu baru penyidikan. Apa yang terjadi adalah mereka tidak
bisa hentikan penyidikan. Mereka malu melimpahkan ke kepolisian,
akhirnya yang terjadi Emir Moeis ditahan,” tegas pengacara utusan DPP
PDI Perjuangan ini.
Emir Moeis disangka menerima dana suap US$ 300 ribu (Rp 2,8 miliar)
dari PT Alstom Indonesia, sebagai pelicin buat memuluskan peran
perusahan Perancis itu di proyek pembangunan proyek PLTU Tarahan tahun
2004. Proyek tersebut bernilai Rp 2 Triliun. Saat itu, Emir masih
anggota Komisi Energi DPR.
Sebelum ditahan, Emir enggan menjawab pertanyaan wartawan. “Saya
masuk dulu, ya,” ujar sambil memasuki gedung KPK, Kamis pagi. KPK semula
menyebutkan pemeriksaan Emir bukan sebagai tersangka, hanya sebagai
saksi.
“Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi,” kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK, Priharsa Nugraha.
Ketika digiring ke mobil tahanan, dia hanya membisu di hadapan
puluhan wartawan. Wajahnya masih menyiratkan senyum, tetapi matanya
memerah. Emir terus berjalan menembus barikade puluhan wartawan di depan
pintu gerbang KPK.
Terpisah, Ketua DPP PDIP, Trimedya Panjaitan mengaku tidak menyangka
jika Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP Emir Moeis akan ditahan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebab yang dia kemukakan sama dengan omongan pengacara Emir. Yakni,
baru menjalani pemeriksaan pertama kali dalam kasus korupsi pembangunan
PLTU Tarahan, Lampung, tersebut.
“Ini baru pemeriksaan pertama langsung ditahan. Rasanya ada yang agak
aneh,” kata Trimedya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (11/7).
Dia memastikan, partainya sudah memberi bantuan hukum sejak Emir
Moeis yang juga salah satu Ketua DPP PDIP ditetapkan sebagai tersangka
kasus itu pada 2012 lalu.
“Kami juga terus-menerus memberikan pendampingan. Dia juga sudah didampingi pengacaranya,” ujar Trimedya.
Meski begitu, Trimedya melihat penahanan terhadap koleganya itu
seolah dipaksakan. Diduga, KPK hanya menggunakan informasi dari Federal
Bureau of Investigation (FBI) soal adanya uang dari perusahaan asing
pemenang tender proyek PLTU Tarahan kepada Emir Moeis.
“FBI ini memberi tahu KPK, lalu KPK yang memproses. KPK menggunakan
hasil investigasi FBI untuk menangkap Emir. Ini urusan yang aneh,” jelas
Trimedya.
Lebih jauh, lanjut anggota Komisi III DPR itu, PDIP tetap menghormati
proses hukum yang dilakukan KPK atas Emir Moeis. “Harapannya KPK
melakukan proses hukum secara profesioanal dan proporsional,” demikian
Trimedya.
Namun, KPK punya alibi tersendiri mengapa baru sekarang melakukan penahanan terhadap Emir Moeis.
Jurubicara KPK, Johan Budi Sapto Prabowo menerangkan penahanan
tersebut tentu dilakukan setelah pihaknya menimbang beberapa hal. Apa
saja hal-hal yang dimaksud, dia tak memberitahukannya.
“Tentu ini penyidik yang tahu kenapa tersangka (Izedrik Emir Moeis)
baru ditahan sekarang,” kata Johan Budi dalam konferensi pers di kantor
KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Sepengetahuan Johan, penahanan ini dilakukan lantaran pihaknya telah
melakukan pemeriksaan saksi-saksi di kasus Emir ini. Pemeriksaan saksi
juga, diakuinya, sudah dilakukan dari pihak luar atau negara asing untuk
melengkapi berkas Ketua Komisi XI DPR itu.
“Nah setelah itu baru dilakukan upaya penahanan untuk kepentingan
penyidikan. Berkas kemungkinan sudah akan dilimpahkan ketahap dua,”
terang Johan.
Dari catatan, sejak ditetapkan menjadi tersangka pada 26 Juli 2012,
KPK belum pernah memeriksa Emir Moeis dengan dalih proses penyidikan
menjadi cukup rumit karena dilakukan di Amerika Serikat.
Kasus korupsi PLTU Tarahan terungkap setelah KPK berhasil
mengembangkan kasus proyek CIS-RISI di PLN Distribusi Jakarta Raya
(Disjaya) Tangerang yang menjerat Eddie Widiono. Emir disangka melanggar
pasal 5 ayat 2, pasal 12 a dan b, pasal 11 dan atau pasal 12 D UU
31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan UU 20/2001.
Meski telah menahan Emir, KPK mengaku belum mengetahui pemberi suap
dalam perkara dugaan korupsi proyek pembangunan PLTU Tarahan Lampung.
“Yang memberi belum ketahuan,” lanjut Johan.
Saat ditanya jika nantinya pihak pemberi suap adalah Warga Negara
Asing, apakah KPK akan kesulitan menanganinya, Johan belum mau
berspekulasi. Dia hanya menegaskan, KPK bisa bekerjasama dengan
Departement of Justice (Departemen Kehakiman) di Amerika Serikat.
“Saya kira ada hubungannya, mengenai upaya KPK untuk meminta
keterangan kepada sejumlah orang asing. Karena WNA tidak berdomisili di
Indonesia, KPK meminta bantuan kepada Departemen Kehakiman AS,” papar
Johan.
Lantas jika nantinya benar WNA si pemberi suap, apakah KPK bisa menggunakan UU Tipikor untuk menjeratnya?
“Saya kira belum pernah. Tapi kalau orang asing itu berdomisili di
Indonesia bisa, sebaliknya kalau di luar tidak bisa. Pasti (KPK) pakai
MLA (Mutual Legal Assistence) untuk mewadahi kalau KPK memeriksa atau
melakukan upaya hukum,” demikian bekas wartawan salah satu harian
nasional itu. sumber
0 komentar:
Posting Komentar
PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda