Breaking News
Loading...
Selasa, 08 Oktober 2013

Info Post
Jakarta - Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK kemarin memang menggegerkan. Pasalnya yang kepergok sedang melakukan transaksi haram merupakan petinggi lembaga penegakan hukum utama republik ini. Ya, Akil Mochtar, ketua Mahkamah Konstitusi tertangkap basah pada Rabu (2/10) malam pukul 22.00 WIB. Bayangkan, lembaga tinggi Negara yang bertugas menjaga konstitusi pun ternyata bisa disuap! Kepercayaan publik kepada MK serta merta runtuh. Pusat Kajian Anti Korupsi UGM menyatakan tanggal kejadian ini sebagai Hari Berkabung Nasional. Wibawa hukum runtuh. Bahkan tokoh Bejo Nasional, Mahfud MD mengaku MK sudah hancur. “Sekarang hanya KPK yang bisa dipercaya,” ujarnya.

Tragedi ini kemudian disulap menjadi infotainment di televisi, koran-koran dan media online. Saban hari tv-tv mengulang-ulang berita yang sama. Rekaman talk-show yang lama diulang-ulang. Semua tentu memojokkan Akil Mochtar. Salah satu saluran tv pemilu bahkan dalam perbincangan di siaran pagi harinya sudah membicarakan “Hukuman apa yang cocok buat Akil?”. Jawabannya beragam. “Dihukum mati saja!”, “Potong jarinya”, “Miskinkan dan penjarakan seumur hidup”. Reaksi kemarahan ini memang wajar. Yang menjadi aneh adalah ketergesaan untuk menghakimi Akil, padahal penyidikan belum tuntas. Pengadilan belum digelar. Konon lagi vonis? Kok berani-beraninya orang member “fatwa”? Dimana lagi presumption of innocent itu?


Namun ada sisi lain yang lebih menarik. Pelbagai pemberitaan di media, kita lihat lebih fokus kepada Akil. Sosok hakim yang dibina dan dididik oleh Golkar ini habis-habisan ditelanjangi media. Ia menjadi penyakitan. Tak terbayangkan bagaimana istri dan anaknya menghadapi hujatan dan caci maki tetangga. Selain itu, yang disasar para kuli tinta adalah Chairunnisa wakil rakyat di DPR yang oleh TV One nyaris tak pernah disebut asal partainya, serta adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wawan yang kemudian menyeret isu hegemoni Dinasti Atut yang menguasai “Kerajaan Banten” dengan kekayaan yang menggunung.

Sayangnya, pembahasan-pembahasan di media ini seperti melupakan kasus Pilkada Gunung Mas. Padahal kasus dugaan suap ketua MK ini bukan cuma soal Pilkada Lebak, tapi juga kabupaten yang baru pemekaran di provinsi Kalimatan Tengah itu. Dalam kaitannya dengan kasus itu, KPK menangkap Hambit Bintih, bupati Gunung Mas bersama DH, seorang pengusaha di Hotel Redtop, Jakarta Pusat. Hambit adalah kader PDIP yang memenangkan Pilkada Gunung Mas. Namun kemenangannya digugat lawan politiknya. Selisih 12% suara yang disengketakan itu membuatnya ketar-ketir dan memilih memberikan “hadiah” kepada Akil.

Logika Ngawur PDIP

Cerita inilah yang jarang diungkap. Febri Diansyah dari ICW pun seolah hanya fokus pada Akil sekaligus menutup mata pada Hambit, sang penyuap. Padahal yang menyuap dan disuap sama-sama koruptor. Bahkan yang menyuap –dalam logika saya- lebih biadab sebab ia yang menginisiasi kejahatan luar biasa ini. Tapi, tak seperti media menistakan Akil. Hambit terkesan dibela.

Wasekjen PDIP, Hasto Kristianto dalam pesan singkat kepada wartawan, Kamis (3/10/2013) mengatakan, "Hambit ingin membuktikan apakah betul persidangan di MK bisa diatur. Dari berbagai faktor yang disampaikan oknum politisi yang dekat dengan AM (Akil Mochtar), ternyata peluang itu ada.”

Tentu ini sebuah logika ngawur. Setelah maling ketangkap basah kok masih bisa-bisanya berdalih. Kalau ditanya hakim, “Kamu nyuap hakim MK ya?” maka ia akan menjawab, “Enggak kok. Saya cuma ngetes, apa MK ini bersih atau bisa disuap.” Tentu jawaban semacam ini akan mudah ditolak. Hanya orang dungu yang menjadikannya sebagai alasan. Maka pembelaan petinggi PDIP menunjukkan bahwa PDIP tak rela jika aksi kotor kadernya diketahui publik.

Korupsi, Gaya Hidup PDIP?

Sikap miris Wasekjen PDIP dalam jawabannya itu juga seperti memberi benang merah yang menyingkap praktik prostitusi politik partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini. Sebelumnya, PDIP juga telah dibelit berbagai kasus korupsi yang menyandera kader-kader militannya. Misalnya Theodorus F. Toemion yang akhirnya dipenjara 6 tahun akibat memakan uang negara dari proyek BKPM yaitu Indonesia Investment Year 2002 dan 2003 masing-masing sebesar 22,8 miliar dan 25 miliar. 

Selain itu, masih segar dalam ingatan kita kasus yang membelit Emir Moeis, anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP yang terlibat korupsi pembangunan PLTU Tarahan, Lampung Selatan tahun 2004. Emir disangka menerima suap USD 300.000 dari PT Alstorm Indonesia.

Beberapa waktu lalu, KPK juga telah menggeledah rumah Bendahara Umum PDIP, Olly Dondokambey di Manado terkait pembangunan pusat olahraga Hambalang. Sayangnya aksi KPK ini diduga telah bocor sebelumnya. Di sana, KPK menyita sejumlah barang yaitu dua set meja makan dan kursi. Juru Bicara KPK Johan Budi menjelaskan, penggeledahan dan penyitaan tersebut berkaitan dengan perkembangan penyidikan KPK yang menemukan jejak-jejak tersangka kasus dugaan korupsi proyek Hambalang yaitu mantan Kepala Divisi Kontruksi I PT. Adhi Karya, Teuku Bagus Mohammad Noor di rumah Olly Dondokambey tersebut.

Menghadapi pesta akbar Pemilu 2014 ini pun, PDIP tidak menunjukkan sikap pro terhadap upaya pemberantasan korupsi. Buktinya, di Yogyakarta PDIP tetap mengusung mantan Bupati Bantul Idham Samawi yang telah dijadikan tersangka korupsi anggaran sepakbola Persiba sebesar 12,5 miliar untuk menjadi caleg DPR RI. Bahkan dalam kasus Akil, Susi Tur Andayani yang menjadi salah satu tersangka dugaan suap merupakan caleg PDIP dari Daerah Pemilihan Bandar Lampung III. (Kompas.com, 4/10/13)

Semua ini membuat publik bertanya, benarkah PDIP masih peduli wong cilik? Ataukah wong cilik hanya dijadikan tameng demi memuluskan jalan untuk kelanggengan kekuasaan wong licik? Yang jelas sederet kasus yang menimpa PDIP ini telah membuka mata kita bahwa korupsi juga telah menjadi lifestyle kader jamaah moncong putih ini. PDIP di mata rakyat adalah partai korup.

Kalau sudah begini, efeknya jalan kader PDIP juga menjadi RI 1 menjadi kian terjal. Citra pro proletar yang susah payah dibangun PDIP dengan ikon Jokowi menjadi kabur. Adakah ini hanya kebohongan belaka? Apalagi rakyat masih ingat bagaimana Megawati demikian mudahnya menjual asset bangsa saat ia berkuasa. Apakah betul PDIP harapan Indonesia?


sumber

Oleh: Abu Fatih Ar-Rantisi
---
Komentar anda

0 komentar:

Posting Komentar

PENGUNJUNG YANG BAIK SELALU MENINGGALKAN KOMENTAR
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda